Home » » Jihad untuk Perempuan

Jihad untuk Perempuan

Jihad untuk Perempuan:
Dekonstruksi Wacana Bias Gender


Pendahuluan
Selamat siang!
Siang hari ini, kita bersama akan mencoba berdiskusi tentang perempuan dan diskursus kesetaraan gender. Diskusi melalui tulisan sederhana ini akan dihadapkan pada, betapa pentingnya memahami perempuan dan wacana kesetaraan gender dalam kehidupan psiko-sosial-keagamaan. Tentang bagaimana pentingnya memenuhi hak-hak perempuan, relasi dan kedudukan ideal antara laki-laki dan perempuan dalam pandangan Islam. Mengapa penting? Sebagaimana sejarah mencatat (bahkan masih menjamur hingga dewasa ini) bahwa perempuan tidak jarang diperlakukan secara diskriminatif, subordinatif, dianggap sebagai makhluk yang kurang akalnya, sebagai makhluk kelas dua dibawah laki-laki, sebagai konco wingking laki-laki, dan lain sebagainya. Karena itu baiklah, pada kesempatan ini akan saya coba ulas tentang pengertian gender, berikut beberapa penjelasan yang berkait kelindan dengan hak-hak perempuan dan pemenuhan kesetaraan gender, dengan harapan dapat memberikan pemahaman dan perspektif baru yang mencerahkan, bagi kita semua para penerus dan regenerasi bangsa.

Sekelumit Tentang Gender
Dalam Webster’s New Word Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, MA  dalam bukunya Muslimah Sejati (2011) sebagaimana tertera dalam Women’s Studies Encyclopedia menjelaskan bahwa gender adalah seperangkat sikap, peran, fungsi, dan tanggung jawab yang melekat pada diri laki-laki dan perempuan akibat bentukan budaya atau pengaruh lingkungan masyarakat dimana manusia tumbuh dan dibesarkan. Lebih lanjut ia menegaskan, bahwa penting sekali memahami terlebih dahulu perbedaan antara jenis kelamin (sex) dan gender. Jenis kelamin (sex) dibedakan berdasarkan faktor-faktor biologis hormonal dan patologis sehingga muncul dikotomi laki-laki dan perempuan. Jenis kelamin laki-laki ditandai dengan adanya penis, testis, dan sperma, sedangkan perempuan mempunyai vagina, payudara, ovum, dan rahim.
Adalah berbeda penggunaan antara istilah seks dan gender, istilah seks lebih merujuk pada jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) dalam bentuk secara biologis, sedangkan gender lebih merujuk pada jenis kelamin dari sudut sosial-budaya yang merujuk pada aspek-aspek yang berkaitan dengan ruang geraknya dalam kehidupan bermasyarakat sebagai pihak yang sama-sama memiliki hak dalam mengekplorasi potensinya di wilayah publik.
Senada dengan hal diatas, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA  juga memberikan afirmasi soal ini, bahwa gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial-budaya. Sementara itu, sex secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi. Ia melanjutkan bahwa studi gender lebih menekankan perkembangan aspek maskulinitas (masculinity/rujuliyah) atau feminitas (feminity/nisa’iyah) seseorang. Berbeda dengan studi seks yang lebih menekankan perkembangan aspek biologis dan komposisi kimia dalam tubuh laki-laki (maleness/zhukurah) dan perempuan (femaleness/unutsah).
Ringkasnya, seks adalah sesuatu hal yang kodrati, dengan kata lain ia tidak dapat dirubah atau berubah dari waktu ke waktu. Sedangkan gender merupakan sesuatu hal yang bersifat socially-constructed (dibentuk secara sosial), yang sifatnya bisa dirubah dan berubah dari waktu ke waktu. Dengan demikian, kedudukan perempuan dan laki-laki dalam wilayah gender adalah sama dan setara, sama-sama memiliki potensi baik secara intelektual, emosional maupun spiritual.

