Home » » Islam, HAM, dan Liberalisme

Islam, HAM, dan Liberalisme


Membongkar Dogmatisme:
Inherensi Islam, HAM, dan Liberalisme

Islam adalah agama sempurna, begitu pemeluknya meyakini. Melalui Al-Qur’an dan hadits, Islam diyakini pemeluknya memiliki kelengkapan pedoman dan tuntunan hidup manusia dalam mencapai kemaslahatan dan kebahagiaan di dunia maupun akhirat. Tak pelak, jika dalam komunitas Muslim, tidak ada pedoman hidup, seotoritatif  Al-Qur’an dan Hadits. Bertolak dari kedua sumber otoritatif itu, jika kedua teks tersebut disederhanakan, sejatinya terdapat dua ajaran utama yakni; ajaran yang berdimensi vertikal dan dimensi horizontal, dimensi ritual dan sosial, atau habl minallah dan habl min al-nas. Namun perlu dicatat, dalam konteks sosiologis, dimensi horizontal masih sering tidak dianggap penting oleh sebagian banyak orang, terlebih oleh individu atau kelompok ekstrim-eksklusif-dogmatis. Karenanya tidak heran, jika wajah Islam yang mengemuka terkesan marah bukan ramah, bengis bukan manis, diskriminatif bukan akomodatif.
Padahal, Islam sebagaimana makna autentiknya; “kedamaian”, “kepasrahan”, dan “keselamatan”, mempunyai cita-cita luhur dalam mewujudkan itu semua, menjamin kedamaian, kepasrahan, dan keselamatan seluruh umat manusia dan alam semesta. Kalau ditelusuri, basis dari perwujudan visi dan misi Islam tersebut adalah adanya Hak Asasi Manusia (selanjutnya HAM) dan liberalisme. HAM adalah hak sebagai anugerah Tuhan yang paling fundamental dalam diri manusia. Dan, liberalisme adalah penegasan daripada hak kebebasan dalam diri manusia itu. HAM  dan liberalisme sejatinya merupakan sebuah gagasan dan konsep etika dalam kehidupan sosial yang memiliki prinsip utama penghargaan terhadap manusia dan kemanusiaan. Melalui HAM dan liberalisme, manusia diajak untuk membangun prinsip kesetaraan, kemanusiaan, dan kebebasan. Bahwa sesama manusia sejatinya mempunyai kedudukan setara dimata siapapun, manusia berhak hidup normal seyogyanya manusia, manusia bebas untuk hidup berbeda sesuka hati dan nuraninya.
Saya berkeyakinan, sebagaimana HAM, liberalisme mempunyai tempat strategis dalam Islam. Islam sangat mengapresiasi HAM dan liberalisme. Sebab, liberalisme adalah konsekuensi logis daripada HAM. Dengan HAM, manusia bebas memilih dan berkehendak sesuai akal dan nuraninya. Karenanya, liberalisme hendak mempertegas bahwa ia adalah gagasan dan gerakan yang berusaha menjamin dan memperbesar wilayah individu dan kemajuan sosial. Banyak ayat yang berbicara seputar HAM dan liberalisme, lihat misalkan QS. al-Naml [27]: 33, QS. al-Maidah [5]: 32 berbicara tentang menjaga hak hidup; QS. al-Maidah [5]: 48 memberikan keleluasaan kepada manusia untuk memilih sesuai nurani dan akal budinya; QS. al-Maidah [5]: 45 melarang menyakiti fisik maupun psikis sesama; QS. al-Baqarah [2]: 256, QS. Yunus [10]: 99 mengecam pemaksaan dalam beragama; QS. al-Kafirun [109]: 1-6, al-Hujurat [49]: 13 mengakui keberagaman, QS. al-Mumtahanah [60]: 8-9 menghimbau untuk menegakkan keadilan, dan lain sebagainya.
Mengenai liberalisme, ia sebenarnya merupakan wacana kebebasan berpikir yang telah jauh mengakar dalam tradisi pemikiran Islam. Isu itu mula-mula dilontarkan oleh Nabi Muhammad SAW, ketika diinterview Mu’adz bin Jabal, ketika Mua’adz diangkat menjadi Gubernur di Yaman. Dan juga telah mengemuka tatkala Nabi melihat ucapannya disalahpahami oleh salah seorang petani kurma di Madinah. Riwayat yang terakhir ini melahirkan adagium “antum ‘alamu bi umuri dunyakum” (kamu lebih tahu tentang masalah duniamu). Hikmah dari adagium ini adalah penghargaan Nabi terhadap potensi akal manusia, tentang bagaimana manusia dituntut untuk berpikir bebas, kritis dan kreatif secara sungguh-sungguh dalam setiap menghadapi masalah, tidak membebek pada dogmatisme yang telah kehilangan nilai relevansinya. Sebab, ada riwayat lain yang berkesimpulan, tatkala ijtihadmu (berpikir sungguh-sungguh) benar maka akan mendapat dua pahala, namun jika salah mendapat satu pahal.
Dengan demikian, HAM dan liberalisme berkedudukan sebagai penjamin manusia dalam memenuhi haknya untuk bebas dan berbeda. Bebas dan berbeda dalam bependapat, beropini, dan berekspresi disertai dengan tanggung jawab dan sesuai etika sosial. Sebab, kebebasan disini bukan bebas tanpa batas, melainkan kebebasan yang dibatasi oleh kebebasan orang lain.
