TITIK
KISAR MEMBANGUN SURGA DI BUMI: SEBUAH RINGKASAN
(Membangun
Surga di Bumi: Kiat-kiat Membina Keluarga Ideal dalam Islam)
“Dan
diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untuk istri-istrimu dari
bahan yang sama denganmu supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya,
dan dijadikan-Nya diantara kamu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”. (QS. al-Rum [30]: 21).
Ayat
tersebut diatas adalah landasan dasar bagi manusia untuk bisa menunaikan fitrahnya,
yakni dalam melangsungkan hak pernikahan. Benar. Secara eksplisit ayat ini
memberikan legitimasi manusia tentang tuntunan pernikahan. Namun demikian,
pernikahan ini mesti dilandasi kesiapan dan keridloan antar kedua belah pihak,
dengan kata lain pernikahan yang tidak hanya dibangun atas dasar nafsu
seksualitas belaka atau karena keterpaksaan (adanya unsur pemaksaan). Sebagai
perbuatan yang mesti dilandasi kasih cinta dan sayang, pernikahan kerap
dianggap sebagai sebuah noktah ikatan suci antara laki-laki dan perempuan,
menuju ikatan suami istri yang sah dan halal.
Pernikahan
yang dilandasi kasih cinta dan sayang ini, adalah merupakan ikatan yang sangat
berat, karena dengan pernikahan, dua insan yang telah sah menjadi suami istri
itu, juga mesti konsekuen dengan segala implikasinya. Terjalnya rintangan dalam
kehidupan rumah tangga, akan dirasakan tatkala telah melangsungkan pernikahan. Sebagai
sebuah langkah awal, pasangan suami-istri baru tersebut tentu berharap penuh agar
ritual pernikahan yang telah dilangsungkan tidak hanya “seumur jagung”,
dipenuhi kisruh dan konflik, yang berujung pada perceraian. Naudzubillah.
Melainkan sebagaimana judul buku ini “Membangun Surga di Bumi; Kiat-kiat
Membina Keluarga Ideal dalam Islam”, yang terbangun adalah biduk keluarga
ideal yang sakinah, mawadah, wa rahmah.
Karenanya, buku ini hendak menguraikan segala persoalan pelik mulai dari hal
yang terkecil hingga persoalan serius, yang kerap terjadi dalam pusaran biduk
keluarga itu.
Seperti
diuraikan dalam pengantar editor buku ini, bahwa membangun surga di bumi
dinisbahkan pada sebuah dawuh Nabi
SAW yang berbilang; “Rumahku, Surgaku”,
dimana, membangun surga di bumi ini berarti membangun keluarga yang
kukuh, harmonis tentram lahir-bathin (sakinah), penuh dengan cinta, dan
kasih sayang (mawaddah wa rahmah). Keluarga yang terbangun atas dasar saling melengkapi, saling
pengertian, dan saling mengayomi.
Uraian
diatas tentu saja kemudian menimbulkan pertanyaan, bagaimana cara manusia
membangun surga di bumi?. Ini adalah pertanyaan mendasar yang wajar terlontar
dibenak khalayak. Sebetulnya jawabannya singkat, bacalah dengan seksama
buku ini (Membangun Surga di Bumi), niscaya khalayak bukan hanya akan
mendapatkan wahana dan khazanah keilmuan mendalam, melainkan pula akan
mendapatkan inspirasi dari sekian banyak pencerahan dalam pelbagai persoalan
yang kerap mendera biduk rumah tangga, yang dikupas dengan pelbagai perspektif;
teologis, sosio-ekonomis, sosio-politis, filosofis, dan lain sebagainya.
Tapi
baiklah, sebagaimana tujuan tulisan ini dibuat, agar dapat memberikan sedikit
(dari sekian banyak pintu pencerahan) untuk kemudian mengantarkan khalayak
dalam memahami alur dan persoalan pokok dalam buku ini. Berikut, ringkasan dari
apa yang terkuak dalam buku “Membangun Surga di Bumi” ini.
