Home » » Ziyah, Perempuan Sederhana

Ziyah, Perempuan Sederhana

Ziyah, Perempuan Sederhana

Rumahnya memang tidak terlalu mewah, namun cukuplah untuk sekedar tempat berteduh ia dan keluarganya dari sengatan matahari dan guyuran hujan. Ukuran rumahnya pun tidak besar dan mewah, jauuuh dibanding dengan rumah-rumah para koruptor yang besar dan mewah itu.

Rumah itu punya kenangan yang indah, rumah tersebut ia bangun bersama suaminya dari hidup bermodalkan kesederhanaan. Sebut saja Ziyah, putri ke 4 dari 6 bersaudara. Ayah dan Ibunya mendidiknya dengan tegas dengan segala keterbatasan alias elit; ekonomi sulit, hehe.

Ziyah tumbuh menjadi remaja yang terus tumbuh dewasa. Dan tibalah hari dimana ia akan segera melangsungkan pernikahan. Dalam bagian ini, saya kurang tahu percis apakah pernikahan ini wujud hati nuraninya atau dinikahkan atas inisiasi dua belah pihak orang tua.

Lepas dari itu, Ziyah akhirnya menikah dengan Wahyu, seorang jejaka di desanya yang kondisi ekonominya masih jauh dari mapan. Mungkin, pernikahan saat itu hanya bermodalkan niat tulus dan restu orang tua. Bertemulah keduanya di pelaminan dan mulai membangun biduk rumah tangga.

Wahyu hanya seorang pekerja serabutan di ibu kota sebagai kuli. Kalau nasibnya sedang bagus, ia jadi mandor, tetapi kebanyakan nasibnya biasa-biasa saja, inilah yang kemudian juga menjadikan Wahyu sebagai kuli biasa. Awalnya, Ziyah dan Wahyu masih menumpang hidup di rumah orang tua Ziyah. Tetapi atas kegigihan Ziyah sebagai seorang istri, kehidupannya semakin membaik dari sebelumnya.

Di saat yang sama, Wahyu adalah sesosok suami (lelaki) yang terbiasa hidup dengan kemanjaan. Wajar atau tidak, Wahyu memang menjadi anak semata wayang yang hidupnya ingin serba enak, makan enak, dan segala enak. Kebiasaan inilah yang juga membuat Ziyah, sang istri; gerah.

Karakter Ziyah sebagai perempuan (istri) yang sederhana, pantang menyerah, dan punya keyakinan kuat untuk berbuah adalah hal paling mengesankan dari seorang Ziyah. Lambat laun, Ziyah mulai membujuk suaminya agar bisa mengubah pola hidupnya dari yang serba enak ke sederhana. Alhamdulillah, dengan karakter Ziyah yang ikhlas dan qanaah, ia berhasil membuat suaminya berubah menjadi sosok yang sederhana.

Padahal bisa saja, itikad baik Ziyah akan berbuah malapetaka jikalau saat itu Wahyu (suaminya) menolak bujukan Ziyah. Tetapi sekali lagi, alhamdulillah, kekhawatiran itu tak terjadi. Karena Ziyah punya cara khas, agar pesan sederhananya tersampaikan dengan baik dan bijak.

Salah satu bukti bahwa Wahyu kebiasaannya berubah, adalah banyak kabar dari para tetangga rumah, bahwa Wahyu adalah selain pekerja keras, juga sederhana. Misal dalam urusan makan sehari-hari, Wahyu kini menjadi sosok lelaki yang apa adanya, makan dengan lauk-pauk yang biasa, tidak seperti kebanyakan para pekerja kuli lain, yang makan dengan mewah, apalagi selepas gajian.

Rumah yang kini ia tinggali, adalah hasil jerih payah kecerdikan Ziyah dalam mengelola keuangan. Hasil gajian suami, ia biasa membagi untuk membayar hutang, kebutuhan keluarga, dan ditabung. Ya, Ziyah harus memprioritaskan uang gaji suaminya untuk membayar hutang, baru kemudian membeli kebutuhan sehari-hari, dan kalau masih ada sisa, ia tabungkan.

Atas keyakinan dan do’a yang kuat, Allah menganugerahkan Ziyah dan Wahyu untuk membeli sebidang tanah sekaligus membangun rumah. Alhamdulillah, terbangunlah sebuah rumah sederhana itu. Tetapi entah kenapa, para tetangga banyak yang tidak senang dengan kehidupan Ziyah sekarang. Bahkan banyak para tetangga yang meng-ghibah bahwa Ziyah dan suaminya mampu berhasil membangun rumah adalah dengan cara yang tidak halal; ‘nyupang’.

Mendapati kenyataan itu, Ziyah dan suaminya hanya tawakal; menyerahkan semua kebaikan hidupnya kepada Allah. Agar Allah berkenan membukakan pintu kebenaran yang sesungguhnya. Singkat kisah, alhamdulillah Allah kembali memberikan cahaya hidayah.
Dan kini, keduanya sudah dikarunia 3 anak dengan kondisi keluarga yang sederhana dan bahagia. Wahyu, yang semua menjadi pemuda yang tak pernah giat melakukan shalat lima waktu dan mengaji al-Qur’an, kini menjadi sosok pembelajar. Bahkan, Wahyu tak segan untuk belajar dari anak-anaknya untuk bisa belajar shalat dan mengaji. Sama sekali tidak malu apalagi gengsi.

Sebetulnya, kisahnya masih ada, tetapi saya cukupkan di sini karena saya anggap sudah sampai pada substansi yakni mengenai bagaimana membangun prinsip ‘saling’; saling menyayangi, saling melengkapi, saling memberi arti, dan seterusnya.

Demikian sosok Wahyu yang awalnya pemuda yang tak pernah mengenal shalat dan mengaji, kini menjadi pembelajar sejati untuk mengubah kualitas menuju kualitas baiknya. Tak kalah luar biasa, sosok Ziyah sebagai istri, mendapati suami dengan segala keterbatasan yang kompleks, tidak malah membuat Ziyah menyerah dan frustasi. Ia justru mampu membangun kehidupan yang lebih baik, berhasil mengubah kebiasaan suami dan karakter keluarga pada umumnya.

Wahyu menjadi sosok suami yang tidak pernah gengsi melakukan pekerjaan rumah tangga seperti mencuci piring, ngepel, nyapu halaman, dan lainnya. Dan di saat yang sama istrinya memosisikan dirinya sebagai pihak yang juga tetap menghargai suami. Dari keduanya terbangun sikap saling menghargai.

Beginilah kiranya, kita dapat memetik hikmah dan pelajaran dari kisah ini, bahwa keluarga dan urusan rumah tangga itu menjadi tanggung jawab suami dan istri. Satu sama lain saling melengkapi. Ikhlas akan apapun yang terjadi terutama akan kekurangan satu sama lain.

Dan yang lebih penting adalah membangun komunikasi yang baik. Ada kebaikan, apalagi kekurangan cepat segera dikomunikasikan. Dari komunikasilah akan timbul sikap keterbukaan. Keterbukaan yang jujur dan apa adanya. Urusan rumah tangga tidak jadi tugas mutlak istri. Mencari nafkah pun tidak mutlak menjadi tugas suami. Keduanya mengurus rumah tangga, mendidik anak, dan mencari nafkah.

Ini satu bukti nyata, bahwa teori untuk berkehidupan rumah tangga yang tentram adalah bisa teraplikasi. Ini juga bukti adanya kekuatan mimpi, aksi, dan ilahi. Semoga kita termasuk sosok-sosok yang demikian. Aamiin. :)

0 komentar:

Post a Comment