PESANTREN;
PUNDI
PERADABAN ISLAM INDONESIA-OTENTIK
Iftitah
Ketika realitas sosio-religius
masyarakat, diwarnai pelbagai tindak intoleransi, kekerasan atas nama agama,
dan nir-pluralitas, di saat yang bersamaan, tak ayal jika banyak pihak “frustasi”
dengan agama, Islam. Ditambah, dengan menggeloranya kampanye “penyulapan” NKRI
menjadi Negara Islam atau Khilafah Islamiyah, yang kemudian tampak berbanding
lurus, antara merebaknya fenomena intoleransi dengan kampanye Khilafah Islamiyah,
yang rentan terhadap disintegrasi umat. Atas hal demikian amatlah wajar, saat semula
agama digadang-gadang sebagai poros integrasi dan harmoni kehidupan manusia,
realitasnya (seakan) telah beralih fungsi, malah justru menjadi poros disintegrasi
dan disharmoni kehidupan manusia.
Ya, bidikan pertama dan utama banyak
pihak, adalah tertuju pada Islam. Betapa tidak, Islam adalah agama yang tidak
hanya sebagai agama mayoritas di Indonesia, tetapi juga karena sejak
awal ia memiliki tawaran dan cita-cita luhur, sebagai agama; rahmatan lil’alamin, sebagai agama
penabur kasih sayang bagi sekalian alam semesta.
Lalu, banyak orang mempertanyakan, dan
menagihnya dengan mesti, dimana letak rahmatan
li’alamin-nya? Akankah hanya sebatas ilusi atau dapat direalisasi? Pertanyaan-pertanyaan
ini, saya yakin betul, dapat menunjukkan representasi kegelisahan dan kegalauan
umat, sebagai umat yang selalu mendambakan harmoni dan koeksistensi dalam
hidupnya.
Kalau saya internalisasi dan
renungkan, saya menduga ada yang luput dari cara pandang dan kebersikapan kita
dalam menyamuderai khazanah Islam yang begitu luas, dan mendalam itu. Dan,
dugaan saya juga tertuju pada, gelagat memudarnya rasa kepemilikan kita
terhadap bangsa, sebagai bangsa yang begitu kaya akan warisan tradisi dan
budaya para leluhur. Sehingga menjadikan kita luput melestarikan dan
menyemainya.
Melihat getirnya persoalan tersebut
di atas, mata dan pikiran saya tertuju pada Pesantren. Ya, gempuran dahsyat peradaban
global, seakan mengelabui pandangan kita terhadap warisan unik para leluhur,
satu diantaranya yakni Pesantren. Maka, menjadi harus, untuk menilik kembali
cara pandang dan kebersikapan Pesantren dalam menyamuderai luas dan dalamnya
khazanah Islam.
Genealogi
Tradisi Keilmuan Pesantren
Cak
Nur (sapaan akrab alm. Nurcholish Madjid) menyebut Pesantren, sebagai institusi
pendidikan warisan leluhur yang paling indigenous,
paling asli. Ia adalah produk asli hasil jerih keringat wajah ulama pribumi,
Kiai. Dengan demikian, dalam tubuh Pesantren, mendarahdaging benih-benih kultur
yang benar-benar mencerminkan Indonesia
pada sejatinya. Sehingga, begitupun dengan genealogi tradisi keilmuannya.
Menelusuri
genealogi tradisi keilmuan Pesantren, tak sedap rasanya, jika tidak menggubris
kontribusi pemikiran progresif Gus Dur (alm. KH. Abdurrahman Wahid—di samping
Cak Nur, sebagai “produk asli” Pesantren—, sehingga kemudian dapat
membedakannya dengan tokoh-tokoh lain non-Pesantren (institusi pendidikan
lain). Genealogi tradisi keilmuan Pesantren, tak hanya bersumber dari al-Qur’an
dan hadits, menurut Gus Dur, Pesantren
memiliki asal usul tradisi keilmuan yang sangat kuat, yaitu di satu segi
sarat tasawuf lampau, dan di seginya yang lain sarat dengan fikih kontekstual.