Relasi Ideal Antara Laki-laki dan Perempuan
Lalu pertanyaannya adalah bagaimana relasi laki-laki dan perempuan yang semestinya? Ya, pertanyaan ini begitu mendasar, untuk kemudian dapat mengantarkan kita supaya dapat memahami bagaimana relasi dan kedudukan ideal antara laki-laki dan perempuan yang digariskan Tuhan melalui al-Qur’an. Tapi sebelum itu ada baiknya kita simak pernyataan Syaikh Mahmud Syaltut—mantan Pemimpin Tertinggi al-Azhar, Mesir—berpendapat bahwa: “Tabiat kemanusiaan laki-laki dan perempuan hampir (dapat dikatakan) dalam batas yang sama. Allah menganugerahkan kepada perempuan, sebagaimana menganugerahkan kepada laki-laki, potensi yang cukup untuk memikul aneka tanggung jawab yang menjadukan kedua jenis itu mampu melaksanakan aneka kegiatan kemanusiaan yang umum dan khusus”.
Mula-mula akan saya hadapkan dengan ayat yang berbicara soal penciptaan manusia, bagaiamana kemudian ayat ini bisa dijadikan sebagai langkah awal dalam cara pandang kita supaya dapat memosisikan laki-laki dan perempuan secara setara. Ayat dalam al-Qur’an yang secara eksplisit membincang soal ini adalah QS. al-Nisa [4]: 1; “Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhan-Mu yang telah menciptakan dari diri (nafs) yang satu, dan dirinya Allah menciptakan pasangannya dan keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak”. Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA  menafsirkan kata “nafs” dalam ayat tersebut sebagai proses penciptaan Adam dan Hawa sebagai pasangan yang tercipta dari nafs yang satu.
Namun demikian, banyak ulama terdahulu yang menyatakan bahwa Hawa tercipta dari tulang rusuk Adam, dengan makna yang literal. Pandangan subordinatif ini, secara psiko-sosiologis banyak memengaruhi pandangan arus utama, yang berimplikasi pada penghakiman bahwa Hawa adalah bagian kecil dari Adam. Pandangan semacam ini digaris bawahi kembali oleh Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA bahwa pandangan subordinatif ini diindikasikan berasal dari teks keagamaan yang dinisbahkan kepada Nabi SAW. Padahal, tidak sedikit ulama kontemporer yang menilai bahwa hadits tersebut tidak shahih. Dan kalaupun benar adanya, istilah tulang rusuk itu hanya sebatas kiasan  belaka dan bukan makna yang sebenarnya.
Selain itu, kalaupun hadits tersebut “dipaksakan” untuk diterima, lanjut beliau, hadits tersebut khusus ditujukan kepada Hawa dan tidak berlaku untuk manusia-manusia (perempuan) lain setelahnya. Ini penting dikemukakan karena, cucu Adam dan Hawa setelah mereka adalah sebuah bentuk manusia yang terjadi akibat perpaduan sperma dan ovum, sebagaimana tertera dalam QS. Ali-Imran [3]: 39.
Ayat lain yang sering dijadikan dalil untuk mensubordinasi perempuan adalah QS. al-Nisa [4]: 34; “Laki-laki adalah ‘qawwamun’ (pemimpin) atas perempuan, disebabkan Allah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dank arena mereka (laki-laki) menafkahi dari harta mereka”. Mayoritas para ulama menafsirkan ayat ini secara literal, akibatnya penafsiran-penafsiran secara literal itu bagaimanapun telah membagi arah bagi pembagian peran tetap laki-laki dan perempuan. Laki-laki berperan di sektor publik (kemasyarakatan) dan perempuan berperan di wilayah domestic (rmahtangga).
Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, MA sebagaimana mengutip pendapatnya Ashghar Ali Engineer (1992)—seorang cendekiawan progresif asal India—menjelaskan makna ayat ini ditinjau dari asbab al-nuzul (sebab turun) bahwa ayat tersebut bukan berbicara tentang masalah kepemimpinan, melainkan mengenai domectic violence atau kekerasan dalam rumah tangga yang sering terjadi dalam masyarakat Arab sebelum Islam.  Kekerasan dalam rumah tangga yang dimaksud adalah nusyuz dan konflik atau perselisihan suami istri dalam rumah tangga.
