Home » » Pesan Kecil untuk Kampus Tercinta

Pesan Kecil untuk Kampus Tercinta


Bangkit dari Kemandegan:
Mencari Format Baru Kampus Progresif

Hampir tiga tahun lamanya penulis mengenyam bangku kuliah di kampus IAIN Syekh Nurjati Cirebon ini. Dan, selama tiga tahun ini pula sedikit banyaknya telah membentuk arah paradigma pemikiran penulis, terutama dalam kaitannya meneropong realitas sosial-intelektual di kampus tercinta ini.
Disadari atau tidak, ada gejala sekaligus fakta yang memprihatinkan tatkala melihat realitas kampus kita, terutama berkait kelindan dengan hilangnya élan vital sebagai institusi pencetak kaum intelektual pembentuk peradaban adiluhung.
Padahal sejatinya, institusi sekelas IAIN adalah institusi yang sejak kemunculannya memiliki format strategis dalam mengembangkan ilmu-ilmu keislaman. Instansi yang diharapkan mampu membangun—meminjam istilah Syafi’i Ma’arif—masyarakat ilmiah yang dapat merumuskan gagasan-gagasan besar tentang Islam, kemanusiaan, dan alam semesta.
Kalau kita menilik sejarah, nampaknya ini berbanding lurus dengan pengalaman yang pernah dialami dalam siklus pemikiran Islam sekitar empat abad yang lalu, dimana kerja kreatif intelektualime dibekukan setelah adanya proklamasi: pintu ijtihad telah ditutup. Lepas dari pengalaman sejarah pemikiran Islam terebut, terjebak atau tidak, ada baiknya jika penulis mengutip sindiran tajam Muhammad Iqbal karena mengamati gejala dan realitas seperti ini; Semoga Tuhan/Menyentuhkan ruhmu/kepada gelombang maha dahsyat/Karena dalam perairan lautmu/Hampir tidak ada riak.
Ketika keadaannya sudah sedemikian parah, masihkah kita berdiam diri, paling tidak merasa risau atau gelisah, misalnya? Cobalah bayangkan betapa tenang dan sepinya lautan intelektualisme kampus selama bertahun, bahkan berpuluh tahun lamanya hingga harus menunggu sampai kapan untuk dapat bangkit dari kemandegan ini.

Secuil Gambaran Realitas Kampus Kita
Nampak ada benarnya jika mencermati dawuh Nabi SAW: “Al-Hikmah dhallah al-mukmin haitsu ma wajada al-mukmin dhallatah falyujmi’ha ilahi”, bahwa, ilmu pengetahuan adalah barang yang hilang dari tangan kaum muslimin. Maka jika ia menemukannya hendaklah ia mengambilnya kembali. Sebagaimana penulis katakan diawal, yang hilang dari kampus kita ini adalah arus intelektualisme (ilmu pengetahuan).
Pertanyaan yang kemudian muncul, mengapa bisa terjadi demikian? Menurut hemat penulis, basis dari uraian alasan itu adalah karena realitas sosial kampus kita ini berbicara demikian. Sedikit mengafirmasi realitas itu, misalnya timbul dari beberapa indikasi-indikasi yang kerap muncul, seperti; (lebih kurang) dua tahun semenjak alih status dari STAIN menjadi IAIN—mohon maaf—belum ada perubahan signifikan dalam tubuh IAIN kita ini.
Darimana penulis dapat menyimpulkan hal itu, paling tidak ada dua kacamata yang dapat dijadikan ukuran dalam melacaknya. Pertama, kualitas dosen. Penulis semakin ragu dalam menilai kualitas dosen-dosen kita. Maksud penulis begini, gelar-gelar akademik yang disandang olehnya ternyata tidak berbanding lurus dengan ghirah keilmuannya. IAIN ini penulis yakin tidak akan pernah sampai terjadi kekurangan dosen, dengan kata lain bahwa dosen-dosen dikampus kita ini begitu banyak jumlahnya.
Lebih lanjut, ghirah keilmuan yang ada di kampus kita ini—menurut hemat penulis—masih bersifat semu. Semu dalam arti hanya sebatas menjalankan tuntutan mengajar di kelas, sebagai salah seorang PNS, yang kemudian tidak ditindak lanjuti melalui kajian-kajian atau diskusi-diskusi diluar kelas. Ada yang lebih menyakitkan pikiran dan hati, tatkala melihat “gerak-gerik” dosen yang “asal-asalan”. Keasal-asalannya ini ditandai dengan jarang masuknya dosen tersebut, pemberian tugas yang irasional, kebijakan yang sewenag-wenang dan lain sebagainya. Walaupun tidak semua dosen seperti itu, entah mengapa penulis mempunyai dugaan, dosen yang demikian jumlahnya tidak sedikit.
Kedua, kualitas mahasiswa. Mahasiswa yang mengenyam bangku kuliah di kampus kita ini tidak lebih masih didominasi oleh mahasiswa-mahasiswa “malas”. Malas yang penulis maksud adalah minimnya eksplorasi khazanah-khazanah intelektualisme. Ada tepatnya jika kemudian—mungkin—beranggapan bahwa produk kemalasan ini sebagai implikasi logis dari kemalasan dosen. Meskipun ada benarnya, penulis tidak sepenuhnya sepakat dengan hal ini.
Ada potensi positif  yang sebetulnya kalau saja dapat diarahkan dengan baik dan proporsional, adalah antusiasme mahasiswa terhadap keterlibatannya dengan organisasi-organisasi intra ataupun ektra. Namun lagi-lagi hal ini sangat disayangkan, keterlibatannya itu terjebak pada situasi pragmatisme atau bahkan materialisme. Para aktivis umumnya terjebak pada sikap antagonis dan oposisi, terutama pada pihak kampus. Hal ini sepenuhnya tidak salah, namun kemudian persoalannya adalah sikap kritis (yang berujung antagonis-oposisi) tidak diimbangi dengan prestasi intelektual (akademik), keadaban, kesopanan, dan moralitas yang luhur.
Masih banyak sebetulnya yang termasuk “kemalasan-kemalasan” lain dalam tubuh kampus kita ini. Mulai dari fasilitas kampus yang masih kurang representatif, pelayanan kampus yang belum optimal, gejolak politik kampus yang tak kian berhenti, fasilitas perpustakaan dan jumlah buku-buku yang sudah lapuk, dan lain sebagainya.