Paradigma
tasawuf lampau ini yang dalam hemat saya, adalah telah menjadi dasar ontologi
Pesantren, sebagai salah satu institusi yang amat mengedepankan dimensi akhlaq al-Karimah (moralitas) dan Islam
“hakikat” (Tuhan). Sementara paradigma fikih kontekstualnya, adalah dasar
epistemologi Pesantren dalam merespon dinamika kehidupan yang selalu berubah. Dengan
begitu, hasil dari kultur hibrida antara tasawuf lampau dan fikih kontekstual
itu—dalam istilah Gus Dur—membuahkan fikih sufistik. Sebagai buah (aksiologi)
yang dihasilkan kultur hibrida antara; tasawuf lampau dan fikih kontekstual.
Selain itu, Pesantren tidak hanya
gandrung dengan dimensi keilmuan-intelektualitas. Satu jejak historis yang
paling otentik, tergambar dalam cara berdakwah, sejak Walisanga “mengislamkan”
tanah Jawa. Ini yang saya sebut dengan akulturasi dakwah intelektual dan
tradisi-lokal. Walisanga tidak hanya mengedepankan dimensi akhlaq al-Karimah dalam dakwahnya, tetapi juga telah mampu
“berdamai” dengan tradisi-lokal masyarakat setempat.
Pada perkembangannya, Pesantren
semakin memesat. Pesantren, hingga dewasa ini, mampu bertahan di tengah
gempuran peradaban global sekalipun. Tiga kekuatan besar Pesantren, dalam
menjaga keajegannya, menurut saya, sekurangnya terdapat tiga; pertama, kekuatannya pada tradisi
mengaji warisan intelektual ulama klasik (kitab kuning). Kedua, kekuatannya dalam melestarikan tradisi-tradisi budaya lokal,
dan ketiga, kekuatan dinamisasinya
terhadap modernitas. Ketiga kekuatan inilah, telah menjadi pundi-pundi kekuatan
Pesantren, yang sejak dahulu hingga sekarang semakin dikukuhkan. Sampailah pada
kesimpulan, bahwa, watak dan transmisi kelimuan Pesantren, begitu runtut,
mengakar, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Silsilah tradisi keilmuan Pesantren
yang otentik ini, jauh amat berbeda dengan tradisi keilmuan, sebagian kelompok
Islam formalis, yang sarat mengandalkan sisi simbol dan Arabisasi.
Inklusivitas
Pesantren
Watak
selanjutnya yang dimiliki Pesantren, adalah inklusivitas. Watak keterbukaan
ini, juga telah berlangsung lama. Kiai, sebagai punggawa utama Pesantren, tak pernah
memilah-pilah dalam mengembangkan Pesantrennya. Pesantren, dengan watak
inklusivitasnya, membuka pintu keleluasaan bagi siapapun orangnya dengan apapun
identitasnya, untuk dapat menimba ilmu atau sekedar silaturahmi di Pesantren.
Watak
inilah, yang kemudian, mengantarkan Pesantren, pada sikap yang tak pernah
mengenal kata; pembedaan (diskriminatif). Pintu Pesantren, selalu terbuka untuk
tamu dari siapapun dan apapun identitasnya. Sehingga tak pelak, jika dalam
Pesantren, mewujud sebuah miniatur dari pola kehidupan masyarakat multikultural, layaknya Indonesia dalam
konteks yang lebih luas.
Termasuk
terbuka, dalam dimensi yang memiliki tingkat sensitifitas tinggi di masyarakat,
yakni tentang keterbukaan dalam menyikapi perbedaan agama dan keyakinan. Ya,
bersikap terbuka dalam perbedaan agama di tengah masyarakat majemuk seperti Indonesia,
merupakan hal yang tak mudah. Diperlukan sebuah komitmen yang dingin dan tekun
untuk mengakomodirnya. Sebab, sudah sangat sering menggema, pelbagai tindak
kekerasan dan intoleransi—yang seakan tak pernah mengenal kata ujung—tidak lain
hanya karena perbedaan agama dan keyakinan.
Merenungi
ironis hal tersebut, dengan segala kekhasan tradisi keilmuannya, Pesantren—melihat
fakta kekerasan dan intoleransi (terutama) yang mengatasnamakan agama (Islam)—justru
menjadikannya sebagai asupan spirit, untuk kemudian dapat semakin meneguhkan
sikap keterbukaan dalam menengahi pluralitas, menuju kehidupan koeksisten dan
harmonis. Cak Nur dan Gus Dur adalah sedikit dari banyak tokoh Pesantren, yang
mampu dengan komunikatif menjalin koeksistensi dan harmonisasi dengan
non-muslim dan elemen kalangan lainnya.
