Islam dan Gerakan Proaktif Perempuan:
Upaya Meretas Jalan Radikalisme
Genderang reformasi dan demokrasi yang ditandai dengan runtuhnya rezim orde baru membuat tatanan kehidupan di Indonesia menjadi semakin kompleks. Aroma kebebasan berkibar dipelbagai penjuru aspek kehidupan. Tak lekang, jika fenomena radikalisme dan terorisme pun merupakan implikasi dari terbukanya pintu kebebasan publik. Demokrasi Indonesia telah menjadi semacam angin segar kebebasan bagi masyarakat untuk bebas mengekspresikan sikap dalam keberagamaannya. Radikalisme dan terorime tentu membawa banyak dampak tersendiri yang sangat merugikan integerasi bangsa. Oleh karena itu, melalui tulisan ini, penulis mencoba melacak pelbagai fenomena radikalisme, untuk kemudian dihadapkan dengan ajaran tauhid dalam Islam melalui gerakan roaktif perempuan. Sehingga diharapkan melalui gerakan ini radikalisme dapat diretas, melalui pelbagai cara, salah satunya adalah dengan kembali pada komitmen empat pilar.
Kata Kunci: Islam (Tauhid), Radikalisme, Gerakan Proaktif Perempuan dan Empat Pilar
Pendahuluan
Pintu reformasi dan demokrasi yang ditandai dengan angin kebebasan publik—dalam konteks Indonesia—telah menjadi catatan sejarah tersendiri yang begitu kompleks. Transformasi reformasi tersebut telah beimplikasi keberbagai cakupan bidang kehidupan; ekonomi, politik, sosial, budaya, pertahanan, hingga kegamaan. Pun hingga saat ini, dimana reformasi ke transformasi demokrasi telah berjalan selama tidak kurang 13 tahun, pergumulannya dirasa semakin kompleks.
Arah dan agenda reformasi secara paradigmatik banyak memengaruhi corak tersendiri bagi pembentukan kualitas dan karakter bangsa yang hendak menata kualitas hidup dari sebelumnya yang penuh desain “manipulasi” (tentu) kearah yang lebih dinamis dan progresif.
Salah satu implikasi dari grand desain tranformasi demokrasi adalah radikalisme. Ya, radikalisme mau tidak mau merupakan sebuah konsekuensi dari dibukanya pintu kebebasan publik yang telah lama dikunci oleh tirani rezim orde lama maupun orde baru selama 32 tahun. Radikalisme dengan segala bentuknya telah mewarnai pergulatan lintas kehidupan, terutama dalam konteks sosio-religio-politik. Radikalisme tidak jarang diidentikkan sebagai sebuah agenda yang bekait kelindan dengan isu agama disatu sisi dan isu politik disisi lain. Motif yang sering muncul kemukapun beragam, akan tetapi pada umumnya ia distigmatisasi sebagai upaya untuk mengadu domba tubuh internal umat Islam. Begitupun dalam ranah politik, ia tak lekang diidentikan sebagai momen pengabsahan para pemegang kekuasaan dalam menggulirkan sejumlah regulasi publik.
Lepas dari pengaruh itu, dalam menyorot persoalan radikalisme diatas, penulis melalui tulisan sederhana ini akan mencoba memotret lebih jauh, untuk kemudian menawarkan upaya-upaya dalam menyikapi sejumlah tindak kekerasan (radikalisme) yang dewasa ini semakin tumbuh subur dan dirasakan mengancam integritas bangsa. Adalah melalui reinternalisasi ajaran tauhid dalam Islam untuk kemudian dicarikan serangkaian perspektif baru melalui gerakan proaktif perempuan. Selain itu pula, dalam upaya meretas jalan radikalisme ini, kembali komitmen pada empat pilar (NKRI, UUD 1945, Pancasila, dan Bhineka Tunggal Ika) merupakan sebuah salah satu solusi efektif agar kedepan tindak radikalisme ini dapat diretas.
Potret Radikalisme
Berbicara soal radikalisme—sebagaimana banyak para pengamat sosial-kegamaan menyatakan—bahwa benih-benih radikalisme (khususnya radikalisme yang mengatasnamakan Islam) begitu tumbuh subur dan telah menjadi persoalan pelik (selain) ditandai pasca meledaknya tragedi WTC 11 September 2001 juga merupakan konsekuensi dari kran reformasi dari masa transisi ke demokrasi Indonesia pasca rezim orde baru tumbang. Ya, pasca tumbangnya rezim orde baru dan tragedi WTC ini, fenomena radikalisme telah menjadi sorotan publik yang bukan hanya telah dianggap menggoyahkan kerukunan antar umat beragama, integritas perdamaian, melainkan pula telah menjadi kejahatan kemanusiaan berskala dunia.