Bangkit dan Reintelekualisme
Bangkit dari keterpurukan adalah niscaya, begitu pula kembali mengembangkan (eksplorasi) khazanah-khazanah keilmuan pun adalah sebuah keharusan, ini adalah catatan keharusan jika kita tidak mau berlama-lama berada dalam keterkungkungan status quo.
Dosen dan mahasiswa harus dapat berkolaborasi secara produktif untuk kemudian bersama-sama mengembalikan jatidiri kampus sebagai pusat peradaban Islam adiluhung, yakni dengan kembali menyelami kekayaan intelektualisme Islam, baik belajar dari sejarah para tokoh pendahulu maupun dari karya-karya cemerlangnya.
Upaya dan sinergitas antara dosen dan mahasiswa (atau juga civitas yang lainnya), tidak akan pernah bisa terwujud jika tidak ada keberanian untuk mendobraknya. Epistemologi dari titik tolak membuka kran intelektualisme itu adalah dengan membuka kembali pintu ijtihad yang telah lama terkunci. Al-Suyuti bahkan melontarkan kritik pedas terhadap konservatisme dan kemandegan intelektualisme tatkala ia menulis bukunya: “al-Rad ‘ala akhlada ila al-ardh wa jahila anna al ijtihad fi kulli ‘ashrin fardhun” (kritik atas konservatisme dan terhadap mereka yang menolak ijtihad sebagai keharusan agama sepanjang masa).
Membuka pintu dari ketertutupan ijtihad mustahil dilakukan tanpa adanya kerja akal (‘aqli). Karena akal adalah komponen mendasar dalam melakukan olah ijtihad. Imam Al-Ghazali bahkan menyatakan lebih jauh; “Akal adalah dasar. Jika tidak, maka kenabian dan syariat tidak akan dipahami”. Dalam pada itu, optimalisasi kerja akal sangat dibutuhkan, jika kita tidak mau terjebak pada kemalasan dan kemandegan berpikir (intelektualisme).
Semua harapan dan cita-cita besar dalam mewujudkan kampus yang berperadaban—dimana dosen dan mahasiswanya benar-benar mencintai khazanah intelektualisme—ini tidak akan pernah terwujud jika tidak ada kerja nyata yang mengarah pada reintelektualisme tersebut.
Rancang-bangun epistemologi paradigma dalam olah pikirnya pun harus bertitik tolak pada khazanah Islam Indonesia. Islam Indonesia yang mencintai tradisi (budaya lokal), moderat, dan menghargai pluralitas. Jika tidak begitu, penulis dapat memastikan akan terjebak pada puritanisme, fundamentalisme, bahkan radikalisme. Tidak ada jalan lain untuk mewujudkan itu semua kecuali dengan kembali pada tradisi-tradisi intelektualisme seperti membudayakan kajian-kajian ilmiah, berdiskusi, berdebat, tradisi membaca, menulis, dan lain sebagainya.
Dari kerja nyata tersebut paling tidak—ketika Muhammad Abduh melontarkan pertanyaan “mengapa kaum muslimin mundur sementara “yang lain” maju?”—dapat terbantahkan. Dan harapan penulis adalah bertumpu pada kampus kita bersama—IAIN Cirebon—ini. Semoga. Wallahu ‘alam bi al-shawab.


0 komentar:

Post a Comment