Dari beberapa ayat yang (terkesan) subordinatif perempuan, harus dilakukan upaya penafsiran ulang entah itu dilihat dari sisi sebab turunnya atau ditafsirkan sesuai dengan konteks kekinian. Sebab, Al-Qur’an sebagaimana diimani kebenarannya, tidak mungkin memperlakukan manusia (terutama perempuan) secara tebang pilih, diskriminasi, dan lainnya. Perlu adanya kembali pada tujuan utama Al-Qur’an sebagai penerang dan pemberi hidayah yakni menuntun agar manusia ramah terhadap sesama, mendudukkan sama antara laki-laki dan perempuan.
Mengapa demikian? Karena banyak sekali ayat dalam Al-Qur’an yang tentang kesetaraan manusia, kesetaraan laki-laki dan perempuan dimata Allah SWT. Lihat misalnya, QS. al-Hujurat [13]: 49 yang menyatakan bahwa nilai kemanusiaan laki-laki dan perempuan sama dan setara, yang mengukur manusia mulia dihadapan Allah hanyalah kualitas takwa, dan kulitas takwa tidak mengenal jenis kelamin, ia bisa disandang oleh siapapun; laki-laki atau perempuan.
Diayat yang lain, Allah SWT memberikan potensi kepada laki-laki dan perempuan secara sama dan setara, keduanya diminta berlomba-lomba melakukan amal baik sebanyak-banyaknya. Semua manusia tanpa dibedakan jenis kelaminnya mempunyai potensi yang sama untuk menjadi ‘abid (hamba) dan khalifah (pengganti/pemimpin), lihat QS. al-Nisa [4]: 124 dan QS. al-Nahl [16]: 97.
Peranan dan kedudukan setara lainnya dalam al-Qur’an dapat dilihat dalam QS. al-Taubah []: 71, QS. al-Ahzab []: 35, dan lain sebagainya. Dengan demikian, al-Qur’an sebagai penerang dan penuntun umat manusia untuk berbuat ramah dan adil terhadap perempuan semakin jelas. Ya, keadilan dan kesetaraan adalah ajaran utama dalam al-Qur’an, guna mewujudkan tatanan masyarakat yang berkeadilan pula. Lihat QS. al-Nisa []: 35, QS. al-Mumtahanah []: 8, dan lain sebagainya.

Jihad untuk Perempuan
Dari pemaparan singkat diatas, kita dapat melihat betapa Islam melaui al-Qur’an sebetulnya memberikan peranan dan kedudukan yang setara antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, untuk mempertegas kejelasan al-Qur’an tersebut, juga diperlukan upaya sungguh-sungguh manusia dalam mewacanakan kesetaraan dan keadilan gender tersebut. Upaya sungguh-sungguh mewujudkan hal itu saya istilahkan dengan jihad. Mengapa jihad? Tidak jarang, tatkala mendengar kata jihad, oleh sebagian banyak orang ia diidentikkan dengan perang atau bentuk-bentuk kekerasan fisik lainnya. Tak pelak jika pemahaman kerdil semacam ini telah mengelabui pemikiran dan pemahaman kebanyakan umat Muslim, khususnya kelompok esktrimis, bahwa jihad melulu identik dengan pedang, jubah, jenggot panjang dan sejumlah aksesoris Arab lainnya. Telah terjadi Arabisasi dalam memahami Islam yang sebetulnya kontekstual dan universal.
Dalam al-Qur’an, kata jihad diulang sebanyak 41 kali yang tersebar dengan berbagai latar belakangnya. Secara etimologi jihad berarti kesungguhan, usaha optimal, atau usaha yang melelahkan. Dalam terminologi Islam, jihad diartikan sebagai perjuangan dengan mengerahkan seluruh potensi dan kemampuan manusia untuk sebuah tujuan yang mulia.