Berbagai aksi bom pun meluas dengan target berbagai pusat perbelanjaan yang dianggap sebagai wujud hedonisme dan kapitalisme barat seperti yang terjadi di Plaza Atrium Senen Jakarta (2001), Restoran KFC dan Mc. Donald Makasar (2002), Mall Ratu Indah Makasar (2002), Kafe Sampodo Indah Palopo (2004) dan pasar Maesa Palu (2005). Berbagai aksi terorisme juga memasuki ranah internasional, karena memilki target warga Negara asing, antara lain Bom Kedutaan Filipina (2002), Bom Bali I (12 Oktober 2002), Bom Hotel J. W. Marriott (5 Agustus 2003), Bom Kuningan di depan Kedutaan Australia (9 Sptember 2004), Bom Bali II (1 Oktober 2005), dan Bom Hotel Ritz Carlton dan J. W. Marriott II (17 Juli 2009).[1] Hingga bom bunuh diri di komplek Mapolresta Cirebon Kota (April 2011) dan dengan peristiwa serupa meledaknya bom di GKBI Kepunton, Solo (September 2011).
Selain dari deret fenomena radikalisme (terorisme) tersebut diatas, berdasarkan pantauan Moderat Muslim Society (MMS) bahwa sepanjang tahun 2010 setidaknya telah terjadi 81 kasus intoleransi. Dan dari 81 kasus tersebut, sebanyak 63 kasus (80%) adalah aksi penyerangan, penolakan rumah ibadah dan intimidasi. Dari segi jenisnya, kasus yang paling sering terjadi adalah penyerangan dan perusakan (24 kasus); penutupan dan penolakan rumah ibadah (24 kasus); ancaman, tuntutan, dan intimidasi (15 kasus); penghalangan kegiatan ibadah (6 kasus); diskriminasi karena keyakinan (4 kasus); pembubaran kegiatan atas nama agama (3 kasus); dan kriminalisasi paham keagamaan (3 kasus) dan pengusiran (2 kasus).[2]
Potret buram ini telah menjadi ancaman serius bagi kemapanan integritas bangsa yang sudah lama terbangun, bahwa genderang radikalisme semakin dan begitu tumbuh subur di Indonesia. Tampak bahwa bersamaan dengan suburnya radikalisme, ini tidak lepas dari para pelakunya, yang kian hari kian bertambah banyak jumlahnya. Ada benarnya jika pepatah berbilang: “patah tumbuh, hilang berganti”. Tewasnya dua gembong teroris Dr. Azhari dan Noordin M. Top, bukan malah menyurutkan aksi radikalisme, ini malah membawa angin segar tersendiri bagi “pengantin-pengantin” lain yang kini masih hidup.
Dalam menyikapi fenomena ini, Zuhairi Misrawi menggarisbawahi bahwa terorisme yang lahir dalam rahim radikalisme agama bukan hanya persoalan pelaku, tetapi lebih terkait dengan keyakinan (teologi). Dengan kata lain, betapapun para pelakunya dapat diringkus bahkan dibunuh, tetapi keyakinannya tidak mudah dilunturkan.
Oleh karena itu menurut Gamson (1992) sebagaimana dikutip Dhyah (2010), persepsi dan kepercayaan ini merupakan frame atau pembentuk bagi seorang Muslim berpartisipasi dalam sebuah gerakan Islam. ‘Frame’ sendiri merupakan perangkat keyakinan yang berorientasi aksi yang mendorong dan membenarkan gerakan sosial.
Sehingga dengan demikian menurut Klandermans (1997) ditinjau dari sudut psikologi sosial, frame meliputi tiga hal yaitu perasaan tidak adil, identitas kelompok yang mengidentifikasikan ‘kita’ sebagai korban ketidakadilan oleh kelompok sosial lain atau penguasa, dan agensi.
Berdasarkan teori dan analisis Gamson dan Klandermans tersebut, ini yang menyebabkan begitu variannya radikalisme sehingga efeknya jauh lebih fatal. Bahaya radikalisme tidak hanya melahirkan terorisme, akan tetapi juga telah melahirkan sejumlah sikap dan aksi esktrim lain; mulai dari intimidasi, pelarangan, pengusiran, hingga perusakan rumah ibadah pemeluk agama lain, semakin marak dalam ekspresi keberagamaan. Sikap tertutup, mengisolir dari orang lain, menjauh dari dialog antar pemeluk internal maupun eksternal agama telah menjadi penyebab utama lahirnya pelbagai aksi radikalisme ini.
