Keadilan
Gender; Keberpihakan Islam untuk Perempuan dan LGBT
Oleh; Mamang M. Haerudin
Pendahuluan
Islam—sebagaimana agama-agama
lain yang ada di bumi—memiliki tawaran “menggiurkan”
untuk menunaikan harapan hidup yang lebih baik dan adil bagi pemeluknya, dengan
wujud. Maka, tak ayal jika manusia—dengan
nada mempertanyakan— juga “menagih” kebaikan dan keadilan tawaran itu, dengan
mesti. Sebab itu, uji konsistensi tawaran dalam Islam mesti dibuktikan, dan secara
sederhana bisa dibaca lewat, seberapa besar keberpihakan Islam dalam memberikan
keadilan terhadap manusia yang memeluk dan meyakininya. Kalau kemudian saya
sederhanakan kembali; semakin besar Islam memberikan keadilan terhadap pemeluknya,
maka, semakin besar pula keyakinan pemeluk terhadapnya, bukan tak mungkin sehingga
Islam terus kokoh sebagai agama abadi yang dipeluk manusia, yang selalu membawa
prinsip keadilan.
Dalam konteks Islam, tawaran
“menggiurkan” untuk pemeluknya itu—dalam menyamuderai derasnya lautan hidup—yakni;
rahmatan lil’alamin, sebuah tawaran berupa
rahmat (kasih sayang) sebagai modal
dalam menegakkan keadilan hidup. Keadilan yang tidak hanya diperuntukkan bagi
pemeluk Islam belaka, melainkan bagi seluruh alam semesta, termasuk dan khusus di
dalamnya mengakomodir keadilan bagi keberadaan perempuan dan komunitas Lesbian,
Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT), yang sering—untuk enggan mengatakan
selalu—mendapat perlakuan diskriminatif dan nir-keadilan.
Apalah mau dikata, seberat
tawarannya, seberat pula dalam ikhtiar pengejawantahannya, atau bahkan kadang, masih jauh bertolak
belakang dari titik ideal, apa yang diharapkan. Realitas kehidupan sosial yang
teramat beragam dan kompleks, benar
memang terkadang tidak mudah satu sinergi. Konsepsi Islam tentang keadilan
semesta alam, ternyata tidak melulu berbanding lurus dengan pemahaman dan sikap
muslimnya (pemeluk Islam). Dengan demikian, Islam boleh saja menganggap dirinya;
“ya’lu wala yu’la ‘alaih”, tetapi
tidak melulu bagi muslimnya. Dengan kata lain, Islam merupakan agama yang
percaya diri dan konsisten, betapapun muslimnya belum tentu demikian. Maka
menjadi rasional, tatkala Islam ramah dan adil terhadap siapapun, termasuk
terhadap perempuan dan komunitas LGBT, sekali lagi, meskipun muslimnya belum
tentu demikian.
Ya, sebagaimana problem yang
akan saya bidik dalam tulisan sederhana ini, adalah kebelum-mampuan muslim
(sekali lagi bukan Islamnya) dalam mengakomodir pemenuhan prinsip keadilannya
bagi perempuan dan komunitas LGBT. Pertama,
fakta diskriminatif terhadap perempuan.
Ada satu ungkapan bernada timpang yang patut direnungkan dalam diskursus
tentang perempuan, bahwa; “perempuan adalah sahabat terbaik agama, namun agama
bukanlah sahabat terbaik bagi perempuan”.
Mempertimbangkan ungkapan ini
semakin menemukan titik signifikansinya, tatkala fakta diskriminatif terhadap
perempuan atas nama agama, marak menggejala tak terelakkan di tengah masyarakat.
Atas nama agama (Islam), tidak jarang pihak yang secara sebelah mata memandang
perempuan sebagai manusia yang; “separo harga” dari laki-laki, “konco wingking”
dari laki-laki, “nomor dua” dari laki-laki, dan seterusnya. Penyematan
subordinatif seperti ini sering kali mengemuka tidak hanya di kalangan kalangan
awam, melainkan juga di kalangan cerdik-agamawan.
Kedua, fakta diskriminatif terhadap
komunitas LGBT. Benar. Di tengah masyarakat yang memegang teguh pada heteronormavitas
(norma-norma orientasi seksual hetero), komunitas LGBT tak hanya mengalami
pengucilan dan sumpah serapah sebagai komunitas manusia yang telah melanggar
norma keumuman masyarakat, tetapi juga telah distempel negatif sebagai kelompok
manusia yang telah melanggar ketentuan agama (Tuhan).
