Home » » Perempuan di Mata Saya

Perempuan di Mata Saya


Belajar Mencintai Perempuan Melalui Diskursus Kesetaraan Gender

Bagi banyak orang—terutama bagi kaula muda laki-laki (atau mungkin sebaliknya)—dewasa ini “mencintai” perempuan telah menjadi sebuah trend tersendiri. Trend seperti ini begitu digemari dan telah menjangkit kesegala arah serta lapisan kalangan dengan tak kenal usia. Realitas kehidupan seperti ini apa yang kemudian oleh kaula muda diistilahkan sebagai ritual “pacaran”, sebagai jalinan dan keterikatan antara laki-laki dan perempuan atas dasar “cinta” satu sama lain.
Dalam pada itu, disebagian besar kaula muda sekarang sering terdengar ungkapan bahwa “tidak memiliki pacar adalah (tanda) orang yang tidak gaul”. Lepas dari ungkapan itu, saya melihat ada semacam implikasi negatif yang diakibatkan oleh trend pacaran tersebut. Padahal, jika ini terus dibiarkan tidak menutup kemungkinan akan membuahkan dampak negatif yang sangat serius bagi keberadaan kaula muda sekarang dan masa depan, (sekurang-kurangnya) antara lain; mulai dari menghilangnya tradisi intelektual hingga pergaulan bebas, seks diluar nikah, perkosaan, pelecehan seksual, pencabulan, dan lain sebagainya. Dan yang lebih mengerikan, objek utamanya adalah perempuan.
Mengawali diskursus ini, lebih dahulu saya hendak mengemukakan realitas perempuan dalam konstalasi sosio-historisnya. Sebagaimana terbaca dalam bukunya Prof. Dr. Nasaruddin Umar; Argumen Kesetaraan Gender (2010), bahwa sejarah perempuan di dunia adalah realitas kehidupan yang penuh dengan ketidakadilan dan diskriminasi gender. Pernyataan serupa, dikemukakan oleh Prof. Dr. M. Quraish Shihab dan Prof. Dr. Komaruddin Hidayat dalam dua kata pengantarnya didalam buku tersebut.
Perempuan begitu sering dijadikan objek “pemuas” nafsu para hidung belang, tidak jarang perempuan dipersepsikan sebagai makhluk yang ditakdirkan Tuhan memiliki banyak kelemahan. Dampak dari pandangan dangkal tersebut, telah menyebabkan perempuan menjadi “mainan” laki-laki yang tak berharga diri. Perempuan dianggap sebagai makhluk separo harga dari laki-laki, sebagai makhluk yang harus tunduk dan patuh terhadap laki-laki, sebagai konco wingking laki-laki, yang ruang geraknya dikekang, dikerdilkan, dan didholimi.
Sekelumit realitas tersebut yang akhir-akhir ini nampaknya kembali menggejala dan terjadi. Dalam menyorot realitas ini setidaknya memungkinkan ada dua penyebab, entah penyebab yang timbul dari internal maupun eksternal. Meskipun dewasa ini wacana dan transformasi keadilan gender sedang gencar-gencarnya digulirkan, namun justru masih sangat jauh dari apa yang diharapkan, terlihat dari sebagian kalangan yang justru mengacuhkan dan ikut mempersepsikan dirinya (perempuan) sebagai makhluk yang harus tunduk tanpa harus tidak dan alasan apapun terhadap laki-laki.
Penyebab kedua, yang datang dari eksternal. Penyebab ini mengemuka dengan berbagai bentuknya, yang paling besar pengaruhnya adalah penyebab yang datang melalui pandangan diskriminatif para pemuka agama atas pembacaan serta pemahamannya yang literal dan dangkal terhadap teks-teks keagamaan, baik al-Qur’an maupun al-Sunnah.
Setelah mengetahui—katakanlah—kesimpulan dari realitas sosio-historis perempuan diatas, ternyata hal ini—mau tidak mau—berimplikasi terhadap realitas “nasib” perempuan dewasa ini, minimalnya dalam konteks dimana sekarang saya berkecimpung. (mungkin) ada benarnya jika hal semacam ini merupakan warisan historis atas kenyataan pahit perempuan yang akut itu. Betapa nistanya, tatkala meneropong realitas seperti ini, tidak sedikit kalangan yang hanya berpangku dan tinggal diam.
Bertolak dari realitas itu, sebagaimana diawal saya utarakan, anggap saja ini sebagai salah satu cara saya untuk ikut belajar mencintai perempuan, tetapi dengan metodologi dan strategi yang berbeda, berbeda dengan kebanyakan kaula muda dewasa ini.
Perlu dikemukakan bahwa sering terjadi kekaburan dalam mempersepsikan antara istilah “seks” dan “gender”. Secara kasat mata memang kita akan mengira kedua kata tersebut tidak memiliki perbedaan, salah satu indikasinya bisa jadi karena istilah gender belum masuk dalam perbendaharaan Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Adalah berbeda penggunaan antara istilah seks dan gender, istilah seks lebih merujuk pada jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) dalam bentuk secara biologis, sedangkan gender lebih merujuk pada jenis kelamin dari sudut sosial-budaya yang merujuk pada aspek-aspek yang berkaitan dengan ruang geraknya dalam kehidupan bermasyarakat sebagai pihak yang sama-sama mempunyai hak untuk berkiprah diluar.
Memperjelas persoalan penggunaan istilah seks dan gender, Prof. Dr. Nasaruddin Umar berpandangan bahwa studi gender lebih menekankan perkembangan aspek maskulinitas (masculinity/rujuliyah) atau feminitas (feminity/nisa’iyah) seseorang. Berbeda dengan studi seks yang lebih menekankan perkembangan aspek biologis dan komposisi kimia dalam tubuh laki-laki (maleness/zhukurah) dan perempuan (femaleness/unutsah).