Pundi
Peradaban Islam Indonesia-Otentik
Atas
pelbagai tindak kekerasan dan intoleransi yang makin menyeruak, banyak orang
mulai risau dan galau, terhadap agamanya, Islam. Orang banyak yang kemudian jengah
bernada mempertanyakan, tentang keajegan dan keontentikan makna Islam, terutama
sebagai agama yang cinta kesatuan dan kedamaian.
Membincang soal keontetikan dalam
konteks agama, Islam, meminjam konsepsi Komaruddin Hidayat (2003) bahwa, konsep
keontentikan paling mudah dipahami dan diterapkan dalam menganalisis sebuah
karya seni. Sebuah karya seni akan dinilai otentik jika ide dan bentuk fisiknya
orsinil, bukannya hasil jiplakan dan bukan pula hasil pemalsuan. Oleh
karenanya, sebuah lukisan dari pelukis ternama bisa sangat mahal harganya,
sedangkan yang hasil tiruan akan menjadi sangat murah meskipun secara wujudnya
tidak jauh berbeda.
Tidaklah
berlebih, jika kemudiaan mata saya kembali tertuju pada Pesantren, yang
mengibarat sebagai serangkaian pemahaman dan sikap yang merupa sebuah lukisan
yang fisiknya (pemahaman dan sikap) orsinil, bukan hasil jiplakan dan bukan
hasil pemalsuan. Lukisan yang mewujud Pesantren, dengan panorama pemahamannya
yang indah warna-warni, kilau sikapnya bagai intan permata, yang dipahat oleh
Kiai alim-shalih, yang mahal (mulia) harga-akhlaknya.
Kalau
dikontekstualisasikan lebih mendalam, Islam Indonesia-otentik adalah Islam yang
tidak tercerabut dari genealogi historis-sosiologisnya. Islam yang benar-benar
mencerminkan pemahaman dan kebersikapan, otentik bangsanya. Islam yang dengan
sangat mensyukuri, sekaligus melestarikan pelbagai warisan para pendahulunya,
untuk senantiasa dimaknai secara kontekstual dan relevan dengan peradaban
global (modernitas). Ya, tak lain inilah Pesantren. Pesantren mampu merawat
warisan para pendahulu, terutama terkait dengan warisan empat pilar kebangsaan;
Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Dan juga, mampu bersinergis
dengan tradisi baru, memanfaatkan produk-prosuk modernitas, baik berupa
pemikiran maupun teknologi.
Al-Muhafadhotu ‘ala Qadimi al-Shalih wa
al-Akhdzu bi al-Jadid al-Ashlah; melestarikan tradisi lama yang masih baik,
dan mengadopsi tradisi baru yang lebih baik, adalah adagium sekaligus prinsip
Pesantren, yang selalu teguh dipegang Pesantren dalam menyamuderai luas dan
dalamnya khazanah Islam, dalam menjaga keajegan dan keontentikannya. Sampailah,
jika Pesantren adalah pundi peradaban Islam Indonesia-otentik.
Pesantren
di Cirebon
Satu
diantara banyak kampung Pesantren di Nusantara, yang punya peranan penting
sebagai pundi peradaban Islam Indonesia-otentik, adalah Pesantren yang berada
di wilayah Cirebon.
Cirebon menjadi salah satu saksi sejarah penting dalam pembentukan dan
pemerdekaan NKRI, tak lain karena kiprah berharga Pesantren. Tak ayal, pesatnya
perkembangan Pesantren di Cirebon, secara genealogis historis dan sosiologis,
merunut pada keberislaman para wali (Walisanga), di Jawa. Sunan Gunung Jati,
adalah bukti paling konkrit adanya silsilah yang sinergis tentang keislamannya
yang otentik.
Sebagaimana
diawal telah dikonsepsikan identifikasi Islam Indonesia-otentik, Cirebon adalah wilayah
yang banyak memiliki identitas tersebut. Satu diantaranya adalah asal kata Cirebon yang bermakna
campuran. Campuran itu sendiri merujuk pada, beragamnya seluk-beluk dan etnis
penduduk Cirebon, mulai dari Jawa, Sunda, hingga Tiong Hoa, entah itu yang beragama
Islam, Kristen, Hindu, Budha, maupun Kong Hucu. Yang hingga dewasa ini, masih
hidup berduyun dan berdampingan.