Oleh karena itu, dengan sengaja saya menulis “Jihad untuk Perempuan: Dekonstruksi Wacana Bias Gender”, sebagai sebuah usaha (penafsiran ulang) sungguh-sungguh dalam membangun sebuah relasi laki-laki dan perempuan berlandaskan prinsip keadilan dan kesetaraan melalui dekonstruksi (penafsiran) terhadap dogmatisme dan sakralitas wacana diberbagai tesk (al-Qur’an, Hadits, ataupun kitab kuning )yang berpotensi bias gender.
Yang akan saya sorot lebih lanjut adalah tentang sumber rujukan komunitas Muslim, khususnya kalangan pesantren, selain al-Qur’an dan hadits, yakni kitab kuning. Ya, mengaji kitab kuning erat kaitannya dengan tradisi pesantren, peran “sakral” kitab kuning dalam masyarakat santri (terkesan, seakan-akan) melebihi sakralitasnya terhadap al-Qur’an, ini terlihat misalnya, dalam seluruh istinbath hukumnya selalu bergantung pada bunyi tekstual yang tertera dalam kitab kuning atau dalam bahasa lainnya “apa jare kitab kuning”, kira-kira begitu. Tradisi bahsul masail dikalangan pesantren misalnya, adalah salah satu tradisi debat ilmiah kaum santri yang sangat lekat dengan kitab kuning sebagai poros utama dalam pengambilan hukumnya. Tradisi seperti ini hampir-hampir tak ada yang menyangsikan.
Berkaitan dengan jihad untuk perempuan ini, perlu saya hadapkan dengan sejumlah kitab kuning yang mewacanakan gagasan bias gender. Kitab kuning—yang merupakan menjadi referensi utama pesantren—berfungsi sebagai referensi utama pesantren dalam memahami setiap dinamika kehidupan, salah satunya soal relasi laki-laki dan perempuan atau suami dan istri. Kitab-kitab tersebut diantaranya, Safinah al-Naja fi Maa Yajibu ‘alaa Abdi li Maulaahu, karya Syaikh Salim bin Abdullah bin Samir, ‘Uqud al-Lujain fi Bayan Huquq al-Zaujain, karya Syaikh Nawawi al-Bantani, Qurrah al-Uyun fi al-Nikah al-Syar’i bi Syarh Nazh Ibnu Yanun, karya Abu Muhammad Maulana al-Tihami, al-Muhadzdzab fi al-Fiqh al-Imam al-Syafi’i karya Ibrahim ibn ‘Ali ibn Yusuf ibn Abdillah, Adab al-Mu’asyarah bain al-Zaujain li Tashil al-Sa’adah al-Zaujiyyah al-Haqiqiyyah karya Ahmad bin Asymuni, dan lain sebagainya.
Kitab-kitab yang saya sebutkan diatas adalah beberapa dari sekian banyak kitab yang dijadikan rujukan pertama dan utama pesantren yang merupakan konsumsi intelektual para santri, biasanya kalau tidak secara bandungan, pengajarannya disampaikan melalui bandongan oleh para ustadz maupun Kiainya.
Wacana-wacana bias gender yang tertera dalam kitab kuning—minimal dalam beberapa kitab kuning yang telah saya sebutkan diatas—diantaranya: tentang ketidak bolehan perempuan menjadi Qadli dan perihal tidak wajibnya perempuan melaksanakan shalat jum’at, dengan alasan dikhawatirkan ikhtilath (akan berkumpul) dengan laki-laki, wacana ini tertera dalam kitab al-Muhadzdzab. Dalam kitab Safinah misalnya, ketika kitab ini membahas tentang mandi wajib, Syaikh Salim memperkarakan 6 (enam) persoalan; memasukkan penis kedalam vagina, keluar mani, haidl, nifas, wiladah, dan kematian. Bab ini dihadapkan secara “serius” dengan bersuci, seolah-olah perempuan tatkala sedang haidl (menstruasi) adalah makhluk yang kotor dan tidak suci. Dengan alasan menstruasi, perempuan dilarang beribadah, sehingga tak pelak, jika jumlah shalat fardlu maupun jumlah hari puasa yang dilakukannya lebih sedikit ketimbang laki-laki.