Atas dasar frame tersebut pula, yang kemudian melahirkan pendangkalan dan kekeliruan interpretasi kelompok ekstrimis terhadap terma jihad. Jihad telah mengalami distorsi makna dan cakupannya. Jihad hanya dipahami secara literal sebagai sebuah kerja sungguh-sungguh yang melulu dimaknai dengan perang. Sehingga itu, atas pemaknaan sempit seperti ini pula yang juga melahirkan motif kebencian terhadap orang lain terutama non-Muslim.
Bagi mereka, memilih jalan radikal dan teror dianggap sebagai sebuah pengorbanan mulia yang selalu dinisbahkan kepada nabi SAW dan para sahabatnya yang berperang melawan kedholiman orang-orang kafir, karenanya, matinyapun dianggap martir. Bahkan mereka menganggap terorisme sebagai sebuah wajib ‘ain, hukum wajib yang berlaku bagi setiap individu.
Disinilah perlunya memaknai ulang apa itu hikmah dibalik makna jihad yang sesungguhnya. Abd. Moqsith Ghazali dalam bukunya; Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis al-Qur’an (2009), memberikan eksplorasi yang cukup komperhensip dalam melakukan reorientasi makna jihad. Jihad, pada awalnya sama sekali tidak merujuk pada peperangan, apalagi ayat-ayat yang berbicara tentang jihad turun di Mekah, dimana (di Mekah) tak pernah terjadi peperangan yang melibatkan orang Islam dan kafir-musyrik Mekah. Jihad dalam arti sesungguhnya lebih merupakan upaya sesorang untuk menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah, sebab itu orang yang demikian disebut Mujahid. Ayat-ayat yang dimaksud seperti terbaca dalam QS. al-Furqon [25]: 52, al-‘Ankabut [29]: 69, al-‘Ankabut; [29]: 6, Luqman [31]: 15.
Lepas dari itu, dalam hemat penulis, bahwa radikalisme dan segala bentuknya, sejatinya telah menabrak hak kebebasan dalam mengekpresikan keberagamaan dan berkeyakinan. Akibatnya tidak jarang sejumlah stempel sesat dan kafir dijadikan alat ampuh dalam mengebiri hak kebebasan terhadap sejumlah aliran (sekte) keagamaan yang berbeda dengan arus utama, semisal stempel penyesatan yang telah terjadi pada kelompok Ahmadiyah, Komunitas Lia Eden, dan lain sebagainya.
Padahal, ini jelas-jelas sangat bertentangan dengan misi kebebasan yang terkandung didalam Islam (al-Qur’an). Dalam QS. al-Baqarah [2]: 256 dan QS. al-Kahfi [18]: 19 misalnya, kedua ayat ini secara eksplisit menegaskan bahwa manusia diberi kebebasan (pilihan) dalam beragama, berkeyakinan, atau tidak sekalipun.
Dari potret pelik radikalisme diatas, jika dirunut dari berbagai fenomenanya yang telah terjadi, radikalisme terwujud kedalam beberapa bentuk ataupun sikap. Dibawah ini penulis mencoba mengidentifikasi beberapa bentuk radikalisme yang sering digelar oleh kelompok Islam radikal yang implikasinya dapat merusak tatanan integritas kerukunan antar umat beragama dan bangsa.
1. Intimidasi
Merupakan sikap (sejenis) menakut-nakuti orang lain—khususnya terhadap pemeluk agama yang berbeda (non-Muslim)—dengan sejumlah doktrin-doktrin maupun sikap-sikap yang menyebabkan ketidaknyamanan orang lain. Seperti misalkan mengintimidasi seseorang (non-Muslim) dengan mengancam agar ia tidak melakukan ritual ibadahnya. Sikap yang demikian inilah yang penulis maksud dengan intimidasi sebagai bentuk radikalisme.
2. Labelisasi “Sesat”, “Musyrik”, “Kafir” dan seterusnya
Kelompok Islam radikal biasanya tidak segan-segan untuk melabelkan predikat “sesat, musyrik, bahkan kafir” terhadap kelompok Islam lain, apalagi terhadap kelompok non-Muslim. Mereka menganggap bahwa pemahaman selain mereka telah menyimpang dari ajaran Islam. Dengan demikian, kebersikapan Islam dalam ritual-ritual NU seperti tahilan, marhabanan, manaqiban, haul, dan seterusnya mereka anggap sebagai ritual-ritual yang akan mendatangkan kemusyrikan.