Implikasi dari pelabelan
timpang seperti ini telah berlangsung berabad lama, hingga kurun waktu dewasa
ini. Manusia arus utama dengan heteronormavitasnya, seakan gelap mata dengan
prinsip-prinsip universal kemanusiaan. Dinding-dinding ketabuan dan dangkalnya
pengetahuan telah mengelabui mata dan sikapnya terhadap komunitas LGBT.
Padahal, tentu mereka (komunitas LGBT) tidak melulu seperti apa yang
dibayangkan cara pandang negatifnya.
Mencermati persoalan-persoalan
tersebut di atas, melalui tulisan sederhana ini, saya hendak mencoba memberikan
cara pandang dan interpretasi ulang, terhadap pelbagai stereotipe yang
mendiskriminasikan itu. Diawali dengan lebih intim mengenal titik bahas antara
gender dan seks dalam segi perbedaan dan pemaknaannya. Dilanjut dengan upaya
saya dalam mendobrak dinding-dinding ketabuan tentang seksualitas, yang
sering—untuk enggan mengatakan selalu—disudutkan secara tertutup dan negatif,
sehingga berubah menjadi satu hal yang terbuka dan positif. Berikutnya,
bagaimana kemudian, bahwa Islam inheren dengan keadilan bagi perempuan dan
komunitas LGBT.
Mengenal
Seks dan Gender
Problem pertama dan utama, yang
sederhana tetapi beimplikasi besar, yakni dalam menyoal perbedaan gender dan
seks, adalah tentang ketidak-cermatan arus-utama dalam hal memakna dan
mendudukkan antara terma gender dan seks. Galibnya, orang menyama artikan
antara terma gender dan seks. Padahal, keduanya sama sekali berbeda makna dan
arti. Oleh karena berbeda, cakupan dan jangkauannya pun berbeda.
Nasaruddin Umar (1999) misalnya,
memandang bahwa, gender secara umum
digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi
sosial-budaya. Sementara itu, sex secara
umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari
segi anatomi biologi. Studi gender lebih menekankan perkembangan aspek
maskulinitas (masculinity/rujuliyah)
atau feminitas (feminity/nisa’iyyah)
seseorang, sedangkan studi seks menekankan perkembangan pada aspek biologis dan
komposisi kimia dalam tubuh laki-laki (malaness/dzukurah)
dan perempuan (females/unutsah).
Saya pun berpandangan tidak
jauh berbeda dengan di atas, bahwa urgen sekali mendahulukan perbedaan antara
seks (jenis kelamin biologis) dan gender (jenis kelamin sosial). Dimensi seks
(jenis kelamin biologis) meliput seputar hal-hal yang berkenaan dengan faktor
biologis hormonal dan patologis yang menimbulkan adanya laki-laki dan
perempuan. Laki-laki ditandai dengan beberapa identitas fisik seperti; penis,
testis, sperma dan lainnya, sedangkan perempuan ditandai dengan beberapa
identitas seperti; vagina, payudara, ovum, rahim, dan lainnya. Berbeda dengan
dimensi gender, ia meliput seputar sifat, peran, tanggung jawab, fungsi, hak,
dan perilaku yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang disebabkan oleh
konstruksi sosial-budaya masyarakat. Beberapa identitas yang melekat akibat
dimensi gender ini, laki-laki biasanya identik dengan sifat-sifat maskulin;
perkasa, rasional, tegas, dan lain-lain. Sedangkan perempuan identik dengan
sifat-sifat feminimnya; lemah lembut, penyayang, pemalu, dan lain-lain.
Dengan uraian demikian,
sampailah bahwa seks adalah anugerah Tuhan yang bersifat kodrati, yang tak dikonstruk
sosial-budaya masyarakat. Sedangkan gender, adalah sebaliknya, ia adalah
bentukan budaya sosial-masyarakat, yang dapat berubah dari satu tempat ke
tempat lain, dari satu waktu ke waktu yang lain. Buktinya, gender merupakan
bentukan sosial-budaya masyarakat, adalah tidak sedikit laki-laki yang justru
sangat lekat dengan identitas feministasnya—penakut, pemalu, dan lainnya--, dan
perempuan sangat lekat dengan identitas maskulinitasnya—perkasa, berani, tegas,
dan lainnya.
Nah, berkenaan dengan studi keadilan
gender, objektivitas dalam memaknai gender dan seks mutlak dibutuhkan.
