Kado Terakhir untuk Sang Guru Besar
Oleh: Mamang M. Haerudin*)
“Ketika aku meneliti rahasia kehidupan, kutemukan maut, dan ketika kutemukan maut, kutemukan sesudahnya kehidupan abadi. Karena itu kita harus prihatin dengan kehidupan dan bergembira dengan kematian karena kita hidup untuk mati dan mati untuk hidup”—Abu al-Fatih Muhammad al-Syahrastani.
Prof. Dr. H. M. Imron Abdullah, M. Ag: Sedikit Bicara Banyak Bekerja
Wafatnya Prof. Dr. H. M. Imron Abdullah, M. Ag, tentu menyisakan duka mendalam bukan hanya bagi sanak keluarga, melainkan pula bagi banyak handai taulan, terutama keluarga besar yang berada dalam naungan civitas akademika IAIN Syekh Nurjati Cirebon.
Betapa tidak, Minggu, 11 November 2011 kabar mengejutkan itu datang. Di tengah perjalanan pulang ke pesantren, tiba-tiba saya mendapat SMS dari salah seorang teman yang mengabarkan bahwa Prof. Imron telah wafat, tidak lama secara mendadak pingsan saat beliau menghadiri resepsi pernikahan di salah satu Hotel yang terletak di Kota Cirebon. Seketika itu, dengan penuh rasa ragu dan tak percaya, saya pun langsung mengkonfirmasi perihal kevalidan kabar tersebut. Dan ternyata, kabar itu benar adanya.
Sebagai salah seorang entitas dalam civitas akademika IAIN Syekh Nurjati Cirebon, saya pun merasa kehilangan, telebih atas kiprah beliau yang bukan hanya seorang nahkoda kampus yang ulung, melainkan pula beliau adalah sosok bersahaja yang banyak disegani masyarakat kampus. Dimana sejak tahun 2000 beliau diamanati menahkodai lembaga sebesar STAIN Cirebon (sekarang IAIN Syekh Nurjati) hingga tahun 2005. Keterpercayaan publiklah yang membuat beliau kembali terpilih menjadi ketua STAIN Cirebon untuk kali keduanya dalam masa jabatan 2005-2010. Sehingga, dari kiprahnya tersebut saya berkesimpulan—meminjam istilah Francis Fukuyama—beliau telah berhasil membangun sebuah “hight trust society”, sebuah tatanan masyarakat kampus yang mampu bertahan lama dan kompetitif. Tidak hanya itu, disaat kabar kewafatan itu datang, beliau masih tercatat sebagai Ketuan DKM dan ICC Masjid Raya at-Taqwa Kota Cirebon.
Dalam rentan waktu dua periode beliau memimpin, saya sebagai salah seorang civitas kampus yang singgah—kala itu masih berstatus—STAIN Cirebon di tahun 2008 hingga kini telah beralih status menjadi IAIN Syekh Nurjati, dengan penuh keyakinan, bahwa dibalik alih status—STAIN Cirebon menjadi IAIN—adalah merupakan salah satu kontribusi besar dari Prof. Imron, karena awal isu itupun sudah menjadi buah bibir kala beliau masih menjadi pucuk pimpinan tertinggi lembaga.
Berbagai upaya perubahan dilakukan demi kemaslahatan kampus tercinta ini,. Sehingga tidaklah aneh berbagai upaya yang mengarah pada peningkatan kualitas baik yang bersifat akademik maupun non akademik, terus digulirkan. Mulai dari peningkatan sarana dan prasarana kampus yang lebih memadai, peningkatan mutu dan kualitas dosen dan pegawai, hingga beralihnya status STAIN menjadi IAIN tidak berlebihan jika itu semua atas kerja keras sosok yang begitu kita kagumi yakni Prof. Dr. H. M. Imron Abdullah, M. Ag.
Namun, apa mau dikata, tidak ada yang abadi di dunia ini selain (keabadian) Allah SWT, begitu beliau lengser (tepatnya dilengserkan) dari kursi keprabonnya dan sedekat pandangan mata kasat saya, beliau kemudian memang terlihat jarang beraktivitas dikampus, entah karena memang banyak kesibukan diluar atau karena pandangan saya yang keliru. Namun lepas dari itu, nampaknya ini menjadi salah satu keberuntungan saya dalam melihat sosok Prof. Imron lebih jauh.
Ini terbukti dengan beberapa kali saya melihat beliau “berkeliaran” diluar kampus untuk kerja kemanusiaan. Ini terbukti (sebagaimana diawal telah saya catat) bahwa hingga ajal menjemput beliau masih tercatat sebagai Ketua DKM dan ICC Masjid Raya At-Taqwa Kota Cirebon. Dan diantara moment terbaik saya bertegur sapa dengan beliau adalah ketika secara kebetulan berkumpul bersama dalam gelaran 40 hari wafatnya al-Maghfurlah KH. Syarif Usman Yahya (Abah Usman) di kediaman mendiang, entah hari apa dan tanggal berapa saya kurang begitu mengingatnya.
