Indonesia dan Wawasan Kebangsaan:
Dari Saya untuk Orangtua, Handai Taulan, dan Bangsa.
Jum’at, 22 Juli 2011, hari dimana saya tidak bisa berbohong untuk menyembunyikan kebahagiaan. Betapa tidak, beribu tabur selamat, do’a, hingga senyuman dari handai taulan berlimpah ruah ikut membahagiakan, hari dimana tidak kurang dari 22 tahun saya dapat merasakan nikmatnya hidup dalam buaian kasih Tuhan, orangtua, khusushan Bunda tercinta. Sebab itu, kepada Tuhan, orangtua, saudara-saudara, sahabat-sahabat, Bapak/Ibu (Kiai, ustadz, guru, dosen) dan segenap handai taulan yang telah turut membalutkan bahagia dihati sanubari, saya ucapkan segala termakasih yang mendalam.
Asupan spirit dari handai taulan itu, setidaknya dapat membangkitkan ghirah hidup saya, untuk semakin menyulam hidup yang lebih maslahat dan manfaat. Ghirah itu begitu urgen bagi saya atas rasa cinta ini kepada Bangsa Indonesia, tempat dimana saya lama berpijak.
Keniscayaan Indonesia dan wawasan kebangsaan, sedini mungkin perlu mendapatkan pehatian serius—terutama—dalam kaitannya dalam menjaga persatuan dan kesatuan dalam bingkai keberagaman (keberbedaan).
Jika ditelusuri, term bangsa sebagai akar dari kata kebangsaan dalam kosa kata Arab sering dipakai dengan kata “qaum” diulang sebanyak 283 kali , “syu’ub” 2 kali, juga “ummat” sebanyak 64 kali. Dari sekian banyak pengulangan term bangsa tersebut, terdapat empat point makna yang menjurus kepadanya: 1. Sekumpulan orang secara keseluruhan, 2. Komunitas kaum muslimin saja, 3. Individu (seseorang), 4. Semesta alam.
Sebagai orang “asli” Indonesia, seyogyanya dapat memahami karakter bangsa tersebut diatas, yang pada hakikatnya kebangsaan itu tidak terlepas dari (estafet) (re)-generasi (al-jiil) dan komunitas. Indonesia sebagai negara-bangsa (nation-state) harus dipahami betul oleh masyarakatnya, bahwa Indonesia sebagai Bangsa mempunyai realitas kehidupan yang beragam. Keberagaman Indonesia inilah yang menurut hemat saya, adalah bentuk (bukti) Kemahabesaran Tuhan sebagai inisiator (kreator) semesta alam.
Meneguhkan Indonesia sama dengan meneguhkan ajaran-ajaran Islam yang luhur itu. Dalam konteks Indonesia, Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika, merupakan warisan kompromistis yang tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun. Dalam pada itu, demi keutuhannya, seluruh komponen bangsa ini—sekali lagi—wajib menyemai dan menjaganya.
Mengutip pandangannya Kang Said (Prof. Dr. KH. Said Aqiel Siradj, MA): “Mengingkari Negara Kesatuan Republik Indonesia dibawah perjanjian luhur Pancasila dan UUD 1945 sama halnya mencampakkan pesan-pesan yang telah diwariskan Nabi SAW”.
Cinta Indonesia, layaknya cinta Nabi SAW tatkala beliau berbaur dalam komunitas Negara Madinah. Realitas Bangsa Indonesia, tak ubahnya seperti realitas yang ada dalam komunitas Negara Madinah. Hidup dalam keberagaman dan keberbedaan, antara satu dengan yang lain, namun tetap damai dan berdampingan.
Memang, pada mulanya manusia adalah satu umat, namun kemudian mereka berselisih. Perselisihan inilah yang sebelumnya pernah dikhawatirkan para malaikat. Hal ini tergambar, misalnya dalam QS. Al-Baqarah [2]: 30, tatkala para malaikat “mengkritik” gagasan Tuhan. Meksi kehendak Tuhan berbicara lain, dimana manusia mempunyai potensi konflik juga mempunyai potensi takwa. Potensi perselisihan (hingga pada pembunuhan) ini kembali diperkuat dengan kisah Qabil dan Habil, pada masa Nabi Adam AS. Dan hingga hari ini, peselisihan-demi perselisihan silih berganti tak mengenal waktu dan hari, diberbagai belahan dunia termasuk di Indonesia.
Kalau ditengarai, potensi perselisihan terjadi akibat kelaliman manusia, dengan berbagai motif. Misalnya; otoritarianisme, politisasi agama, sikap eksklusif, sektarianisme, dan lain sebagainya.
Motif-motif destruktif yang dapat mengantarkan pada perselisihan, perpecahan, dan permusuhan tersebut, saya rasa tidak akan terjadi atau setidaknya dapat diminimalisir tatkala kita dapat menyemai kehidupan, terutama dalam Islam sebagai agama (inspirasi) rahmatan lil’alamin, agama yang mempunyai misi kasih sayang terhadap semesta. Seperti yang telah dijalankan Nabi SAW dalam naungan Piagam dan Negara Madinah. Kehidupan yang beragam, multi etnis, multi kultur, namun tetap bersatu, damai, sejahtera, egaliter, dan toleran dibawah naungannya.
Oleh sebab itu, kembali kepada ajaran Islam rahmatan lil’alamin adalah niscaya. Sebagaimana kembali kepada ajaran Islam, kembali kepada nilai-nilai kemanusiaan dan keindonesiaan pula, menjadi niscaya. Yakni, dengan kembali teguh pada Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika.
Walhasil, kebangsaan Indonesia merupakan anugerah Tuhan yang tak ternilai harganya, yang patut disyukuri dan disemai secara kontinyu dan konsisten, sebagaimana telah diteladani Nabi SAW. Dalam hal ini pula, menyemai Islam ala Indonesia menjadi dasar tersendiri, sebagai “penangkal” atas aktivitas (upaya) “penyulapan” NKRI menjadi Negara Islam (Khilafah Islamiyah) yang kembali marak disebagian kalangan umat Islam nusantara belakangan ini.
Akhir kata, dihari special ini, saya ingin memanjatkan bingkisan do’a, semoga Tuhan menyelamatkan Indonesia dari segala bentuk tindakan penghancuran, peselisihan, dan upaya-upaya kontra kebangsaan lainnya. Sebaliknya, menjadikan Bangsa Indonesia, sebagai Bangsa yang (masyarakatnya) moderat, toleran, dan adil. Demikian. Wallahu’alam bi al-shawab.
0 komentar:
Post a Comment