Berangkat
dari pengalaman pribadi dan fakta diskriminatif di sekitanya, sebagai insan
yang juga sedang dalam masa mengarungi bahtera rumah tangga penulis buku
ini—Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, MA (selanjutnya Bu Musdah)—mengawali
pembahasannya Bab I “Tauhid sebagai Fondasi Keluarga Sakinah” sebagai pijakan
dasar dalam upaya membangun surga di bumi, yakni Tauhid (monotheisme). Bu
Musdah meyakini bahwa sebagai prinsip dasar dari seluruh ajaran Islam yang ada,
termasuk dalam soal pernikahan dan keluarga, adalah sebuah komitmen setiap kaum
beriman atas ketertundukannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa—sebagai pemilik
otoritas jagat raya dan seisinya—untuk senantiasa menghamba kepada-Nya serta
tidak mempersekutukannya. Terkait dengan prinsip tauhid ini, Bu Musdah memberikan
catatan kontekstual, prinsip tauhid yang melahirkan pandangan kesederajatan dan
kesetaraan antar sesama manusia, sebagai berikut:
“Islam
sebagai agama, pada hakikatnya, menekankan aspek nilai-nilai kemanusiaan yang
terkandung di dalamnya. Salah satu dari nilai-nilai kemanusiaan itu adalah
pengakuan tulus terhadap kesamaan dan kesatuan manusia. Semua manusia adalah
sama, berasal dari sumber yang satu, yaitu Tuhan. Yang membedakan hanyalah
prestasi dan kualitas takwa manusia. Soal takwa, Tuhan semata yang berhak
melakukan penilaian.”
Spirit
tauhid ini berarti, di dalam biduk rumah tangga dilarang keras untuk melakukan
tindak pendholiman, diskriminatif, penindasan, dan lain sejenisnya. Entah itu
dilakukan suami ataupun sebaliknya. Keduanya (suami dan istri) harus
bersama-sama saling melengkapi, mengayomi, dan membangun komitmen yang satu
dengan risiko apapun dalam rumah tangga. Ini juga memberikan makna bahwa tauhid
sebetulnya hendak memberikan pembebasan dan kebebasan dari segala tindak
amoralitas, dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam kehidupan rumah tangga.
Seorang suami tidak diperkenankan memutlakkan “kelaki-lakiannya” sembari mensubordinasi
istrinya, begitupun sebaliknya. Dengan demikian, prinsip tauhid ini, sampai
pada spirit untuk berlomba dalam kebaikan, sehingga diantara keduanya mencapai
predikat takwa.
Selanjutnya
pada Bab II “Nikah Bukan Transaksi Jual-Beli”, Bu Musdah mencoba memberikan
uraian komperhensif tentang pandangan ulama klasik dalam menyorot kedudukan (nilai
substantif) nikah dalam Islam. Misalkan beliau mengupas secara mendalam
pandangan ulama fikih empat madzhab tentang nikah dan seks. Beliau menegaskan
bahwa nikah bukan hanya soal kenikmatan seks belaka, ia adalah komitmen, sebab dengan
nikah juga merupakan sebuah ibadah yang tak terkira pahalanya, terlebih jika
keluarga yang dibangun berpredikat sakinah,
mawaddah wa rahmah. Dalam bab ini pula Bu Musdah menyajikan beberapa
prinsip yang harus dibangun dalam membina keluarga; prinsip cinta dan kasih
sayang, prinsip keadilan gender dan lain sebagainya. Dan, ini menggaris bawahi
terutama pada suami agar tidak berlaku sewenang-wenang terhadap istrinya.
Berkaitan
dengan dawuh Nabi “Rumahku, Surgaku”
pada Bab III, bahwa demi terciptanya bangunan ini, penting adanya kesetaraan
dan keseimbangan antara suami dan istri. Terutama dalam hal kepemimpinan
keluarga, yakni pemimpin (khalifah) dalam keluarga tidak mesti dipimpin suami,
ini tentu disesuaikan dengan konteksnya, mengapa sebab, karena menurut Bu
Musdah bahwa khalifah itu tidak mengenal jenis kelamin, artinya suami ataupun
istri berpotensi menjadi pemimpin dalam keluarga. Oleh karena itu, khalifah
dalam arti pemimpin tidak semena-mena dimaknai sebagai pemimpin yang menindas
dan diskriminatif. Namun lebih kepada pemimpin yang dapat berkolaborasi,
membagi tugas, saling melengkapi dan mengayomi satu sama lain. Dengan dasar
ini, membuahkan persepsi bahwa urusan rumah tangga adalah tidak mutlak menjadi
tanggung jawab istri (ibu), melainkan suami (bapak) pun ikut andil di dalamnya.
