Tak Ada Politik Tanpa Moralitas
Politik sebagai salah satu elemen penting dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, ternyata realitasnya di Indonesia masih jauh
dari apa yang diharapkan. Alih-alih didukung oleh terbukanya kran reformasi dan
demokrasi, dinamika politik Indonesia sampai saat ini masih merangkak, bahkan
cenderung terpuruk dan tak jelas arah. Ini bukti nyata bahwa praktik politik
demokrasi di negeri ini hanya isapan jempol dan telah kehilangan jati dirinya.
Mengapa demikian? Ini tidak lain karena politik telah
dijadikan sebagai alat oportunisme dan pragmatisme belaka. Maka yang ada
hanyalah, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang tak pernah berujung dan
berkesudahan. Politik uang (money politic)
menjadi cara praktis guna membeli (membodohi) simpati rakyat. Politik dijadikan ladang mata
pencaharian dan menumpuk kekayaan. Dan perilaku busuk lain sejenisnya.
Realitas politik tersebut sungguh memprihatinkan, maka
di saat yang sama, jangan mimpi jika permasalahan sosial masyarakat tentang
kemiskinan, pengangguran, dan lain-lain akan terpecahkan. Dan jika hal
itu terus dipertahankan, maka disintegrasi bangsa adalah konsekuensi paling
logis dari realitas politik yang memprihatinkan itu. Na’udzubillah.
Tak Ada Politik Tanpa
Moralitas
Jika kita telusuri
akar permasalahan dari semua itu, adalah absennya moralitas dari dimensi politik dalam kehidupan. Padahal moralitas adalah esensi
dari kehidupan itu sendiri. Maka, tak ada politik tanpa moralitas. Dan ini-lah
yang terjadi di Indonesia dewasa ini, dimana baik elit politik maupun perilakunya
sama sekali tidak bersendikan moralitas.
Berkenaan dengan
ini, Prof. Dr. KH. Said Aqiel Siradj (Ketua Umum PBNU) mengatakan, bahwa
moralitas merupakan sesuatu yang dilakukan bukan diucapkan, tindakan bukan
tulisan, pelaksanaan bukan kekuasaan, pengalaman bukan hafalan, kenyataan bukan
penataran, kata hati bukan diskusi, esensi bukan teori, realitas bukan
identitas, afektif bukan kognitif, aplikatif bukan normatif, amaliyah bukan
ilmiyyah, dan seterusnya.
Oleh karena itu,
jika kita ingin keluar dari arus destruktif politik tersebut, maka kesadaran
akan perbaikan moralitas politik merupakan satu solusi yang tidak dapat ditawar-tawar.
Kesadaran akan moralitas politik tersebut sekurang-kurangnya harus berlandaskan
pada dua pijakan berikut ini. Pertama,
tentang kedudukan penguasa Negara. Sejurus dengan ini Imam Sya’fi’i (w. 204 H)
mengatakan “Manzilat al-Imam min
al-Ra’iyyah, manzilat al-Waliy ‘ala al-Yatim” (kedudukan penguasa
Negara—presiden, raja, perdana menteri) atas rakyat adalah sebagaimana
kedudukan wali atas anak yatim. Para elit politik negeri ini mesti sadar bahwa
jabatan politik yang sedang ia emban adalah bukan hibah apalagi kebanggaan,
tetapi justru amanat yang berat untuk menyejahterakan rakyat. Sebab itu,
kekuasaan tertinggi hakikatnya ada di tangan rakyat bukan presiden atau elit
politik lainnya.
Kedua, tentang kemaslahatan rakyat. Prinsip ini mengacu pada kaidah fikih “Tasharruf al-Imam ‘ala al-Ra’iyyah, manuthun bi al-Maslahah” (kebijakan penguasa Negara atas rakyat mesti mengedepankan kemaslahatan). Kaidah ini adalah cambuk pedas bagi penguasa Negara dan elit politik lainnya yang gemar memanipulasi kepentingan, yakni memenuhi kepentingan pribadi dan kelompok yang mengatasnamakan kepentingan rakyat.