3. Pelarangan beribadah
Merupakan sebuah sikap yang berbentuk pelarangan kepada siapapun—khususnya—non-Muslim agar ia tidak melakukan ritual ibadahnya dengan berbagai alasan yang tidak logis. Dari sikap semacam ini, penulis mempunyai konsekuensi terbalik, (andaikan) jika ini kemudian terjadi dan dialami oleh umat Muslim. Misalkan, seorang muslim dilarang melakukan shalat di masjid. Penulis rasa sikap ini sama sekali tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun. Mengapa demikian? Karena persoalan ibadah adalah persoalan yang sangkutannya dengan Tuhan (koneksi vertikal), yang kemudian tidak diperkenankan adanya intervensi dari siapapun, apalagi melakukan sebuah pelarangan.
4. Perusakan rumah ibadah
Yang namanya merusak jelas ini merupakan perilaku yang telah keluar menerobos batas etika toleransi keberagamaan. Apalagi melakukan tindak perusakan terhadap rumah ibadah non-Muslim yang oleh ajaran agama Islam sendiripun sangat dilarang. Maka dari itu, salah satu komitmen kerukunan umat beragama yang harus dijunjung tinggi adalah bersama-sama menjaga keberadaan rumah ibadahnya satu sama lain. Artinya, bersama membangun kerukunan hidup dalam beragama dalam bentuk memberikan kenyamanan ibadah adalah ajaran yang terdapat dalam agama manapun, yang tidak hanya ada dalam ajaran Islam. Oleh karena itu, perusakan tempat ibadah merupakan salah satu sikap yang termasuk pada tindak radikalisme yang dilarang.
4. Bom bunuh diri (terorisme)
Fenomena bom bunuh diri dewasa ini sedang menemukan momentumnya, seperti dua peristiwa terbaru bom bunuh diri yang terjadi di masjid ad-Dzikra Mapolresta Cirebon dan GKBI Kepunton Solo belum lama ini.
Fenomena bom bunuh diri sering diidentikkan dengan konsep jihad dalam Islam, selain ini merupakan sebuah pendangkalan pemahaman, juga merupakan kekeliruan besar dalam memaknai jihad dalam arti yang sebenarnya. Oleh karena itu, bom bunuh diri yang berakibat menewaskan banyak orang ini, sebaiknya kita hadapi bersama (minimalnya) dengan mencari makna jihad yang lebih mempunyai manfaat luas, seperti misalnya dengan berjihad dalam menuntut ilmu.
Itulah beberapa tindak kekerasan Islam radikal yang lahir dari rahim radikalisme yang dapat merusak tatanan damai kehidupan masyarakat Indonesia. Dari beberapa tindak kekerasan diatas, sangat memungkinkan adanya bentuk-bentuk kekerasan lain yang serupa. Namun demikian, tindak kekerasan diatas dapat kita tarik benang merah bahwa tindak kekerasan selalu merujuk pada diskriminasi (pembedaan), arogansi (mau menang sendiri), merasa paling benar sementara yang lain salah, dan lain sebagainya.
Pada akhirnya, dari deretan bentuk radikalisme diatas, mau tidak mau misi Islam sebagai gerbong rahmatan lil’alamin kini berbalik arah sejak tindak radikalisme begitu menjamur. Islam dewasa ini tidak jarang dicap dan dipersepsikan sebagai agama yang identik dengan kekerasan dan terorisme. Jadilah terorisme dan sikap-sikap ekstrim lain yang lahir dari rahim radikalisme ini ibarat sebuah tanaman yang terus bermetamorfosis makin menjadi subur.
Islam (Tauhid) dalam Meretas Jalan Radikalisme
Islam, sebagaimana pula terdapat dan diyakini agama-agama lain, sangat menjunjung tinggi nilai-nilai ketauhidan (monotheisme). Itulah mengapa tatkala seseorang hendak memeluk agama Islam ia diwajibkan mengucap dua kalimat syahadat sebagai bentuk penyaksian sebagai konsekuensi dalam mendudukkan dirinya sebagai hamba Tuhan; “Asyhadu an laa ilaaha illa Allah, wa Asyhadu anna Muhammad Rasul Allah” (Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan-Nya).
Melalui ajaran tauhidnya itu, Islam mempunyai landasan pijakan yang kuat, yakni sebagai bentuk loyalitas manusia dalam mengesakan Tuhan diatas segalanya. Karena bagaimanapun ajaran tauhid adalah inti (pokok) dari sistem keberagamaan dalam Islam. Konsep tauhid dalam Islam inilah yang kemudian terbungkus dalam kalimat “Laa ilaaha illa Allah” (sebagaimana terdapat dalam kalimat syahadat).