Diskursus ini jika dihadapkan dengan studi tentang perempuan amatlah berguna,
bahwa, dalam perspektif gender, perempuan memiliki hak yang sama dan setara
sebagaimana laki-laki, entah itu di muka domestik maupun publik. Begitupun
halnya dengan keberadaan komunitas LGBT, studi pemaknaan objektif tentang
gender dan seks, dapat memberikan penerangan kepada kita, betapa mereka
(komunitas LGBT) memiliki hak yang sama dan setara sebagai mana manusia dengan
orientasi seksual hetero. Tak ada penyimpangan yang dilakukan komunitas LGBT dalam
perspektif gender, selama mereka bersama kita saling mengedepankan
prinsip-prinsip kamanusiaan universal; kebebasan, keadilan, kesetaraan, dan
lain sebagainya.
Mendobrak
Dinding Ketabuan tentang Seksualitas
Ada yang luput di sebagian besar masyarakat—tidak hanya
menjangkit kalangan awam, melainkan juga kalangan cerdik-agamawan—dalam
memandang anugerah seksualitas. Teramat sering terma seksualitas, menjadi terma
yang, ketika orang membincangkannya terkesan negatif, atau dalam bahasa
klasiknya; pamali. Pamali,
dalam masyarakat akar rumput dimaknai sebagai sebuah realitas, yang tidak mesti
dibicarakan, dengan keyakinan; yang nanti di kemudian hari akan mengerti dengan
sendirinya, selain karena akan berakibat negatif, juga menjaga tata sopan
santun, karenanya lebih utama diam, dan tidak mengulasnya.
Paradigma pamali
seperti inilah, yang menurut saya, mesti di bicarakan ulang, disegarkan, dan di
maknai secara baru. Konsep pamali
dalam konteks ini pula yang sebenarnya telah, mengebiri potensi daya kritisisme
masyarakat. Konsep pamali ini biasanya merupakan generalisasi untuk
menyederhanakan dan mengolektifkan kondisi masyarakat yang kompleks. Di satu
sisi, selama implikasi yang ditimbulkan maslahat, saya rasa tak ada masalah,
namun pada nyatanya di sisi yang berbeda, paradigma dan konsep pamali ini telah hilang dan tercerabut
nilai relevansi dan signifikansinya.
Tak ada jalan lain, kecuali
kita bersama, gegap-gempita, bahu membahu, bersama untuk mendobrak
dinding-dinding ketabuan ini. Guna mencerdaskan wawasan dan sikap masyarakat
dari pelbagai bentuk ketabuan yang telah membatu kuat. Menurut Musdah Mulia
(2010), seksualitas mencakup aspek yang sangat luas, yaitu pembicaraan tentang
jenis kelamin biologis, identitas gender (jenis kelamin sosial), orientasi
seksual, dan perilaku seksual. Sehingga dengan begitu, dari setiap pembicaraan
tentang seksualitas; jenis kelamin biologis, jenis kelamin sosial, orientasi seksual,
dan perilaku seksual, mempunyai pengertian dan cakupan yang berbeda. Jenis
kelamin biologis ini yang kemudian melahirkan pola laki-laki dan perempuan,
sedangkan berkaitan dengan identitas gender (jenis kelamin sosial) terbagi
menjadi tiga pola; perempuan dengan identitas feminimnya, laki-laki dengan
identitas maskulinnya, dan transgender dengan identitas keduanya. Dan,
transgender sendiri itu yang kemudian melahirkan; laki-laki keperempuanan
(banci atau waria) dan perempuan kelaki-lakian.
Mendasarkan seksualitas
sebagaimana pengertian di atas, studi tentang perempuan dan komunitas LGBT
adalah bagian terpenting di dalamnya. Pertama,
dalam pespektif gender, perempuan tidak lagi di pandang sebagai objek,
melainkan sebagai subjek sebagaimana laki-laki. Perspektif patriarkhi yang
mengakar kuat dalam budaya masyarakat menjadi penyumbang utama dalam kekeliruan
memandang perempuan (hanya) sebagai objek seksualitas. Dalam budaya patriarkhi,
perempuan, hanya diilustrasikan sebagai wujud manusia (yang hanya) berupa
kecantikan, kemolekan, dan segala hal yang berbau seks-biologis semata. Perempuan,
dalam perspektif gender, menyetara
bersamaan dengan potensi maskulinitas sebagaimana dipunya laki-laki, ia sama-sama
disyukuri (didayagunakan) seperti mensyukuri anugerah fisik perempuan. Cara
pandang seperti ini berimplikasi, bahwa perempuan tidak hanya memiliki potensi
“cantik fisik”, tetapi juga berpotensi “cantik sosial”.