Walhasil, kedua prinsip di atas-lah yang akan mengokohkan bangunan moralitas politik dimana kejujuran dan amanah menjadi tumpuan dalam menjalankan tugas dan mebelanjakan anggaran, sebagaimana digambarkan dalam QS. al-Mu’minun [23]: 8, adanya prinsip keadilan dalam mengeluarkan kebijakan, sebagaimana digambarkan dalam QS. Shad [38]: 26, adanya prinsip musyawarah dalam memutuskan segala kebijakan, sebagaimana digambarkan dalam QS. Ali-‘Imran [3]: 159, dan adanya prinsip tidak memonopoli dan status quo kekayaan Negara, sebagaimana digambarkan dalam QS. al-Hasyr [59]: 7.
Kedua, tentang kemaslahatan rakyat. Prinsip ini mengacu pada kaidah fikih “Tasharruf al-Imam ‘ala al-Ra’iyyah, manuthun bi al-Maslahah” (kebijakan penguasa Negara atas rakyat mesti mengedepankan kemaslahatan). Kaidah ini adalah cambuk pedas bagi penguasa Negara dan elit politik lainnya yang gemar memanipulasi kepentingan, yakni memenuhi kepentingan pribadi dan kelompok yang mengatasnamakan kepentingan rakyat.
Walhasil, kedua prinsip di atas-lah yang akan mengokohkan bangunan moralitas politik dimana kejujuran dan amanah menjadi tumpuan dalam menjalankan tugas dan mebelanjakan anggaran, sebagaimana digambarkan dalam QS. al-Mu’minun [23]: 8, adanya prinsip keadilan dalam mengeluarkan kebijakan, sebagaimana digambarkan dalam QS. Shad [38]: 26, adanya prinsip musyawarah dalam memutuskan segala kebijakan, sebagaimana digambarkan dalam QS. Ali-‘Imran [3]: 159, dan adanya prinsip tidak memonopoli dan status quo kekayaan Negara, sebagaimana digambarkan dalam QS. al-Hasyr [59]: 7.
Kemaslahatan dalam Demokrasi
Tatkala tak ada
politik tanpa moralitas, maka—begitu juga berlaku—tak ada demokrasi tanpa
moralitas. Karena demokrasi sejatinya sistem politik yang hendak memberikan
kebebasan dan keadilan kepada rakyatnya di atas kemajemukan sosial. Sementara
demokrasi hanya bisa tegak jika bersendikan moralitas. Dan teguhnya Indonesia mengadopsi
sistem demokrasi,
sebab ia berada dalam posisi itu; mendambakan kebebasan dan keadilan di atas
kemajemukan sosial, meskipun masih kering cipratan moralitas.
Dengan demikian, tolak
ukur kemaslahatan demokrasi dalam perspektif Islam itu dapat terbangun berdasarkan
kulliyat al-Khamsh (lima prinsip
universal). Pertama, hifdh al-Din (menjamin kebebasan
beragama). Kedua, hifdh al-Nafs (menjamin keberlangsungan
hidup). Ketiga, hifdh al-Aql (menjamin kreativitas berpikir-berpendapat). Keempat, hifdh al-Mal (menjamin kepemilikan harta-properti), dan kelima, hifdh al-Nasl wa al-‘Irdl (menjamin keberlangsungan keturunan dan
profesi).
Kelima prinsip
universal itulah yang telah mengantarkan kejayaan Nabi Muhammad Saw ketika
memimpin Madinah sebagai prototype Negara-bangsa yang demokratis dan
menjunjung tinggi moralitas politik. Kejayaan Nabi dengan piagam Madinah-nya itu
dapat kita baca misalnya dalam karya Zuhairi Misrawi yang bertitel Madinah: Kota Zuci, Piagam Madinah, dan
Teladan Muhammad Saw (2009). Zuhairi Misrawi mengatakan bahwa, piagam
tersebut mengukuhkan karakter politik yang bersifat demokratis dan menolak
macam tindakan otoriter dalam politik. Konstitusi yang dicanangkan Madinah
secara nyata menegaskan komitmen Nabi agar urusan sosial-politik di bangun di
atas prinsip musyawarah di antara berbagai kelompok agama dan kabilah di
Madinah.
Akhirnya, saya tetap
optimis jika kita, Indonesia, akan mampu membangun kembali kejayaan bangsa dengan kekuatan empat pilar
kebangsaan (Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika) dan moralitas
politik, sebagaimana Nabi membangun kejayaan bangsanya dengan Piagam Madinah. Politik yang dibangun di atas pundi moralitas. Semoga. Wallahu’alam bi
al-Shawab. []
0 komentar:
Post a Comment