Kalimat pertama “Laa ilaaha”, adalah bentuk penegasian atau penafian terhadap segala hal yang diagungkan, dipuja, dan disembah. Semua bentuk pengagungan terhadap diri sendiri atau menuhankan diri sendiri atau menuhankan benda-benda itu yang oleh al-Qur’an dipandang justeru akan menyesatkan. Hal ini bisa terjadi ketika ia hanya mementingkan dirinya sendiri dan menolak kepentingan orang lain, membenarkan diri sendiri dan menolak kebenaran orang lain, membesarkan diri sendiri dan merendahkan orang lain dan seterusnya.[3]
Bahwa manusia hanya sebatas menginterpretasi kehendak dalam firman-firman Tuhan. Sehingga itu, konsekuensi dari adanya kerja interpretasi, apalagi dibarengi dengan segala bentuk keragaman dalam kehidupan maka meniscayakan pula terjadinya keragaman interpretasi. Tidak ada interpretasi mutlak selain Tuhan dan pasca Nabi Muhammad SAW, interpretasi sepeninggal Rasulullah adalah interpretasi yang bersifat relatif-kondisional yang memungkinkan adanya reinterpretasi dalam situasi dan kondisi yang lain yang berbeda. Dan inilah sesungguhnya pokok ajaran yang terkandung didalam kalimat tauhid yang kedua “Illa Allah” (kecuali Allah). Tuhanlah yang Mahamutlak selain-Nya adalah relatif. Dialah hakim dan penentu kebenaran dalam setiap tindak-tanduk hamba-hamba-Nya di dunia, pernyataan tegas ini tertuang misalkan dalam QS. al-Hajj [22]: 67-70.
Dengan demikian, Islam melalui ajaran monotheismenya, hendak menegaskan bahwa pada sisi lain merupakan bentuk pembebasan dari pelbagai sikap yang berbau individualistik-eksklusif. Dalam pada itu Husein Muhammad menegaskan bahwa dalam Islam dengan begitu dimaksudkan sebagai dasar untuk mengarahkan manusia secara pribadi maupun kolektif kepada jalan kebenaran, keadilan, dan keseimbangan antara kepentingan-kepentingan pribadi dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat, bahkan kepentingan alam sekitarnya.[4]
Sebagaimana Islam, pun dalam lintas sejarah agama-agama lain, penulis mempunyai keyakinan bahwa tidak pernah ada satu pun agama di dunia ini melalui pelbagai ajaran-ajarannya yang menganjurkan (melegitimasi) penganutnya untuk berbuat kekerasan (radikalisme). Karenanya, sungguhpun diantara banyak agama mempunyai ritual peribadatan yang berbeda, namun dalam soal membangun tatanan kehidupan masyarakat yang damai, adil, dan sejahtera merupakan sebuah komitmen bersama yang oleh seluruh pemeluk agama dimanapun ia berada dijadikan titik temu dalam pencapaian nilai-nilai kemanusian dan perdamaian. Dalam QS. al-Qashah [28]: 77, Tuhan berfirman: “Dan carilah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu untuk akhirat, dan janganlah kamu melupakan baginya di dunia dan berbuat baiklah, sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menykai orang-orang yang yang berbuat kerusakan”.
Kalau mengacu pada ayat diatas, sebetulnya ini adalah larangan keras yang disampaikan Tuhan kepada manusia untuk tidak berbuat aksi kekerasan kepada siapapun di muka bumi. Konsekuensi logis dari larangan tersebut adalah, manusia hendaknnya dapat meneladani kebaikan Tuhan sebagimana kebaikan yang telah dianugerahkan kepadanya.
Bertolak dari pelbagai ajaran disetiap agama-agama—terlebih Islam—melalui ajaran monotheisme, ini dapat dijadikan sebagai fundamen (dasar) dalam menyikapi kejahatan kemanusiaan radikalisme dan terorisme.
Dari eksplorasi ajaran tauhid diatas, maka sampai pada satu persepsi bahwa yang satu (Esa) hanyalah Tuhan, selain-Nya adalah beragam, heterogen, majemuk, dan plural. Persepsi semacam ini memiliki urgensitas yang signifikan tatkala dihadapkan pada potret realitas kehidupann yang begitu beraneka ragam; mulai dari jenis kelamin, kulit, bahasa, ras, adat, tradisi, suku bangsa, hingga agama.
Husein Muhammad dalam bukunya; Ijtihad Kiai Husein: Upaya Membangun Keadilan Gender (2011), mencoba menganalogikan pluralitas ini dengan memberikan fakta realitas dalam pandangan mata terhadap sekelilingnya yang memiliki objek berwarna-warni.[5] Pandangannya tersebut bersumber pada beberapa ayat dalam al-Qur’an semisal; al-Rum [30]: 22, al-Hujurat[49]: 13, al-Maidah [5]: 48 yang kesemuanya secara eksplisit mengisahkan keragaman dalam kehidupan.