Liberalisme sesungguhnya hendak memberikan keterbukaan bagi manusia untuk dapat mendayagunakan potensi akalnya menuju kemajuan. Liberalisme memberikan inspirasi agar manusia optimis dan percaya diri terutama dalam menjawab tantangan dalam konteks kekinian. Ia menuntun manusia untuk bangkit menatap masa depan penuh optimis, tanpa harus meninggalkan tradisi asalnya yang baik. John Stuart Mill—salah seorang pemikir progresif asal Inggris abad ke-19—menyatakan bahwa dengan adanya kebebasan, adanya sikap menghargai orang untuk bersikap dan berpikir, kemungkinan masyarakat itu untuk berkembang, berdialog, untuk mencari hal yang lebih baik, terbuka lebih lebar.
Namun demikian, liberalisme, dengan spirit progresifnya kerap kali menemukan titik ganjal ketika ia berhadapan dengan dogmatisme dan ortodoksi. Kecenderungan nalar dogmatis eksklusif merupakan nalar yang terbangun secara hegemonik-politik. Ia sering mengklaim sebagai otoritas resmi yang wajib dipatuhi dan disakralkan. Akibatnya, ia secara arogan berhak memvonis benar atau sesatnya sebuah pemikiran atau aliran. Otoritarianisme dogmatis-ortodoks seakan-akan mempunyai stempel resmi “benar” dan “sesat”. Dan, inilah yang terjadi di Indonesia, MUI misalnya, berwenang dengan leluasa menyetempel pemikiran atau aliran tertentu yang dianggapnya berlainan dengan arus utama. Kelompok yang tertimpa nasib naas, misalnya, menimpa kelompok Ahmadiyah, Lia Eden, kelompok Syiah di Madura baru-baru ini, dan lain sebagainya. Tidak hanya itu, MUI (yang juga diamini oleh sejumlah ormas ektstrim-radikalis) telah mengeluarkan fatwa resmi terhadap keharaman  pemikiran progres; liberalisme, pluralisme, dan sekularisme.
Hal tersebut tergambar dari pelbagai karakter khas otoritas resmi dalam Islam, misalnya, selalu menjaga kedigdayaannya melalui al-Qur’an, hadits, dan simbol-simbol agama, berupa pandangan sahabat atau ulama-ulama salaf, yang senantiasa menjadi ekor penguasa. Lainnya, akan membiarkan orang-orang yang berusaha mengungkap kebobrokan Barat dan otoritas agama lain, menolak pemisahan antara dimensi agama dan politik, meyakini kebenaran tunggal, kebenarannya hanya satu, sakral, jumud, statis, dan terjaga sampai hari kiamat. Tak jarang jika demi mempertahankan otoritas resmi tersbut, kelompok-kelompok minoritas menjadi korban diskriminasi, bahkan kekerasan.
Nah, nalar-nalar (dogmatis dan ortodoks) seperti ini yang harus segera didekonstruksi dan didesakralisasi dari peredaran, demi terbangunnya sebuah tatanan kehidupan yang bebas disatu sisi, penuh tanggung jawab dan kemajuan sosial disisi lain. Melalui dekonstruksi dan desakralisasi, ini bukan hendak menghapus teks (al-Qur’an dan Hadits) itu sendiri, melainkan mendekonstruksi dan mendesakralisasi hasil interpretasi yang berujung pada sektarianisme, dogmatisme, dan otoritarianisme. Dalam kaitan ini, penganut liberalisme mengikuti pandangan filsuf muslim abad pertengahan, Ibn Rusyd dan al-Razi. Dua filsuf ini berpandangan bahwa sebagai sama-sama anugerah Tuhan kepada manusia, kedudukan akal dan wahyu sama-sama mempunyai posisi yang penting, namun perlu dipahami bahwa akal lebih penting daripada wahyu, karena wahyu yang direkam menjadi teks suci itu bersifat statis dan tidak bisa berkembang, sedangkan akal terus berkembang mengikuti perubahan zaman. Saya berpandangan bahwa, Al-Qur’an yang diturunkan Tuhan kebumi tentu, diperuntukan bagi kemashlahatan manusia. Jadi satu hal yang mustahil, jika Al-Qur’an akan merugikan manusia, dalam arti mempersulit ruang gerak kebebasan manusia. Karenanya, agar Al-Qur’an dapat membuahkan manfaat, maka manusialah yang harus memahaminya. Dalam memahami Al-Qur’an tersebut tentu akal mendapatkan posisi yang strategis, dengan kata lain, tanpa akal pikiran yang jernih, Al-Qur’an tidak akan pernah bisa dipahami oleh manusia.
Kalau sudah demikian urgennya, Islam, liberalisme, dan HAM seyogyanya dapat selaras harmonis dengan realitas kehidupan masyarakat. HAM dan liberalisme dalam Islam sejatinya dapat dijadikan sebagai pedoman, yang sesuai dengan tuntunan didalamnya. Tanpa kontribusi banyak kalangan, perwujudan kehidupan sosial yang bebas dan bertanggung jawab hanya akan menjadi isapan jempol belaka. Oleh karena itu, sudah saatnya kaum agamawan (Kiai, ulama), cendekiawan, politikus, aktivis LSM, pemuda-pemudi, dan elemen masyarakat yang lain, bersama membangun tatanan kehidupan sosial berperadaban sebagai wujud inherensi Islam, HAM, dan liberalisme.  Wallahu’alam bi al-Shawab. []


0 komentar:

Post a Comment