Meninjau Ulang Khitan Perempuan
Oleh: Mamang M. Haerudin
Hari Rabu, 25 Mei 2011 penulis berkesempatan menonton sebuah film dokumenter bertajuk kilas balik para perempuan dengan berbagai kehidupan sosio-kulturalnya. Ada beberapa season (penampilan; fakta kehidupan perempuan lesbi, PSK, soal pap smear, genikolog, dll) dalam pemutaran film dokumenter tersebut, dan diantara penayangan film dokumenter tersebut salah satunya menampilkan sebuah budaya atau tepatnya tradisi khitan perempuan yang telah mengakar kuat dikalangan masyarakat setempat, bahkan khitan perempuan tersebut telah menjadi keharusan tradisi—untuk enggan mengatakan wajib—yang telah turun-temurun diritualkan.
Khitan secara literal mempunyai arti memotong. Sedangkan dalam terminologi yurispundensi Islam (ahli fikih) khitan adalah memotong kulit yang menutup alat kelamin atau memotong daging bagian ujung klitoris perempuan. Prof. Dr. Nasaruddin Umar memberikan defini khitan yang tidak jauh berbeda, khitan merupakan pemotongan kulup penis laki-laki dan pemotongan klentit (clitoris) dan atau pemotongan bibir kecil vagina (labia minora) bagi perempuan.
Sebagian masyarakat telah menganggap khitan perempuan sebagai kewajiban penyempurna dalam kehidupan beragama. Tidak tanggung-tanggung, mereka bahkan mensakralkan bahwa khitan perempuan merupakan ritual yang berasal dari perintah agama.
Padahal, sebagaimana mengutip pendapatnya Syaikh Yusuf al-Qardhawi—seorang ulama kontemporer terkemuka—sangat mengkritik tegas praktek khitan perempuan ini, bahkan beliau menyatakan bahwa mendasarkan khitan perempuan pada legitimasi syar’i (Al-Qur’an dan Hadits) merupakan satu hal yang mengada-ada. Adapun ayat yang biasa disadur sebagai legitimasi khitan perempuan misalnya terdapat dalam QS. Al-Nahl [16]: 123 yang menyatakan; “Kemudian Kami wahyukan kepadamu agar mengikuti millah Ibrahim yang lurus. Dan sekali-kali tidaklah kami menjadi bagian dari orang-orang yang musyrik”. Atau juga pada QS. al-Nisa [4]: 125.
Dalam menafsirkan ayat ini, KH. Husein Muhammad—sebagaimanaa mengutip pendapatnya Sayid Sabiq—dalam bukunya “Ijtihad Kiai Husein: Membangun Keadilan Gender”, menyatakan bahwa maksud dari ayat ini sesungguhnya membicarakan hal yang lebih luas dan lebih prinsip dibanding sekedar bicara soal khitan. Ajakan atau perintah millah Ibrahim adalah ajakan kepada keyakinan tauhid dan menjauhi kekafiran atau kemusyrikan kepada Allah melalui argumen rasional dan ilmiah.
Dengan demikian, jelaslah sudah bahwa Al-Qur’an tidak memberikan dasar teologis terkait khitan perempuan. Dangkalnya pengetahuan dan pemahaman dalam mengkaji ayat-ayat inilah yang menjadikan tradisi khitan perempuan masih saja dilestarikan.
Walaupun tidak dipungkiri ada beberapa hadits yang sepintas merujuk pada perintah khitan perempuan, seperti misalnya hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal: “Dari Abu Hurairah ra. Nabi SAW bersabda: “Khitan adalah sunah bagi laki-laki dan kehormatan bagi perempuan”. Atau juga bersandar pada hadits yang serupa dari Zaid ibn Abi Habib bahwa “Sesungguhnya Abu Hasan ibn Abi al-Hasan menanyakan tentang khitan kepada Rasulullah, lalu Nabi menjawab; Untuk laki-laki merupakan ajaran (sunah) dan bagi perempuan merupakan anjuran mulia”.
Dalam membaca berikut memahami interpretasi hadits ini, diperlukan sebuah olah pikir yang mendalam. Kembali mengutip pendapatnya Yusuf al-Qardhawi menyatakan, tradisi khitan yang sudah berlangsung lama ini harus dikontekstualisasikan dengan kondisi kekinian, dengan kata lain tradisi yang dianggap terhormat disuatu masa dan tempat, tidak melulu terhormat untuk masa dan tempat yang lain. Dalam pada itu, hadits ini harus dipahami dalam konteks yang dalam kehidupan klasik-tradisional telah mengakar tradisi khitan perempuan ekstrim, yakni praktik dengan menghilangkan sebagian klitoris (clitorydectomy) atau bahkan memotong keseluruhan klitoris, labia minora, dan labia mayora sekaligus (infibulation).
Oleh sebab itu, hadits ini harus dipahami dalam bentuk usaha transformasi gradual-kultural yang dilakukan Nabi dalam menyikapi ekstrimisme tradisi khitan perempuan saat itu. Dan secara implisit, hadits ini mempunyai pesan moral bahwa Nabi sebetulnya ingin menghapuskan praktik khitan perempuan ini.
Peninjauan ulang (penghapusan) praktik khitan perempuan menemukan signifikansinya tatkala melihat beberapa indikasi kekerasan fisik yang disebabkan oleh praktik khitan perempuan, seperti; pendarahan yang dapat mengakibatkan kematian, infeksi yang dapat menimbulkan rasa sakit pada saat menstruasi, dan sakit karena operasi tanpa pembiusan yang berimplikasi trauma berkepanjangan, stress, dan gangguan kejiwaan lainnya.
Penulis menyadari bahwa bagi sebagian masyarakat, membincangkan soal khitan perempuan merupakan hal tabu, terlebih jika hal ini jarang atau tidak pernah sama sekali disosialisasikan ke publik. Akan tetapi jika melihat fakta sosial masyarakat, terkait problem serius yang disebabkan praktik khitan perempuan, seperti dibeberapa Negara, semisal Afrika yang masih ditemukan praktik-praktik “kejam”; memotong seluruh klitoris dan kemudian menyemburkan sejenis abu gosok kebagian luka, atau juga dengan cara menjahit bagian lubang vagina. Dan tidak heran jika akibat praktik khitan tidak sedikit anak perempuan yang meninggal akibat praktik khitan perempuan ini.
Jika terbukti demikian, khitan perempuan mendatangkan pelbagai masalah, maka kedudukan dan status hukum tersebut harus ditinjau kembali, apalagi ketegasannya (khitan perempuan) tidak diperoleh dalam al-Qur’an dan al-Sunah. Wallahu ‘alam bi al-shawab.
0 komentar:
Post a Comment