Tugas istri adalah urusan domestik; dapur, sumur, dan kasur. Ahmad bin Asymuni dalam kitabnya juga, mewacanakan hal yang bias gender, bahwa “urusan tamu, semua urusan politik, sosial kemasyarakatan, ekonomi adalah urusan kamu (laki-laki). Anda berhak tidak memperkenankan dia (perempuan) untuk ikut campur didalamnya, kecuali sekedar dibutuhkan. Sementara urusan kamar, dapur, dan urusan kamar yang lain adalah urusan khusus perempuan. Dst”. Juga wacana tentang tipe istri yang shalihah, Syaikh Nawawi al-Bantani dalam kitabnya misalkan menulis “wajib bagi seorang istri untuk senantiasa menunduk malu dihadapan suaminya, tidak banyak melawan, menunudukkan pandangan matanya, patuh kepada perintah suami, diam ketika suami sedang berbicara”, dan seterusnya.
Kalau kenyataannya demikian, kita tidak perlu ragu untuk melakukan penafsiran ulang atau bahkan dekonstruksi ajaran bias gender dalam kitab kuning, (sekali lagi) terutama terhadap wacana-wacananya yang bias gender. Dalam kitab Uqud al-Lujain contohnya, setelah dilakukan penelian mendalam menggunakan metodologi ta’liq wa takhrij al-Hadits oleh Ibu Sinta Nuriyah Wahid dan kawan-kawan, tidak sedikit wacana-wacana yang tertulis dalam kitab itu, berkecenderungan bias gender. Dalam penelitiannya itu ditemukan 26 hadits lemah (dla’if) dan 35 hadits palsu (maudlu’) dari sekitar 120-an hadits dalam kitab ‘Uqud al-Lujjayn. KH. Husein Muhammad  memberikan penegasan lebih lanjut, bahwa lebih dari 90 hadits Nabi SAW ditulis Kiai Nawawi untuk menjelaskan hak-hak dan kwajiban suami isteri. Komposisi pembahasan yang menyangkut hak-hak suami lebih besar ketimbang kewajibannya. Sebaliknya, kewajiban-kewajiban isteri lebih besar daripada hak-hak yang dimilikinya. Disini kecenderungan Kiai Nawawi  terlihat sangat patriarkhis.
Mendekonstruksi wacana bias gender juga karena, kedudukan kitab kuning tidak lebih sebagai budaya manusia (fuqaha) dalam memotret realitas kehidupan (perempuan) pada zamannya, sehingga ketika zaman sudah berubah dan modern, wejangan-wejangan dalam kitab kuning yang bias gender itu tidak boleh kita lestarikan, apalagi diaplikasikan.
Memang bukan perkara mudah, untuk kemudian “membongkar” tradisi “apa jare kitab kuning” ini, selain karena tradisi ini telah tumbuh amat lama, ini pula dapat ditengarai oleh sejumlah pandangan Kiai (sebagai pemilik otoritas pesantren) yang masih terjangkit paradigma eksklusif-konservatif. Namun perlu dicatat, bahwa maksud dari tulisan saya ini bukan berarti menganjurkan untuk membabad habis seluruh nilai-nilai dalam khazanah kitab kuning, saya hanya sekedar memberikan saran dan perbaikan terhadap “wejangan-wejangan” kitab kuning yang sudah tidak relevan untuk diterapkan dalam konteks kekinian. Bukankah dalam tradisi pesantren dikenal dengan adagium; “Menjaga tradisi lama yang masih relevan, dan mengambil tradisi baru yang lebih relevan”. Ini artinya, secara terbalik juga menyarankan agar; “Membuang tradisi lama yang sudah tidak relevan, menjauhi tradisi (meskipun) baru yang (dianggap) tidak relevan”. Semoga bermanfaat. Wallahu ‘alam bi al-Shawab.

0 komentar:

Post a Comment