Dengan
pluralitas keunikannya itu, Cirebon
juga merupakan wilayah yang banyak berdiri Pesantren, sebagai pundi besar
peradaban Islam Indonesia-otentik. Di Cirebon sebelah Barat misalnya, bisa disaksikan
pundi peradaban Islam Indonesia-otentik, yakni kampung Pesantren Kempek (Majelis
Tarbiyatul Mubtadien, dll) dan Pesantren Babakan Ciwaringin (Raudlatut Thalibin,
dll). Lalu, ketika menengok ke sebelah Timur, bisa disaksikan juga kampung
Pesantren Buntet (Nadwatul Ummah, dll), dan tak jauh dari situ terdapat juga
kampung Pesantren Gedongan (Al-Shighor, dll). Di Cirebon Barat bagian Utara,
juga berdiri Pesantren Dar al-Tauhid, Arjawinangun, dan banyak Pesantren
lainnya.
Terus
terang, menyatakan bahwa Cirebon
merupakan satu pundi besar peradaban Islam Indonesia-otentik adalah pula karena
tokoh-tokoh ulamanya yang pandai-kharismatik. Di Pesantren Kempek beberapa
diantara misalnya, alm. KH. Aqiel Siradj, alm. KH. Syarif Usman Yahya, KH.
Aqiel Siradj (Ketua Umum PBNU), KH. Ja’far Aqiel Siradj, dan lain-lain.
Sementara tokoh ulama kharismatik di Pesantren Babakan Ciwaringin, beberapa
diantaranya; alm. KH. Hasanuddin (Ki Jatira), alm. KH. Amin Sepuh, alm. KH.
Muhammad Sanusi, alm. KH. Yahya Masduqi, KH. Affandi Mochtar, dan lain-lain.
Kemudian, tokoh ulama kharismatik di Pesantren Buntet, misalnya; alm. KH.
Abbas, alm. KH. Abdul Jamil, alm. KH. MA. Fuad Hasyim, KH. Muhammad Abbas Fuad
Hasyim, dan lain-lain. Dan, tokoh ulama kharismatik di Pesantren Gedongan; alm.
KH. Amin Siradj, KH. Mukhlas Dimyati, KH. Bisri Imam, dan lain-lain.
Ikhtitam
Jika
kita amati dengan seksama, problem mengenai keotentikan—secara
kausalitas—mengemuka tatkala individu ataupun sebuah masyarakat (Islam)
bergumul dan berpadu dengan individu ataupun masyarakat luar, yang memiliki
karakteristik tradisi dan budaya serta keyakinan dalam beragama yang berbeda,
satu sama lain. Maka, motivasi untuk mencari dan mengukuhkan keotentikan diri, semakin
menggema, tatkala ia merasa terusik dan bahkan terhegemoni oleh individu atau
masyarakat luar.
Lagi-lagi,
hal demikian, tertuju pada Indonesia, di tengah pusaran arus globalisasi yang
begitu deras, Indonesia mengalami apa yang disebut sebagai realitas masyarakat
yang terusik dan terhegemoni, oleh setiran budaya asing, Barat. Maka menjadi
logis, jika banyak kalangan yang gegap gempita kembali mencari sebuah
keontentikan, sebagai sebuah bentuk kebertahanan bahkan perlawanan.
Bagi kalangan yang memiliki jangkar
pikir-rasional, gempuran peradaban global, justru menjadi sebuah lecutan
motivasi, untuk bisa optimis bersinergis bersamanya, sekaligus di saat yang
bersamaan, tetap mempertahankan identitas keontentikannya. Karakteristik
keontentikannya berupa, kembali menginstrospeksi diri dalam pemahaman dan
kebersikapan yang mencerminkan kultur budaya bangsa. Dan ini berbeda dengan
kalangan yang berkecenderungan, pragmatis-pesimistis. Dimana mereka mendudukkan
gempuran peradaban global sebagai ancaman, yang harus ditolak mentah-mentah,
tanpa kecuali. Sehingga, dewasa ini begitu gencar kampanye kembali ke al-Qur’an-Sunnah
(Islam) dalam bentuknya yang legal-formal.
Pesantren, sebagai salah satu elemen
bangsa paling otentik, jelas, pemahaman dan kebersikapannya tertuju pada
jangkar pikir-rasional, yang selalu optimis, dengan senantiasa meletakkan
gempuran peradaban global sebagai tantangan untuk menata masa depan yang lebih
baik dan produktif. Wallahu a’lam bi
al-Shawab.
0 komentar:
Post a Comment