Kedua, dalam perspektif gender,
komunitas LGBT tidak lagi distereotipe, disumpah serapah, dan dimarjinalkan,
hanya karena memiliki orientasi seksual yang berbeda dengan arus utama. Perspektif
patriarkhi, kembali menjadi pemicu memburuknya citra arus utama, terhadap
komunitas LGBT. Dalam budaya patriarkhi, seksualitas selalu dipahami dengan
konteks maskulinitas. Fatalnya lagi, hal demikian berbuntut tidak hanya
distereotipe dengan cara pandang maskulinitas, tetapi juga dikonstruk dengan
cara pandang orientasi seksual hetero, sembari menafikan cara pandang homo atau
lainnya, dengan mutlak. Jadilah, selama berabad lamanya, bangunan seksualitas
di masyarakat dihegemoni oleh orientasi seksual hetero (heteronormavitas). Padahal,
orientasi seksual adalah sebuah anugerah yang alamiah (sunnatullah), ia merupakan kapasitas dan potensi
seseorang—sebagaimana fitrahnya—yang memiliki orientasi tertentu berhubungan
dengan ketertarikan emosi, rasa cinta, sayang, dan hubungan seksual. Berbeda
dengan perilaku seksual, yang merupakan buatan manusia, yang bisa menyimpang
atau tidak.
Melihat akutnya cara pandang,
pemahaman, dan sikap masyarakat arus utama, mendalami persoalan yang menimpa perempuan
dan komunitas LGBT dengan perspektif yang adil gender, menjadi kemestian.
Melalui banyak cara, satu diantara yang penting, adalah melakukan
re-instrospeksi terhadap cara pandang, pemahaman, dan penyikapan kita, dengan
lebih objektif, ilmiah, dan tidak emosional.
Islam
dan Keadilan untuk Perempuan
Sejak Islam turun, dari sifatnya yang melangit ke
sifatnya yang membumi, adalah dalam menegakkan misi utamanya dalam memberantas
segala bentuk ketidakadilan dan ketidaksetaraan, di pelbagai dimensi kehidupan
masyarakat. Satu fenomena yang menjadi agenda besar Islam, melalui Nabi
Muhammad Saw, adalah dalam memberikan pembebasan untuk keadilan dan kesetaraan
terhadap perempuan. Advokasi Nabi Saw, terhadap perempuan bukan sekedar isapan
jempol belaka. Semula, tatkala kelahiran (bayi) perempuan dianggap sebagai
sebuah musibah, lalu kemudian dibunuh hidup-hidup, sejak Islam membumi,
realitasnya berubah. Perempuan, tatkala lahir dihargai dan dihormati oleh
Islam, dengan akikah, sebagaimana lahirnya (bayi) laki-laki pada galibnya. Tak
hanya itu, keberpihakan Islam terhadap perempuan, juga dibuktikan dengan
mendapatnya hak waris, dan pelbagai penghargaan lainnya.
Itu pulalah, yang telah menjadikan Umar bin Khatab,
insaf. Satu pernyataan kata insafnya; “Pada
masa Jahiliyyah kami sama sekali tidak menganggap penting kaum perempuan.
Begitu Islam datang dan Tuhan menyebut mereka, kami baru sadar bahwa ternyata
mereka juga memiliki hak atas kami”. Ya, begitulah, pengakuannya.
Melalui banyak ayat, dalam
al-Qur’an, Islam sesungguhnya begitu memuliakan kedudukan perempuan. Beberapa
diantaranya seperti termaktub dalam QS. ali-‘Imran [3]: 195 tentang proses
penciptaan manusia (laki-laki dan perempuan) yang sama-sama berasal dari jiwa (nafs) yang satu. Dalam QS. al-Baqarah
[2]: 228 tentang kesetaraan dan keseimbangan antara laki-laki (suami) dan
perempuan (istri) dalam menjalin kehidupan secara baik. Juga dalam QS.
al-Taubah [9]: 71 tentang peranannya yang sama dalam kegiatan-kegiatan sosial.
Atau juga seperti termaktub dalam QS. al-Nahl [16]: 97 tentang potensi
laki-laki dan perempuan sebagai pemimpin, perempuan (istri) diberikan
keleluasaan dalam memilih pendapat yang menurutnya benar, betapapun berbeda
dengan laki-laki (suami), dalam QS. al-Tahrim [66]: 11. Begitupun, ayat dalam
QS. al-Taubah [9]: 71 dimana Tuhan betul-betul menghimbau agar perempuan berani
untuk tampil menyampaikan kebenaran, dan masih banyak ayat lainnya.
