Home » » "Mabuk Ramadhan"

"Mabuk Ramadhan"


“MABUK RAMADHAN”


Tidak terasa, bulan Ramahan, bulan yang begitu “dielu-elukan” umat Muslim di seantero dunia, tanpa terkecuali umat Muslim Indonesia, sudah hadir dalam genggaman kita kembali. Karenanya tak aneh jika segala bentuk hingar-bingar untuk penyambutannya semarak digemakan. Boleh jadi ini salah satu pengaruh dari dawuh Nabi Saw yang menyatakan: “Barang siapa merasa bahagia kedatangan bulan Ramadhan, maka haram baginya masuk neraka”. Ya memang, tak ada yang keliru dengan redaksi dawuh ini. Hanya saja, sikap kita lah yang kadang dan justru jauh dari spirit dawuh tersebut.
Betapa tidak, seperti hal yang sudah menjadi budaya, “program-program” yang secara khusus digadang-gadang untuk menyambut kedatangan bulan Ramadhan sudah diatur dan dipromosikan jauh-jauh hari, entah oleh perseorangan maupun instansi-instansi. Para insan-insan televisi betul-betul dibuatnya sibuk memogram sajian-sajian mulai dari kolak sampai lawak, dari ceramah ustadz-ustadz artis sampai gosip Ramadhan ala selebritis, dari acara religius dampai acara misterius dan seterusnya. Spanduk-spanduk ucapan selamat datang sambut Ramadhan, juga oleh perseorangan maupun instansi-instansi, bertebaran di mana-mana. Memang seperti akan kedatangan tamu yang “wah” sekali. Semuanya lengkap. Luar biasa.
Saya akan cepat menganggap bahwa fenomena ini merupakan fenomena mabuk, “mabuk Ramadhan”. Atas fenomena mabuk Ramadhan ini saya teringat akan petikan bait puisi karya Gus Mus—panggilan akrab KH. A. Mustofa Bisri—“Nasihat Ramadhan buat A. Mustofa Bisri”, berikut saya petikan bait puisinya: “Mustofa, Ramadhan bulan suci katamu, Kau merindukan ucapan Nabi atau kau telah merasakan sendiri kesuciannya melalui kesucianmu? Tetapi bukankah kau masih selalu menunda-nunda menyingkirkan kedengkian, keserakahan, ujub, riya, takabur, dan sampah-sampah lainnya yang mampat dari comeran hatimu?”
Puisi Gus Mus ini selaiknya patut menjadi bahan renungan kita bersama, ketika Ramadhan, banyak orang menyebut sebagai bulan yang suci, kesucian dikemukakan itu kesucian hakiki atau semu belaka. Namun agaknya suci yang hakiki adalah sebagaimana ditegaskan Gus Mus bukan hanya sekedar merindukan ucapan Nabi akan tetapi kesucian yang menjadi PR kita bersama, agar kemudian kesucian itu benar-benar dirasakan oleh masing-masing kita. Terutama mengenai menyucikan diri dari segala bentuk penyakit; kedengkian, keserakahan, ujub, riya, takabur, manipulasi, egoisme, dan lain-lain. Maka, memanfaatkan masa sebulan Ramadhan dengan penuh ikhlas dan kesungguhan-hati adalah seyogia.
Ramadhan hanya mampir sebulan dalam setahun, meskipun kedatangannya hanya sebulan, ia tetap dikatakan rutin. Sebagaimana sebuah rutinitas, ini yang tak jarang mudah membuat kita tersungkur dan terjerembab sebagaimana hal-hal rutin yang lain dalam kehidupan sehari-hari. Dan, nampaknya ini semakin memperjelas pandangan kita, betapa gegap gempita seremonial dalam menyambut bulan Ramadhan, sudah menjadi agenda rutin tahunan yang tak terlewatkan. Harusnya kita bisa belajar dari pengalaman Ramadhan-ramadhan sebelumnya, agar Ramadhan pada tahun ini benar dijadikan sebagai momen untuk menempa dan mendidik kita menuju kualitas akhlak dan ibadah yang lebih baik. Karena mengapa, bahwa maraknya eskpresi keberagamaan yang hanya mengandalkan seremonial yang tak didikuti dengan maraknya kualitas sosial dan spiritual, tak akan memberi manfaat apalagi membekas.
Ingat, Ramadhan adalah bulan antara pribadi kita dan Tuhan. Dengan kata lain, setiap apapun yang kita perbuat selama bulan ini yang mengetahui hanya lah Tuhan. Mulai dari kualitas kesungguhan-hati dan pengabdian kita sampai seberapa besar ganjaran yang akan dilimpahkan kepada kita, hanya lah Tuhan yang berhak. Jadi, ini adalah momen efektif di mana kita dapat membuktikan bahwa apa yang selama ini kita jalani, tidak lain adalah sebagai pengukuhan wujud penghambaan kita kepada-Nya.
Namun entah lah, kesucian Ramadhan dan segala hangar-bingarnya seakan tak membekas dan hilang entah kemana, seiring masa sebulan habis. Setelah didandani sedemikian cantik oleh serangkaian ritual-seremonial, kondisi bangsa ini kembali menunjukkan “wajah” yang sebenarnya. Kondisi di mana setiap dimensi kehidupan; ekonomi, sosial, politik, agama, dan lainnya, tetap dalam kondisi sebelumnya atau bahkan menambah parah. Kemiskinan semakin menjerat rakyat. Manipulasi politik semakin melilit rakyat. Korupsi meraja lela dimana-mana. Konflik agama dan intoleransi semakin merusak kerukunan masyarakat. Dan entah mungkin banyak lagi.
Terlepas dari itu, semoga melalui Ramadhan tahun ini kita dan bangsa Indonesia akan bisa menghadapi itu semua dengan baik. Semoga Tuhan mengampuni dosa dan kesalahan-kesalahan kita serta menerima akhlak dan ibadah kita. Amin. Selamat Berpuasa Ramadhan!

0 komentar:

Post a Comment