Pak, Maaf, Aku Mandul
Istrinya cantik, suaminya
ganteng. Begitulah kenyataan yang melekat pada sosok Pak Deni dan Bu
Ina. Namun begitu, keduanya harus menghela nafas kesabaran, sebab
sampai beberapa tahun ke depan setelah pernikahannya, keduanya masih
belum dikarunia belahan jiwa; anak.
Di situlah keretakan rumah tangga mulai tampak. Pak Deni, kini menjadi sosok suami yang gampang marah dan tempramen. Sedikit-sedikit
gampang marah dan seterusnya. Namun jika dirunut akar persoalannya,
Pak Deni akan cepat mengeneralisir bahwa kemarahannya bersumber karena
istrinya, Bu Ina, belum mampu memberikan keturunan; anak.
Tentu saja Allah menyelipkan hikmah berharga di balik peristiwa ini. Dan
entah, dalam hal ini saya kurang begitu tahu, siapa yang (maaf)
mandul, apakah suami atau istrinya. Tetapi poin subtantifnya menurut
saya bukan pada soal itu.
Karena kalau coba kita maknai kembali tentang arti sebuah pernikahan,
yakinlah bahwa pernikahan itu bukan semata-mata untuk memenuhi
kebutuhan biologis dan memproduksi anak. Lebih hakikat daripada itu,
bahwa pernikahan adalah ikhtiar manusia dalam mengukuhkan cintanya
kepada Tuhan.
Oleh sebab itu, yang jadi tumpuan dalam pernikahan adalah bukan lagi
soal punya anak atau tidak, menikmati hubungan biologis atau tidak, dan
seterusnya. Tetapi dalam hemat saya, bahwa dalam pernikahan yang lebih
urgen adalah soal sifat dan sikap saling mengapresiasi apabila ada
prestasi di antara keduanya. Saling melengkapi dan memaklumi apabila
ada kekurangan di antara keduanya.
Maka, termasuk jika kemudian sepasang suami-istri belum dikaruniai
anak, ini bukan berarti untuk saling menyalahkan, pihak siapa yang
(maaf) mandul, lalu kemudian karena mandul, ia bisa seenaknya menikah
lagi.
Menikah dalam al-Qur’an disebut sebagai suatu perjanjian yang berat.
Sebab itu, persiapan pra-nikah itu amat diutamakan, entah itu persiapan
soal kesehatan, mental, jiwa, dan biaya. Sehingga kalau kemudian ijab
qabul sudah diikrarkan, itu artinya kedua pasangan sudah siap
menanggung resiko apapun ketika suatu saat ada hal yang kurang
mengenakkan.
Kita kembali kepada kisah Pak Deni dan Bu Ina. Alhamdulillah, meskipun
harus menunggu bertahun-tahun dan hidup penuh dengan berbagai macam
tekanan di sana-sini, atas perkenan Tuhan Bu Ina akhirnya bisa
melahirkan anak juga. Dan sekarang sudah punya dua anak; satu putra dan
satu putri.
Tetapi ternyata, kabar baik kelahiran hamil pertama, tak begitu
dihiraukan Pak Deni. Ia malah terus gila dengan kebiasaan buruknya;
sering kali pulang malam, judi, tak memberi nafkah pada istrinya,
bahkan sampai tega menjual perabot rumah tangga segala hanya untuk
memenuhi kebutuhan nafsunya itu.
Sementara di saat yang sama, Bu Ina yang kini harus menghidupi kedua
anaknya, membutuhkan biaya yang tidak kecil. Makanya, ia ke sana kemari
mencari kerja, karena suaminya tak bisa lagi diandalkan. Demikian
seterusnya.
Dari kisah ini, paling tidak kita bisa memetik pelajaran bahwa apapun
yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga, hendaknya dihadapi dengan
terbuka, ikhlas, dan sabar. Termasuk dalam persoalan belum dikaruniai
anak, jangan terlalu cepat menyalahkan satu pihak. Yang ada justru
harus saling memotivasi, saling menguatkan untuk semakin memperbaiki
kualitas hidup.
Kemudian, kesabaran Bu Ina adalah bentuk kesabaran yang luar biasa, dan
oleh sebab itu, mudah-mudahan sabarnya itu berbuah tegar dan taubat
nasuha bagi suaminya, sehingga rumah tangganya berangsur membaik dan
harmonis. Aamiin. :)
0 komentar:
Post a Comment