Ia bahkan menegaskan sembari mengutip Muqatil bin Sulaiman—seorang penafsir generasi awal—bahwa ia adalah tanda-tanda tentang Kemahaesaan Allah (fi Tauhidillah). Kerenanya, keragaman tersebut semestinya renungan bagi orang-orang yang berpikir.[6] Jadi, barang siapa orangnya yang melakukan segala bentuk tindak radikalisme dan anti pluralisme, sejatinya mereka telah melawan perintah dan otoritas Tuhan.
Gerakan Proaktif Perempuan dalam Meretas Jalan Radikalisme
Namun demikian, dari basis ajaran monotheisme diatas, juga diperlukan sebuah gerakan massif dan menyeluruh dari setiap komponen bangsa. Diperlukan berbagai upaya sungguh-sungguh yang berkelanjutan dan menyeluruh. Pemerintah sebagai pemegang utama kebijakan publik (regulator) harus dapat bertindak tegas terhadap pelbagai fenomena yang bernafaskan radikalisme dan terorisme. Bersamaan dengan upaya pemerintah, seluruh elemen masyarakat harus dapat proaktif ikut melantangkan anti tindak kekerasan melalui upaya-upaya dakwah kultural terutama dalam mengantisipasi dampak negatifnya bagi tunas-tunas bangsa.
Salah satu dari sekian banyak elemen masyarakat yang harus proaktif dalam gerakan upaya meretas jalan radikalisme adalah perempuan. Ya, perempuan melalui transformasi diskursus dan gerakan kesetaraan gender, memiliki andil yang signifikan. Potensi feminitas dalam diri perempuan mempunyai kesinambungan dalam membumikan nilai-nilai kasih sayang, kemanusiaan dan perdamaian.
Dalam mengimplementasikan gerakan ini, bisa kita ambil contoh Gerakan Moral yang mengampanyekan wajah agama yang humanis, inklusif, dan pluralis. Sebagaimana telah diprakarsai tokoh-tokoh agama dari pelbagai organisasi keagamaan, seperti NU, Muhammadiyah, Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Prsekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), Hindu, dan Konghucu (Kompas, 15/10/2002), setelah menelan pahit beberapa fakta radikalisme dan terorisme.
Gerakan perempuan melalui transformasi kultural dan pemberdayaan berperspektif keadilan dan kesetaraan gender harus dapat turut mempropagandakan kebersikapan anti radikalisme dan terorisme. Gerakan ini tidak dimaksudkan sebagai sebuah gerakan represif, melainkan merancang sebuah gerakan proaktif perempuan, yang proses garapannya selalu berjalan sinambung, berkelanjutan, dan menyeluruh.
Gerakan proaktif perempuan ini begitu penting, sekurang-kurangnya dapat dilihat dari dua sisi. Sisi pertama, bahwa aksi radikalisme (berikut radikalisme) yang selama ini meledak, pelakunya mayoritas atau hampir semuanya adalah laki-laki. Sisi kedua, kuantitas perempuan di Indonesia hampir separuh dari jumlah laki-laki, sehingga itu, gerakan ini dirasakan cukup efektif merupakan sebagai antisipasi dan pencegahan agar supaya perempuan tidak menjadi pelaku aksi radikalisme.
Beberapa wujud konkrit dari gerakan proaktif yang harus dilakukan perempuan ini antara lain; pertama, melakukan reinterpretasi terhadap teks-teks (baik dalam al-Qur’an maupun al-Hadits) yang berpotensi melahirkan aksi kekerasan yang diakibatkan kedangkalan dan kekeliruan interpretasi. Kedua, melakukan sosialisasi akan pentingnya membangun kehidupan yang damai, santun, dan toleran terhadap pluralitas. Ketiga, melakukan pemberdayaan terhadap masyarakat dan generasi muda khususnya terhadap generasi muda perempuan, selain ia diberikan pemberdayaan berperspektif gender, pun diberikan pemberdayaan yang berbasis ekonomi. Mengapa demikian, karena tidak jarang tindak radikalisme disebabkan karena motif himpitan ekonomi.