Namun demikian, kehadiran beliau dalam acara tersebut membuktikan bahwa selain mencintai kerja kemanusiaan, beliau pula termasuk sosok yang mencintai para ulama dan pesantren. Dan dalam diskusi interaktif pasca tahlilan tersebut, beliau sempat memberikan apresiasi atas kekaguman beliau terhadap kiprah Abah Usman. Tak pelak, jika benih-benih kemanusiaan Abah Usman “menular” dan mendarahdaging pada jiwa beliau.
Tidak hanya itu, saya dengan al-Marhum—entah kebetulan atau tidak—yang jelas kembali bertemu dalam acara yang serupa yaitu dalam mengenang 100 Hari wafatnya Abah Usman. Dan atas kesepakatan sebelumnya, sebuah buku “seri testimoni” tentang Abah Usman pun terbit dalam gelaran 100 Hari tersebut. Dengan penuh bangga dan haru dari sekian banyak tulisan para tokoh tersebut—termasuk beliau—, saya adalah salah satu yang beruntung dan berhasil “menyumbangkan” testimoni sebagai bentuk apresiasi saya terhadap sosok Abah Usman.
Dalam buku tersebut, tulisan beliau berada diurutan sebelas terselang lima tulisan membawahi tulisan saya. Dan tentunya tulisan tersebut beliau persembahkan untuk al-Magfurlah Abah Usman yang kemudian diberi judul “Kiai Kampung Bertaraf Nasional”. Ya, melahap tulisan beliau memang menarik karena kelugasan isinya, Abah Usman memang sosok Kiai kampung namun reputasinya menasional, demikian beliau menyimpulkan.
Testimoni yang ditulis beliau untuk al-Maghfurlah Abah Usman, berulang-ulang saya telaah, begitu sarat akan pelajaran dan hikmah yang mendalam, terutama dalam menghadapi kenyataan “pahit” diakhir masa jabatan beliau saat menahkodai STAIN Cirebon.
Beliau bertutur: “Tanggal 7 Januari 2010 saya dilengserkan dari jabatan, padahal 5 (lima) bulan lagi jabatan itu berakhir, … alhamdulillah saya tidak terpancing dengan fitnah yang dilontarkan oleh segelintir orang bahkan sampai dihujat media massa pun, saya tidak menanggapinya”. Persisnya, saya pun tidak tahu peristiwa apa yang sedang terjadi saat itu. Namun demikian, ini jelas menunjukan sebuah sikap dan bentuk kehati-hatian seorang pemimpin yang diamanati tanggung jawab besar, yang ketika diterpa badai sebesar apapun, tetap dijalani dengan hati-hati, tawakal, dan lebih memilih diam.
Sikap hati-hati dan lebih memilih diam kembali beliau tunjukkan tatkala memberikan sebuah paragraf penutup dalam mengakhiri tulisan tersebut (tulisan beliau dalam buku testimoni Abah Usman), dan ini tentu sangat membekas dihati saya, untuk kemudian dijadikan sebuah pelajaran bahwa menjadi pemimpin yang baik itu bukan persoalan mudah. Sehingga sampailah pada kesimpulan, tergambar dari sosok beliau adalah sosok pemimpin yang “sedikit bicara banyak bekerja”. Adapun tuturan beliau sebagai berikut: “Ketika menghadapi konflik berat, lebih baik diam. Ujaran Abah Ayip, saya transfer kepada teman-teman. Silent is Gold, pada saat tetentu menimbulkan hasil yang bagus”. Demikian.
Kematian dalam Diskurus
Ada hikmah besar yang dapat diambil dari peristiwa wafatnya Prof. Imron ini. Bahwa kematian adalah sebuah keniscayaan yang oleh siapapun orangnya, dimanapun ia berada—cepat atau lambat—suatu saat pasti akan mengalaminya.
Namun demikian, perlu digarisbawahi terutama dalam menyikapi sebuah realitas kematian yang pasti terjadi dengan menganggap pandangan ini sebagai sebuah platform kehidupan, terutama bagi kita yang masih diberi kesempatan menikmati alam dunia ini.
Sementara ini, dalam diskurus soal kematian para filosof mengklasifikasikan kedalam dua kategori sebagai bentuk penyikapan terhadap keniscayaan kematian. Pertama, adalah mereka yang pesimis terhadap kematian dengan menganggap kematian sebagai sesuatu yang berat, penuh kesedihan, dan kesulitan. Kedua, adalah mereka yang justru optimis dalam menghadapi kematian dengan memandang bahwa kematian adalah kehidupan awal menuju kesempurnaan hidup baru di alam yang berbeda. Betatapun demikian, dalam tulisan singkat ini, saya tidak hendak membahas lebih lanjut persoalan ini.
