Home » » Meneladani Kepemimpinan Nabi

Meneladani Kepemimpinan Nabi


Meneladani Kepemimpinan Nabi
Mamang M. Haerudin*)


Berkenaan dengan salah satu temaMenghadirkan Teladan Kepemimpinan Bapak Bangsa di Masa Kini” saya berpandangan bahwa apa yang dikemukakan oleh Dr. Darwin Zahedy Saleh dalam artikel “Mengenang Pemimpin Teladan” dalam www.darwinsaleh.com, sepenuhnya saya setuju dan memang tepat menjadikan sosok Mohammad Hatta (Bung Hatta) sebagai sosok teladan, karena jiwa kepemudaan, keorganisasian, dan kepemimpinannya begitu mengesankan.
Bagaimana tidak Pak Darwin menyatakan, bahwa, sambil terus kuliah, mengasah diri dalam ilmu ekonomi hingga tingkat doktoral, ia ikhlas menjadi orang lapis ke 3 atau ke 4 saja dalam kepengurusan, barulah akhirnya ia didesak menjadi ketua Perhimpunan Indonesia (24 tahun). Teman-temannya memang menjadi tokoh di Indonesia merdeka kemudian tapi ia yang akhirnya menjadi Wapres RI.
            Bagi saya, keterkesanan Pak Darwin atas Bung Hatta memang berdasar. Bung Hatta bukan hanya sosok—meminjam istilah Pak Darwin—sang intelektual cerdas, melainkan juga karena kualitas dan kapasitas kepemimpinannya begitu mumpuni. Ia terpilih menjadi Wapres RI, saat itu, bukan karena ambisi dan nafsu untuk berkuasa, melainkan berkat kepercayaan akan kualitas dan kapasitas kepemimpinannya itu.
Indonesia adalah bangsa yang besar. Kebesarannya itu tak hanya dibuktikan dengan kuantitas jumlah penduduknya, melainkan juga kekayaan alam yang melimpah ditambah dengan beragamnya agama, suku, budaya, bahasa, dan lain-lain, yang membentang dari Sabang sampai Merauke. Pencapaian terbesar juga telah ditorehkan oleh para founding fathers-mathers bangsa, di mana mereka telah berhasil memerdekakan bangsa dari belenggu penjajah. Ini merupakan jerih payah yang tidak mudah, bahkan berdarah-darah. Tenaga, pikiran, materi, hingga nyawa dan segalanya dikorbankan demi berdaulatnya bangsa Indonesia.
            Tetapi hari ini, bangsa kita sedang banyak dirundung nestapa dan tengah mengalami dekadensi kepemimpinan. Betapa tidak, banyak orang, kini berebut jabatan dan pimpinan. Segala cara halal dilakukan. Demi merebutnya, jangankan teman, noktah moral dan agama pun diabaikan. Tak kenal ia kaum muda maupun tua, keduanya berebut asalkan jabatan dan kekuasaan dapat ia raih. Kisah sejarah Umar bin Khattab di muka, adalah cambuk tersendiri bagi saya dan umumnya masyarakat bangsa, bahwa memimpin dan berkuasa adalah bukan segalanya. Karena di sana ada tanggung jawab yang besar dan berat.
Kiranya kita perlu membaca kembali dan merenungkannya tentang kisah inspiratif betapa beratnya sebuah amanat kepemimpinan. Kita kenal salah seorang khalifah bernama Umar bin Khattab, sosok manusia yang gagah dan pemberani. Sahabat karib Rasulullah ini, pernah tampak sedih dan menangis sendu. Ia menangis sendu, saat Abu Bakar Shiddiq, meminta dan menunjuknya untuk berkenan menjadi calon pengganti sebagai khalifah.
“Jika Anda benar mencintaiku, hai khalifah, jangan kau bebankan amanat sebesar itu ke pundakku!” Begitu kira-kira kata penolakan halus yang diucapkan Umar pada Abu Bakar.
“Masih banyak orang lain yang lebih mampu dariku”, imbuhnya, tak kuat menahan tangis, sembari membayangkan betapa beratnya mengemban amanat dan tanggung jawab rakyat dan kelak di hari perhitungan.
Abu Bakar terus membujuk dan berusaha menguatkan, sambil membeberkan sejumlah alasan kenapa kemudian memilih Umar. Sebagaimana kita tahu, Umar merupakan tokoh pemimpin yang Qawiy al-Amin, yang kuat dan dapat dipercaya. Atas berbagai pertimbangan dan proses panjang, Umar pun menjadi khalifah menggantikan Abu Bakar, tetapi bukan karena ambisi dan nafsunya untuk berkuasa.

