Radikalisme Vs Moderatisme
Sebetulnya sederhana saja jika kita ingin mengidentifikasi gelombang arus radikalisme, ia sekurang-kurangnya ditunjukkan oleh beberapa sikap destruktif, di antaranya; 1. Tidak toleran, dalam arti tidak respect terhadap orang lain yang berbeda, 2. Sikap fanatik berlebihan, dengan selalu merasa paling benar dan menganggap orang lain salah, 3. Sikap ekslusif, bersikap menutup dan mengasingkan diri, tidak mau berbaur dengan orang lain yang berbeda, 4. Sikap revolusioner (pragmatisme), menghasratkan tujuannya dengan cara-cara instan dan cenderung pada kekerasan.
Melihat tendensi seperti ini, menarik apa yang diistilahkan Buya Syafi’i (Prof. Dr. Ahmad Syafi’i Maarif) dalam menyorot pelbagai fenomena radikalisme ini, beliau menyebutnya sebagai “kecelakaan sejarah”. Kecelakaan sejarah dan realitasnya, ini terjadi bukan hanya pada zaman modern ini, melainkan pula karena hal ini telah berlangsung lama. Oleh karena menurutnya, ini sama dengan memosisikan Islam sebagai kekuatan peradaban yang sedang berada di buritan.
Kalau ditelusuri jejak historisnya, fenomena radikalisme memang bukan perkara baru. Jauh sebelum itu, tepatnya sejak abad pertama Hijriyah, berawal dari kisah kaum Khawarij (berasal dari kata “kharaja”, yang berarti keluar), dimana pada mulanya mereka adalah pengikut setia Khalifah Ali bin Abi Thalib (atau juga lazim dikenal Syi’ah), membelot dan membalik mengkhianati Khalifah Ali bin Abi Thalib oleh sebab ketidaksetujuannya atas kebijakan yang diambilnya dalam menyepakati tahkim yang diajukan Muawiyah dalam perang Shiffin (37 H/648 M).
Dari kelumit historis diatas—sebagaimana Buya Syafi’i menyebutnya sebagai “kecelakaan sejarah”—ada hal penting yang kemudian ini berimplikasi yang pada realitas warisan pemikiran serta sikap model keberagamaan yang ekstrim, radikal, dan keras. Penetrasi historis tersebut pada akhirnya, pun berimplikasi pada kebersikapan—dalam beragama dan lainnya—yang bertolak belakang dengan ruh Islam substansi. Mengamini sejarah kelam tanpa memberikan rehistorisasi untuk lebih mendalami substansi historisnya tersebut, sama dengan melanggengkan kecelakaan sejarah.
Oleh karenanya kemudian, pertanyaan yang mengemuka adalah apakah Islam melegalkan radikalisme? Sama sekali tidak. Islam hadir dengan misinya rahmat bagi semesta (rahmatan lil’alamin), Islam sebagai agama (syariat) yang bukan dan tidak hanya berkutat pada tataran aqidah ataupun ritual ibadah belaka, lebih dari itu Islam adalah sebuah tata nilai (akhlaq al-karimah) yang harus mampu menciptakan kedamaian bukan hanya bagi umat Islam, melainkan pula untuk kemaslahatan semesta dan seisinya.
Penegasan Islam tidak pernah menganjurkan apalagi menghalalkan radikalisme, intoleransi, ektrimisme, hingga tindak terorisme, perlu digencarkan. Yakni dengan menunjukkan berikut mengaktualisasikan wajah Islam moderat. Islam yang menganjur dan mengajarkan kepada kita mengajak kepada kebaikan bijak (hikmah), tutur baik (mau’idh hasanah), dan dialog santun (wajadislhum bilati hiya ahsan). Sebagaimana difirmankan Tuhan dalam QS. Al-Nahl: 125.
Dari beberapa identifikasi radikalisme diatas, nampaknya kita akan “mengelus dada”, karena menurut hemat saya, ini sangat bertolak belakang dengan keluhuran nilai-nilai ajaran Islam. Dalam pada itu, menyemai Islam moderat dan toleran adalah sebuah keharusan.
Adalah membangun kehidupan dengan beberapa fundamen yang mempunyai misi memberdayakan agar umat dapat berkehidupan beragama dan berbangsa yang moderat dan toleran. Pertama, prinsip kesetaraan (al-musawah). Bahwa seluruh umat manusia, tanpa memandang latar belakang agama, jenis kelamin, suku, ras dan lainnya, dihadapan Tuhan adalah setara, dan yang bisa menentukan adalah aktivitas ibadah sosialnya (takwa). Dari prinsip ini akan membangun sebuah tatanan kehidupan yang tidak saling mengungguli dan menyalahkan.
Kedua, prinsip keadilan (‘adalah). Dalam hemat saya, prinsip keadilan satu rumpun dengan keseimbangan, ketika kehidupan seimbang maka disitu pula keadilan tegak. Aktualisasi dari prinsip keadilan ini, adalah berkehidupan dalam bingkai agama maupun bangsa tidak saling menutup diri (eksklusif), tidak diskrminatif (membeda-bedakan), dan tidak tebang pilih. QS. Al Maidah: 8 secara tegas menginstruksikan kepada kita agar menegakan prinsip keadilan dan mengecam kebencian, karena keadilan menurut Al-Qur’an dekat dengan takwa.
Ketiga, prinsip kebebasan (al-hurriyah). Prinsip kebebasan adalah lawan dari keterkungkungan dan kooptasi, karena pada fitrahnya manusia adalah makhluk yang bebas. Konsekuensi logis dari prinsip ini pula, bahwa tidak diperkenankan memaksakan kehendak atau sesuatu apapun dari kita kepada orang lain. Kita hanya diperkenankan mendakwahkan dan mengajak selebihnya terserah kepada individunya masing-masing. Karenanya, kita harus bersepakat bahwa agama (Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu, dan lainnya) adalah tidak lebih sebagai jalan (syariat) bukan tujuan, yang syariatnya tersebut diorientasikan sebagai inspirasi dalam mencari kedamaian, kebahagiaan, persatuan, dan kesatuan dalam berkehidupan.
Dengan demikian, memeluk agama Islam berarti pula telah tuduk dan patuh terhadap nilai-nilai luhurnya. Nilai-nilai luhurnya itu tiada lain adalah menata kehidupan beragama dan berbangsa dengan penuh kasih sayang, egaliter, dan toleransi. Karena sesungguhnya Islam adalah agama damai yang sama sekali tidak menghalalkan radikalisme. Senada dengan hal ini, KH. Hasyim Muzadi menegaskan bahwa Islam adalah agama Rahmat, menganjurkan perdamaian, kasih sayang dan keadilan. Oleh karena itu—sebagai penutup—radikalisme yang munncul dengan mengatasnamakan agama (Islam terutama), sebetulnya bukan bersumber dari ajaran Islam yang substansi, melainkan ia lahir dari pemahaman yang parsial serta tidak menyeluruh dalam menyemai ajaran-ajaran luhur Islam. Demikian. Wallahu’alam bi al-shawab.
http://infokus-himasos.blogspot.com/
ReplyDeletediupdate terus.......!!!!!