Pun
dalam pembahasan Bab IV “Perempuan sebagai Kepala Rumah Tangga”. Bu Musdah
memberikan ultimatum bahwa pendamping itu tidak berarti pemimpin yang otoriter
dan menindas. Bu Musdah bahkan mengkritik kecenderungan ulama atau siapapun
pengambil kebijakan hukum Islam, yang hanya terpaku pada satu madzhab tertentu,
yang sarat akan keterbatasan sisi kontekstualitas pada zamannya. Karenanya,
menurut Bu Musdah perlu adanya tafsir baru atas keterbatasan ini agar kemudian
menghasilkan semangat yang baru, yang lebih adil dan setara gender. Selagi
perempuan memiliki kecakapan dan potensi yang unggul, menjadi kepala rumah
tangga bagi perempuan, bukan lagi menjadi persoalan, melainkan sebuah
keharusan.
Pembahasan
mendalam tentang; “Pengasuhan Anak oleh Orangtua”, dikupas secara detail pada
Bab V dan VI, terutama dalam upaya menegakkan lima hak anak dalam Islam (hak
mendapatkan perlindungan, untuk hidup dan bertumbuh kembang, mendapatkan
pendidikan, mendapatkan nafkah dan waris, dan mendapatkan perlakuan sama).
Prinsip ini dihadapkan dengan fakta soal adopsi dan status sosial anak.
Terutama berkaitan dengan hak dan kedudukan anak yang lahir diluar atau tanpa
adanya pernikahan.
Ada
bahasan yang menarik dan berani menurut saya, dengan nuansa yang sangat berbeda
dengan arus utama, yakni dalam pembahasan Bab VII. Dalam bab ini Bu Musdah
membahas tentang kontroversi; “Nikah Campur atau Nikah Beda Agama”. Beliau
menawarkan ijtihad baru dengan membolehkan atau membuka bagi siapapun yang
hendak nikah beda agama atau kepercayaan. Beliaupun kembali mengritik pedas
(Kompilasi Hukum Islam) KHI agar dapat dirubah muatan dan cakupannya. Landasan
ijtihad beliau berbasis pada keragaman tafsir dikalangan para ulama, yang
terkait langsung dengan soal nikah campur. Bahwa urusan nikah dan pernikahan,
adalah soal ketertarikan dan cinta, yang melintas sekat-sekat identitas; agama,
budaya, dan lain sebagainya.
Setelah
membahas nikah campur, Bu Musdah melanjutkan bahasannya soal pro-kontra nikah
bawah tangan, seputar; hak gono-gini, tujuan alasan nikah sirri, dan lain
sebagainya. Ini dibahas oleh beliau pada Bab VIII dan IX, termasuk di dalamnya
ulasan tentang poligami. Isu poligami mendapatkan porsi kupasan yang cukup
“tebal”, dimana (menurut beliau) tidaklah diperkenankan atas dasar apapun,
seseorang untuk melakukan poligami. Tidak ada alasan bagi suami untuk melakukan
poligami terhadap istrinya. Karena, sebagaimana telah dikemukakan diawal, bahwa
pernikahan merupakan ikatan suci yang berat, dengan sanggup menerima apapun
konsekuensi kekurangan antara kedua belah pihak, suami dan istri. Tidak hanya
itu, pendapat kontra poligaminya ini, dilandaskan pada hasil penelitian, kepada
sejumlah pihak yang berpoligami. Dan ternyata, secara psiko-sosiologis banyak
dampak buruk yang ditimbulkan oleh poligami.