Bercermin Pada Nabi
Semua orang adalah pemimpin. Dia tak akan mampu memimpin sebuah kelompok, organisasi, apalagi bangsa jika dia tak mampu memimpin dirinya sendiri. Tidaklah menganehkan jika selama ini kepemimpinan diartikan dengan makna yang sempit dan keliru. Kepemimpinan yang hanya dimaknai sebagai merebut kekuasaan dengan segala cara dan untuk menumbangkan lawan-lawan politiknya secara brutal.
Padahal, Nabi Muhammad Saw bersabda, “Hendaklah kamu berpegang kepada kebenaran, karena sesungguhnya kebenaran itu memimpin kepada kebaktian, dan kebaktian itu membawa ke surga (kebahagiaan), dan hendaklah tetap seseorang itu bersifat benar dan memilih kebenaran hingga dia tertulis di sisi Allah sebagai orang-orang yang sangat benar, dan hendaklah kamu jauhi kedustaan, karena sesungguhnya kedustaan membawa ke neraka (kehancuran), dan janganlah seseorang tetap berdusta dan memilih kedustaan hingga tertulis di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Bukhari-Muslim).
Mengutip pandangan Ari Ginanjar Agustian dalam bukunya  ESQ: Emotional Spiritual Quotient (2007), sedikitnya ada 5 (lima) tangga kepemimpinan yang harus ditempuh oleh siapapun ketika ia mendambakan sosok pemimpin yang memiliki jiwa kepemimpinan integratif, baik untuk diri maupun bangsa.
Pertama, pemimpin yang dicintai. Anda bisa mencintai orang lain tanpa memimpin mereka, tetapi Anda tidak bisa memimpin orang lain tanpa mencintai mereka. Nabi Muhammad-lah sosok insipiratif pemimpin yang dicintai. Muhammad Husein Haekal (salah seorang sejarawan asal Mesir) mengatakan, sejarah hidup Muhammad yang membuat dakwahnya berkembang adalah keteladanan sang Nabi yang begitu memukau. Hak setiap orang ditunaikannya. Pandangannya kepada orang yang lemah, terhadap piatu, orang yang sengsara dan miskin, adalah pandangan seorang Bapak yang penuh kasih, lemah lembut, juga mesra.
Kedua, pemimpin yang dipercaya. Seseorang yang memiliki integritas tinggi adalah orang yang dengan penuh keberanian serta berusaha tanpa kenal putus asa untuk dapat mencapai apa yang ia cita-citakan. Integritas akan membuat Anda dipercaya, dan kepercayaan itu akan menciptakan pengikut. Dan kemudian tercipta sebuah kelompok yang memiliki kesamaan tujuan. Nabi Muhammad jugalah sosok pemimpin yang amat dipercaya sehingga beliau dijuluki al-Amiin (orang yang dipercaya).
Ketiga, pembimbing. Pemimpin yang berhasil tidak diukur dari sisi luas tidaknya kekuasaannya, namun lebih karena kemampuannya memberikan motivasi dan kekuatan kepada orang lain. Seorang pemimpin bisa dikatakan gagal apabila tidak berhasil memiliki penerus. Tak diragukan, Nabi Muhammad adalah sosok pembimbing sejati. Ia pandai meyakinkan dan memotivasi banyak orang bahwa Islam adalah kebenaran.
Keempat, pemimpin yang berkepribadian. Harry S Truman mengatakan. Disiplin pribadi (diri sendiri) adalah suatu hal yang datang terlebih dulu. Pemimpin tidak akan berhasil apabila ia belum berhasil memimpin dirinya sendiri. Pemimpin harus mampu dan berhasil menjelajahi dirinya sendiri, mengenai secara mendalam siapa diri sebenarnya. Sebelum ia memimpin keluar, ia harus lebih dulu memimpin ke dalam. Dan Nabi Muhammad telah memberikan teladan ini. Pribadi Nabi begitu mengesankan, berlaku baik pada siapapun, diperlakukan keras oleh siapapun ia tetap membalasnya dengan kebaikan. Ia mampu memimpin dirinya sendiri, untuk memimpin agama, bangsa, dan dunia.
Kelima, pemimpin abadi. Saat ini memang ada pemimpin yang sudah dicintai, dipercaya, dan juga pembimbing yang baik, namun apabila terbukti atau dirasakan tidak sesuai lagi dengan hati nurani manusia, umumnya pengaruhnya berhenti pada suatu masa saja. Lagi-lagi Nabi Muhammad adalah pemimpin abadi, keabadiannya tak hanya diakui oleh umat Islam, melainkan umat dunia dan abadi sampai akhirat.