Kembali Kepada Komitmen Empat Pilar
Snow, Worden, Rochford and Benford (1986) menjabarkan tentang konsep “frame anlignment”, dimana orientasi interpretasi, kepentingan, nilai-nilai, kepercayaan, individu (dalam hal ini partisipan aktif) dan tujuan ideologi dari organisasi adalah sebangun dan saling melengkapi. Sehingga itu, secara psiko-sosiologis sikap ini yang begitu vital dalam menimbulkan gerakan dan aksi radikalisme.[7]
Adalah sebuah keharusan, dengan bahu membahu mencari solusi dan upaya-upaya yang mengarah agar mata rantai radikalisme dapat segera diputuskan. Mengacu pada salah satu hasil keputusan Muktamar NU ke 32 di Makasar, sebagaimana pula berkali-kali disampaikan oleh Ketua umum PBNU terpilih—Prof. Dr. KH. Said Aqiel Siradj, MA—diberbagai tempat dan kesempatan, bahwa dalam menyikapi sejumlah tindak kekerasan hingga terorisme adalah dengan kembali pada komitmen bersama—dalam konteks kehidupan berbangsa, bernegara, dan beragama—yaitu dengan tetap teguh dan memperkokoh empat pilar diantaranya NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Bhineka Tunggal Ika.
Melihat tendensi seperti ini Earl Conteh-Morgan dalam Collective Political Violence (2004) membentangkan sejumlah motif yang bisa memproduksi terorisme. Pertama, modernisasi dan urbanisasi. Kedua, budaya kekerasan yang dianggap sudah mentradisi. Ketiga, pemerintah yang tidak begitu komitmen terhadap pemberantasan terorisme. Keempat, akumulasi penindasan, peminggiran, dan penderitaan.[8]
Dari berbagai motif radikalisme dan terorisme diatas, memperkokoh kembali komitmen empat pilar dirasakan paling efektif dan akan semakin menemukan signifikansinya bukan hanya tatkala dihadapkan dengan sejumlah fenomena radikalisme yang banyak menyulut keresahan dan kegelisahan publik, tetapi juga demi masa depan Islam Indonesia dengan karakteristiknya yang santun dan toleran, yang telah menjadi fondasi kuat jauh sebelum bangsa ini merdeka.
Keputusan kompromistis founding father’s soal NKRI, selain dicoreng oleh sejumlah aksi radikal, ia kini kembali berhadapan sengit dengan genderang dan tabuhan Negara Islam atau Khilafah Islamiyah. Dari kenyataan NKRI versus Negara Islam (Khilafah Islamiyah) ini, berbuntut pula pada upaya “peyingkiran” Pancasila sebagai landasan ideologi, UUD 1945 sebagai landasan konstitusional, dan Bhineka Tunggal Ika sebagai landasan berkehidupan. Sehingga alih-alih mereka kemudian menawarkan dengan mengajak seluruh umat Islam di Indonesia dan dunia untuk kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah, tentunya versi “mereka”.
Dari wujud konkrit fenomena tersebut dan dari berbagai karakteristik wajah intoleransinya itu, ada benang merah yang dapat ditarik, dan bertemu pada satu kesimpulan, yakni ketidakmampuan dan ketidakberdayaan untuk merajut dialog secara dingin dan terbuka, atas inkonsistensi pada bangunan NKRI, Pancasila, UUD 19545, dan Bhineka Tunggal Ika. Padahal, meminjam istilah Cak Nur (Nurcholish Madjid) bahwa dengan melalui dialog, memungkinkan terjadinya cultural cross fertilization (penyuburan silang budaya) yang meniscayakan budaya lokal dan nasional hibrida yang lebih unggul dan tangguh. Lepas dari itu, dari sini nampak jelas bahwa kelompok Islam radikal mempunyai karakteristik berikut kecenderungan yang eksklusif, intotelan, dan anti pluralisme dalam menyikapi kompleksitas (pluralitas) kehidupan.
Ada semacam phobia terhadap non Muslim terutama kepada umat Nasrani dan Yahudi. Padahal dalam kacamata (sosio-historis) Said Aqiel Siradj, bahwa komunitas yang dipimpin Nabi Muhammad saw saat hijrah ke Madinah merupakan masyarakat pluralistik meliputi pemeluk Yahudi, nasrani, Islam, dan musyrik. Mereka semua hidup bersahabat dan berdampingan tanpa menyoal agama dan keyakinan. Bangunan “Negara” itupun juga tidak berdasar teokrasi atau Negara agama, akan tetapi dibawah panji “piagam Madinah”.[9]
Wal hasil, tak ada alasan bagi seseorang Muslim membenci orang lain karena ia bukan penganut agama Islam. Membiarkan orang lain (al-akhar) tetap memeeluk agama non-Islam adalah bagian dari perintah Islam sendiri.[10]
Oleh karena itu, tidak ada jalan lain kecuali dengan kembali pada nilai-nilai luhur yang terkandung didalam empat pilar, yakni dengan kembali mengacu pada bangunan kompromistis NKRI sebagai wadah pemersatu bangsa, Pancasila sebagai wadah pemersatu ideologi, UUD 1945 sebagai wadah pemersatu konstitusi, dan Bhineka Tunggal Ika sebagai pemersatu keanekaragaman yang ada dalam rahim Indonesia. Sebab, sikap komitmen inilah yang telah dijalankan Nabi dan masyarakat Madinah yang pluralistik itu, dimana ia tetap hidup berdampingan dalam naungan konstitusi Madinah. Maka dari itu, upaya untuk meretas jalan radikalisme demi kembali menyulam dan merajut persatuan dan kesatuan yang telah lama dibangun oleh para pendahulu (founding father’s) merupakan tugas yang tidak berat yang harus menjadi komitmen dan kewajiban bersama.