Pada
Bab X tentang “Menyemai Kearifan melalui Pemenuhan Hak seksual”, secara
“berani” dan lantang, Bu Musdah berkesimpulan bahwa Lesbian, Gay, Biseksual,
dan Transgender (LGBT) adalah sunnatullah,
dalam kata lain, ini adalah sesuatu yang terjadi secara alami tanpa
dibuat-dibuat. Pandangan berani beliau bukan tanpa alasan, beliau mencoba
menawarkan reinterpretasi terhadap ayat-ayat yang kerap dijadikan sebagai
legitimasi untuk menjustifikasi bahwa komunitas LBGT adalah mutlak sebagai
perilaku yang menyimpang dari ajaran agama. Kesimpulan semacam ini ditampik
keras oleh Bu Musdah bahwa, ketika membaca ayat yang mengisah kaum Nabi Luth As
hendaknya dipandang sebagai alur cerita dimana peristiwa itu mengisahkan bentuk
pelanggaran yang berkenaan dengan perilaku seksual, bukan orietansi seksualnya.
Yaitu perilaku seksual yang mengekspresikan unsur kekerasan, pemaksaan, dan
penganiayaan. Jadi, dalam kasus LGBT ini adalah berbicara orientasi seksual,
bukan perilaku seksualnya.
Dilanjutkan
dengan pembahasan pada Bab XI tentang “Meningkatkan Kualitas Hidup Perempuan”,
pada Bab XII soal “Dinamika Pembaruan Hukum Keluarga di Negara-negara Islam”
(Tunisia, Turki, Syiria, Mesir, Yordania, dan Irak) yang semakin progresif
dalam mengakomodir aspirasi dan hak perempuan di kancah publik maupun domestik.
Lalu mengupas dalam bab sebrikutnya membahas tentang “Undang-undang Perkawinan
Tidak Sakral” pada Bab XIII, dan diakhiri dengan Bab XIV yakni tentang “Pembaruan
Hukum Keluarga Islam di Indonesia”.
Demikian,
keseluruhan dalam buku ini terdapat XIV Bab dengan beberapa sub-bab lain di dalamnya.
Melalui tulisan sederhana ini, tentu saya berharap, dapat memberikan semacam
kunci atau pembuka dalam memahami alur dan bahasan buku “Membangun Surga di
Bumi”, sehingga yang belum memiliki buku inipun dapat menerka apa saja
pembahasan yang menjadi sorotan dalam buku ini.
Saya
menyadari, buku setebal 374 halaman ini sangat mendalam, karenanya wajar jika
tulisan sederhana ini kurang bisa merepresentasikan seluruhnya. Saya juga menyadari
bahwa “ringkasan” ini jauh dari lengkap. Akhirnya, lepas dari kekurangan itu
semua, tetap saya berharap ini bisa bermanfaat. Demikian.
Sekilas
tentang Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, MA
Kehidupan
dan Pendidikan: Beliau lahir di Bone, 3 Maret 1958. S1 di IAIN Alaudin
Makasar, S2 dan S3 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Beliau adalah Doktor
Pemikiran Politik Pertama di Indonesia, yang juga merupakan perempuan pertama
yang menyabet Ahli Peneliti Utama (APU) Kementerian Agama. Banyak mengikuti
beberapa kursus singkat tentang HAM, manajemen pendidikan, kepemimpinan
perempuan diberbagai Negara di dunia; Australia, Thailand, Amerika Serikat,
Swedia, dan lain-lain.
Pengalaman
organisasi: Sekjen Fatayat NU (1990-1995), Wakil Sekjen PP Muslimat NU (2000-2005),
Ketua Umum ICRP Jakarta (2007-sekarang) dan lain sebagainya. Telah menorehkan
tidak kurang dari 20 buku beberapa diantaranya: Muslimah Reformis (2005),
Poligami (2007), Kesetaraan dan Keadilan Gender (2001), dan termasuk Buku
Membangun Surga di Bumi (2011) dan lain-lain.
Penghargaan
internasional: GTZ Award (Jerman), Tribute to Women Award, Internasional Women
of Courage Award (USA, 2007), Yap Thiam Hien Human Rights Award (2008), dan The
Internasional Prize for The Women of The Year (Italia, 2009).
0 komentar:
Post a Comment