Namun patut digaris bawahi kembali, persoalan tersebut tetap menjadi urgen ketika dihadapkan pada sebuah sikap yang sering mengonotasikan kematian sebagai sebuah penderitaan yang menyebabkan ketakutan yang berebihan. Jelas ini bukan sikap Muslim yang baik. Namun begitu, sebagaimana mengutip pendapatnya Prof. Dr. M. Quraish Shihab bahwa, ketakutan kepada maut boleh jadi disebabkan karena ia dan apa yang terjadi sesudahnya merupakan sesuatu misterius. Dimana tidak kurang dari 300 ayat yang berbicara tentang kematian dan pula apa yang dialami seseorang ketika menghadapinya. Dengan kemudian sering dipersempit dalam wilayah eskatologi, antara masuk surga atau neraka.
Pertanyaan yang muncul kemudian, mengapa mesti takut dengan kematian?. Ini pertanyaan yang sangat mendasar. Lepas dari apapun sikap kita terhadap kematian, tidak ada kata terlambat dan ada baiknya jika kita kembali mengukir makna dalam kehidupan, merenunginya sebagai sebuah kenikmatan yang tida tara yang diberikan Tuhan kepada manusia, yakni dengan memanfaatkan kehidupan di dunia yang singkat ini menjadi sebuah lahan tandur untuk menuai hasil di kehidupan akhir kelak. Ada ungkapan seupa bahwa “al-Dunya mazra’ah al-Akhirat”.
Di tengah derasnya arus globalisasi dengan budayanya yang hedonis-individualistik, memang bukan perkara mudah untuk kemudian memberi makna berarti bagi kehidupan yang sedang kita jalani ini.
Dalam sebuah karya Prof. Dr. Komaruddin Hidayat; Psikologi Kematian (2005) beliau memberikan ilustrasi menarik yang berkaitan dengan sebuah realitas kehidupan pada masyarakat Jepang. Bahwa masyarakat Jepang memiliki konsep “dosa sosial” yang sangat tinggi dan dipegang teguh sehingga rasa malu berbuat salah dimata masyarakat itu membuat mereka sangat taat pada adat. Menjaga sopan santun sesama mereka, memelihara kebersihan rumah dan disiplin dalam kerja merupakan “syariah hidup” yang sangat dipelihara layaknya sebuah agama.
Ada baiknya jika perilaku dan etos kerja masyarakat Jepang kita teladani, selama itu tidak bertentangan dengan ajaran agama. Sehingga—masih menurut Prof. Komaruddin Hidayat—adat seperti bekerja keras, disiplin, hidup produktif (layaknya orang Jepang) demi masa depan keluarga dan Negara adalah puncak-puncak hidup jadi bermakna.
Dalam hemat saya, inilah sebetulnya yang juga terlihat jelas pada kepribadian sosok Prof. Imron, yang telah mengahabiskan masa hidupnya dengan selalu bertumpu pada kemslahatan umat. Dan dari selama beliau memimpin lembaga, sikap-sikap seperti diataslah yang telah beliau aplikasikan bukan hanya dalam bentuk teori melainkan pula dalam tataran praksis. Senada dengan kaidah yang berbilang: “tasharruf al-Imam ’ala ra’iyyah manuthun bi al-Mashlahah” (kebijakan pemimpin harus bertumpu pada kemaslahan masyarakat). Sekali lagi, karakter ini yang tergambar jelas pada sosok alm. Prof. Dr. Imron Abdullah, M. Ag.
Selamat Jalan
Sebagai salah seorang yang begitu merasa kehilangan, tiada apapun yang dapat saya persembahkan kecuali untaian sejuta doa untuk sekedar mengantar kepergiannya pada pintu peristirahatan terakhir. Sehingga dengan ini, kiranya Allah SWT dapat mengampuni segala dosa-dosa beliau dan (terutama) terbebas dari segala sangkut pautnya dengan soal hak adami.
Kiranya inilah yang hanya dapat saya persembahkan, sebagai manusia yang tak luput dari kekurangan, saya pun menyadari bahwa tulisan singkat ini mungkin masih jauh dari potret kehidupan al-Marhum yang sebenarnya. Karenanya, pastilah tulisan ini sarat subjektifitas disatu sisi dan simplikasi disisi lain.
Lepas demikian, anggap saja ini sebagai “Kado Terakhir” saya untuk Sang Guru Besar atas sepak terjangnya yang begitu berharga, entah bagi sanak keluarga, handai taulan, dan keluarga besar IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Menutup tulisan singkat ini, saya teringat atas doa yang diajarkan Rasulullah pada kita: “Ya Allah, ringankalah dan mudahkanlah urusan kami, dan tolonglah kami untuk bisa mengakhiri hidup dengan husnul-khatimah”. Semoga alm. Prof Imron tergolong hamba-Nya yang husnul-khatimah, Selamat Jalan wahai Sang Guru Besar!. Wallahu’alam.
0 komentar:
Post a Comment