Penutup
Radikalisme dan pelbagai bentuknya adalah kejahatan kemanusian yang bisa meruntuhkan nilai-nilai persatuan dan kesatuan bangsa dan dunia. Hal itu bisa dilihat dari sejumlah dampak negatif yang lahir dari rahim radikalisme; dari sekedar ketidaknyamanan sampai jiwa manusia melayang.
Oleh karena itu, melalui tulisan sederhana ini penulis berharap bisa memberikan perspektif baru terutama dalam meretas jalan radikalisme yang banyak merugikan itu. Disadari ataupun tidak, realitas radikalisme yang tumbuh subur dewasa ini, merupakan konsekuensi wajar dari kran reformasi yang telah bergulir tidak kurang dari 13 tahun silam. Sama seperti beberapa konsekuensi yang terjadi dalam berbagai aspek kehidupan; krisis ekonomi global, kisruh politik dan korupsi, belum ajegnya sistem pendidikan, belum optimalnya pemanfaatan sumber daya alam, kemiskinan, pengangguran, dan lain sebagainya.
Tetapi perlu diingat bahwa sesulit dan sekompleks apapun kenyataan radikalisme dan realitas pahit lain diberbagai aspek kehidupan, kita sebagai bangsa Indonesia tidak boleh pesimis, tetap harus optimis sembari melakukan ikhtiar dalam mengupayakan strategi yang mengarah pada pengetasan radikalisme dan masalah-masalah lainnya.
Sehingga dari fenomena radikalisme ini tetap dapat dijadikan pelajaran, betapa tidak mudah membangun sebuah tatanan kehidupan yang berjalan diatas rel kebebasan disatu sisi dan perdamaian disisi lain. Untuk itu, sebagaimana melalui reinternalisasi ajaran tauhid dalam Islam dan komitmen bersama untuk kembali pada empat pilar, setidaknya dapat memberikan tawaran baru untuk bersama-sama kembali komitmen dalam membangun kebebasan dan hidup damai di tengah pluralitas.
Dengan demikian, dari niat dan disertai upaya-upaya konkrit gerakan proaktif perempuan dan gerakan serupa dari berbagi komponen masyarakat lainnya, penulis optimis bahwa tatanan kehidupan yang terbuka, toleran dan damai akan terwujud. Wallahu ‘alam.
End Notes:
[1]. Dhyah Madya Ruth, 2010, Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Terorisme, Jakarta: Lazuardi Birru, hal. 2.
2. Zuhairi Misrawi. 2011. Islam Rahmatan Lil’alamin: Dari Radikalisme menuju Moderasi. Hal. 7. Makalah disampaikan pada Seminar tentang Radikalisme oleh Himasos IAIN Syekh Nurjati Cirebon, 2011.
3. Husein Muhammad, 2009, Islam Agama Ramah Perempuan: Pembelaan Kiai Pesantren, Yogyakarta: LKiS, hal. 6.
4. Ibid. hal. 7.
5. Husein Muhammad, 2011, Ijtihad Kiai Husein: Upaya Membangun Keadilan Gender, Rahima: Jakarta, hal. 269.
6. Ibid, hal. 273.
7. Snow, David, and others, Sosial Network and Sosial Movements: A Microstructural Approach to Differential Recruitment. American Sociological Review. 1980. hal. 787
8. Zuhairi Misrawi, 2010, Pandangan Muslim Moderat: Toleransi, Terorisme, dan Oase Perdamaian, Jakarta: Kompas, hal. 129-130.
9. Said Aqiel Siradj, 1999, Islam Kebangsaan: Fiqih Demokratik Kaum Santri, Jakarta: Pustaka Ciganjur, hal. 217.
10. Abdul Moqsith Ghazali, 2009, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an, Jakarta: KATA KITA. Hal. 216.
*) Dimuat dalam Jurnal EQUALITA, edisi Juli 2011 Pusat Studi Gender (PSG) IAIN Syekh Nurjati Cirebon.
Terima kasih, membantu sekali artikelnya
ReplyDelete