Meski demikian, fakta
sosiologis, memang rentan mengalami distorsi. Fakta diskrminatif terhadap
perempuan banyak merebak. Meningkatnya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT),
tindak perkosaan dan pelecehan seksual, perdagangan perempuan, domestifikasi
perempuan, dan lain sebagainya mesti di gempur dengan segera. Tak ada jalan
lain, kecuali dengan kembali memahami secara objektif teks-teks keagamaan.
Interpretasi ulang, membenahi cara pandang, membebaskan perempuan, adalah
beberapa cara yang efektif digulirkan. Sehingga, sinergislah antara tuntunan
nilai-nilai agama dan kemanusiaan serta tuntutan harmonisasi kehidupan sosial
masyarakat yang adil dan setara gender.
Islam
dan Keadilan untuk LGBT
Sebagaimana dalam cita-cita keadilannya terhadap
perempuan, Islam, amat akomodatif terhadap komunitas LGBT. Meskipun al-Qur’an
hanya menyebut dua jenis identitas gender; laki-laki dan perempuan, tetapi kemudian
fikih—sebagai salah satu bentuk analisis Islam terhadap pelbagai fenomena
sosial—sedikitnya menyebut empat identitas, yakni laki-laki, perempuan, waria,
dan mukhanits (secara biologis
laki-laki, namun menyenderungkan diri sebagai perempuan, dan menghendaki
pergantian kelamin).
Hal demikian ini, sejak awal harus dipahami sebagai
sebuah bentuk anugerah keragaman Tuhan. Keragaman yang tak hanya dipahami
secara fisik, yang tampak dipelbagai bidang ekonomi, politik, sosial, agama dan
lainnya, tetapi juga termasuk keragaman orientasi seksual yang tak terelakkan. Kalau
kita membaca sumber-sumber literatur keislaman, memang tidak begitu banyak
dijumpai, ulama-ulama yang secara khsusus membedah persoalan ini. Namun
demikian, hal ini juga tidak serta merta dijadikan legitimasi untuk menyumpah
serapah komunitas LGBT.
Biasanya, perbincangan mengenai komunitas LGBT akan cepat
dinisbahkan dengan kaum Nabi Luth As, yang dengan pedih dan mengenaskan
ditimpakan azab oleh Tuhan atas perilaku amoral dan biadabnya. Yang luput di
sebagian banyak umat Islam, dalam memahami ayat ini—beberapa ayat dalam QS.
al-Naml [27]: 54-58; QS. al-‘Araf
[7]: 80-81; Kemudian, QS. Hud [11]: 77-83; QS. al-Syu’ara [26]: 160-175—adalah
ketidakcermatannya dalam meninterpretasi dan mengidentifikasi secara jeli,
substansi ayat-ayat ini.
Kalau saya tarik pada substansinya, beberapa ayat itu,
sebenarnya berbicara tentang kaum Nabi Luth As, yang secara eksplisit
menegaskan umatnya telah berperilaku terlarang, dalam mengekspresikan perilaku
seksual (bukan orientasi seksual), yang ditandai dengan adanya unsur kekerasan,
pemaksaan, aniaya, dan lainnya. Jelas, bahwa ayat-ayat tersebut, sama sekali tak
membahas orientasi seksual sebagai bentuk pelanggaran. Ini terbukti jika azab
pedih itu pun, menimpa istri Nabi Lusth As, yang tak melakukan sodomi atau
lesbian. Dengan begitu, kembali saya
tegaskan, bahwa, beberapa sitiran ayat itu mengecam perilaku seksual yang
menyimpang, bukan mengecam orientasi seksual. Sebab itu, bersikap akomodatif
dan humanis terhadap komunitas LGBT, jelas, merupakan ajaran keadilan dalam Islam.
Penutup
Demikian, konsistensi Islam tentang rahmat keadilannya,
dalam mengemban misi; rahmatan lil’alamin.
Terbukti, bahwa Islam amat akomodatif terhadap siapapun, tak pandang bulu,
termasuk pada khususnya terhadap perempuan dan komunitas LGBT. Semoga, sekarang dan ke depan, pemenuhan hak
tentang keadilan gender terhadap perempuan dan LGBT, semakin baik dan
meningkat. Amin. Wallahu ‘alam bi al-Shawab.
0 komentar:
Post a Comment