Jadi tidak dibenarkan (baik dari sisi teks maupun konteks) jika perempuan dipersepsi dan diperlakukan dengan subordinatif dan diskriminatif. Sekedar memberikan legitimasi atas pandangan kesetaraan gender tersebut, kalau dilihat dari sisi proses penciptaan manusia Allah SWT berfirman dalam QS. al-Nisa [4]: 1; “Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhan-Mu yang telah menciptakan dari diri (nafs) yang satu, dan dirinya Allah menciptakan pasangannya dan keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak”. Prof. Dr. M. Quraish Shihab menafsirkan kata “nafs” dalam ayat tersebut sebagai proses penciptaan Adam dan Hawa sebagai pasangan yang tercipta dari nafs yang satu.
Namun demikian, banyak ulama terdahulu yang menyatakan bahwa Hawa tercipta dari tulang rusuk Adam. Pandangan subordinatif ini, secara psiko-sosiologis banyak memengaruhi pandangan arus utama, yang berimplikasi pada penghakiman bahwa Hawa adalah bagian kecil dari Adam. Pandangan semacam ini digaris bawahi kembali oleh Prof. Dr. M. Quraish Shihab bahwa pandangan subordinatif ini diindikasikan berasal dari teks keagamaan yang dinisbahkan kepada Nabi SAW. Padahal, tidak sedikit ulama kontemporer yang menilai bahwa hadits tersebut tidak shahih. Dan kalaupun benar adanya, istilah tulang rusuk itu hanya sebatas kiasan belaka dan bukan makna yang sebenarnya.
Selain itu, kalaupun hadits tersebut “dipaksakan” untuk diterima, hadits tersebut khusus ditujukan kepada Hawa dan tidak berlaku untuk manusia-manusia (perempuan) lain setelahnya. Ini penting dikemukakan karena, cucu Adam dan Hawa setelah mereka adalah sebuah bentuk manusia yang terjadi akibat perpaduan sperma dan ovum, sebagaimana tertera dalam QS. Ali-Imran [3]: 39.
QS. al-‘Aariyat [51]: 56: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. Dalam kapasitasnya sebagai hamba, manusia berkedudukan sama dihadapan Allah yang kemudian sama sekali tidak memandang soal jenis kelamin laki-laki atau perempuan. Dan masih banyak teks-teks keagamaan lain yang berbicara tentang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam konteks sosio-culturnya.
Hikmah apa yang dapat diambil dari pernyataan dan beberapa petikan teks keagamaan diatas? Adalah perlunya menyamakan persepsi bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan dimata Tuhan sekalipun adalah setara sebagaimana fitrahnya. Tidak dibenarkan mensubordinasi dan mendiskriminasikan antara satu sama lain. Perempuan dewasa ini harus berani melantang dan mengeluarkan potensinya keluar tanpa harus takut oleh siapapun selagi masih sesuai norma dan ajaran agama. Perempuan bebas mengaktualisasi dan mengekspresikan potensi dan kemampuannya sesuai dengan apa yang ia inginkan.
Bahkan, perempuan sekarang berhak menjadi pemimpin, mulai dari imam shalat, kepala keluarga, hingga pemimpin politik (Kepala Desa, Camat, Bupati/Walikota, Gubernur maupun Presiden). Sehingga dalam konteks Indonesia, sebagai Negara berkebebasan dan berkeadilan gender mulai bermunculan yang berkiprah di dunia public, meski jumlahnya belum sebanding dengan laki-laki.
Sehingga dengan ini, tidak ada lagi halangan entah yang datang dari internal maupun eksternal yang menyatakan bahwa perempuan dilarang berkiprah di wilayah publik, perempuan hanya berwenang untuk berkiprah diwilayah domestik yang melingkup dan berkutat pada wilayah dapur, sumur, dan kasur. Pandangan ekslusif tersebut sesegera mungkin harus dilenyapkan dari peredaran.
Karenanya, dengan belajar mencintai perempuan melalui diskursus kesetaraan gender ini, diharapkan laki-laki (termasuk saya) agar dapat mendudukkan perempuan sebagai mitra bukan sebagai hamba (budak), dengan juga sebaliknya perempuan tidak menganggap kesetaraan gender sebagai “aji mumpung” untuk mendiskreditkan laki-laki. Laki-laki dan perempuan seyogyanya sama-sama menjadi penyayom  dan pelindung, sehingga terjalinnya simbiosa mutualisma satu sama lain.
Sebelum mengakhiri tulisan ini, entah mengapa, saya melihat ada semacam kepuasan tersendiri tatkala kaum muda sedang ataupun sudah berpacaran, dengan menganggapnya sebagai sebuah pencarian terakhir makna dalam hidup. Dengan kata lain, tatkala kaum muda sudah memiliki pacar lalu kemudian menikah, ada anggapan bahwa disitulah hidup telah mencapai puncaknya. Dalam hemat saya ini bukan hanya sebagai penyempitan makna hidup, melainkan pula merupakan pengebirian potensi kaum muda sebagai penerus bangsa dan agama. Oleh karenanya, secara khusus sayapun mempunyai harapan, mudah-mudahan melalui tulisan ini tidak ada lagi atau setidaknya dapat diminimalisir perihal kaum muda (siapapun orangnya) yang menyibukkan diri mencari pacar ketimbang semangatnya mencari ilmu pengetahuan khususnya terkait dengan diskursus kesetaraan gender, demikian. Wallahu ‘alam.


0 komentar:

Post a Comment