Kiai Meneladani Kepemimpinan Nabi
Menarik dikemukakan hasil riset yang diprakarsai Dr. Darwin Zahedy Saleh yang kemudian dihimpun dalam buku Potret Dhuafa: Perekonomian Indonesia dalam Statistik, Ide, dan Terapan (2013). Buku setebal 452 halaman ini banyak memotret ragam kisah hidup kaum dhuafa di Indonesia. Selain juga dikonsepsikan strategi pembangunan dan pemberdayaan yang berpihak kepada kaum dhuafa (rakyat).
Ada dua dari beberapa kisah filantropis yang memotret teladan dua orang kiai dari pesantren, yakni KH. Hamam Djafar dari pesantren Pabelan, Magelang dan KH.  Sholeh Iskandar dari pesantren Darul Fallah, Bogor. Kita tahu, bahwa kiai adalah pimpinan di pesantren. Kualitas kepemimpinannya amat menentukan masa depan pesantren yang dipimpinnya. Berbekal niat untuk ibadah, kiai di pesantren mendidik santri dan masyarakat dengan ikhlas selama 24 jam penuh. Kiai senantiasa siap, saat ia dibutuhkan oleh santri dan masyarakat.
Begitulah kiranya ketika ada hadits Nabi mengatakan, al-‘Ulama’ waratsat al-Anbiya’, ulama pewaris para Nabi. Bahwa kisah hidup dua kiai isnpiratif ini tak lain adalah ikhtiar mereka dalam meneladani kepemimpinan Nabi. Tidaklah menganehkan jika buah dari keikhlasan dan ketawadhuan dua sosok kiai ini banyak menarik simpati banyak pihak. Kedua pesantren tersebut banyak mendapatkan penghargaan dan kunjungan dari berbagai tokoh penting dunia, karena keberhasilannya dalam memberdayakan santri dan masyarakat.
Hal yang telah diungkapkan di atas hanya potret sederhana, dari kenyataannya yang sungguh luar bisa, mana kala Indonesia ingin menjadi bangsa yang besar, ia  hanya bisa diraih jika para pemimpinnya dapat meneladani kepemimpinan Nabi. Semoga. Wallahua’lam bi al-Shawab.


*) Khadim al-Ma’had di pesantren Raudlatut Tholibin Babakan-Ciwaringin-Cirebon
Tulisan ini dibuat untuk mengikuti lomba blog dari www.darwinsaleh.com. Tulisan adalah karya saya sendiri dan bukan merupakan jiplakan.

Daftar Referensi

Darwin Zahedy Saleh, Potret Dhuafa: Perekonomian Indonesia dalam Statistik, Ide, dan Terapan, cet. I, (Jakarta: Ekxpose, 2013).


0 komentar:

Post a Comment