Dari
Jalan Mudik Menuju Jalan Kematian
Jalaluddin
Rumi mengibaratkan manusia sebagai bilah-bilah seruling bambu yang tercerabut
dari rumpunnya. Dalam perjalanannya kemudian, setiap kali ditiup, seruling itu
akan melantunkan nyanyian kedukaan. Ia rindu untuk kembali ke rumpun bambunya. Tak
ubahnya dengan manusia. Pada fitrahnya, manusia selalu dirundung kerinduan
untuk kembali ke tempat asalnya; untuk pulang ke rerumpunan bambunya.
Analogi ini
menarik untuk kita renungkan bersama. Termasuk untuk saat ini, ketika Ramadhan
sudah dalam stadium terakhir, lebaran tinggal menghitung hari, dan terutama
karena ada hal yang tak terpisahkan yakni tradisi mudik atau pulang kampung.
Pencerahan
dari Jalaluddin Rumi di atas mengindikasikan bahwa pada hakikatnya manusia akan
kembali ke asalnya. Dalam konteks tradisi mudik, merupakan naluri alamiah dan
fitrah manusia untuk bersua kembali ke kampung halaman yang telah sekian lama ditinggalkan.
Menempuh
jarak yang begitu panjang dan lama pun tak dihiraukan. Macet dan rawan
kecelakaan, dua hal yang selalu mudah kita jumpai saat musim mudik menjelang
hari lebaran. Ya, mudik juga selalu memberi kesan ramai dan menegangkan. Ramai
karena seantero orang pulang kampung dalam tempo waktu yang hampir bersamaan. Menegangkan, karena begitu rawan kecelakaan.
Saya
berpendapat bahwa mudik adalah tradisi yang baik, selama ia tidak banyak memuat
kemadharatan. Tetapi persoalannya memang tradisi mudik di tanah air tidak
ditunjang dengan sarana dan prasarana yang representatif. Salah satu yang
paling signifikan adalah kondisi jalan raya dan rambu-rambu lalu lintas yang
memadai. Jalan raya yang nyaman dilewati oleh para pemudik begitu sulit
ditemukan. Karenanya, harapan tinggal harapan, proyek perbaikan jalan, terutama
di sepanjang jalur pantura (pantai utara), dari tahun ke tahun tampak tak
terlihat berkesudahan. Di sana sini jalan berlubang, pengaturan lalu lintas
terlihat dadakan, dan rambu-rambu lalu lintas pun menjadi tak karuan. Pihak PU
selalu saja seperti dibuat repot dan sibuk menjelang Ramadhan tiba, sampai
menjelang lebaran, tetapi akhirnya perbaikan jalan tak pernah usai.
Jadi,
tingginya angka kecelakaan, tidak melulu akibat kelalaian para pengendara,
tetapi lebih karena kondisi jalan raya dan rambu-rambu lalu lintasnya yang sangat
memprihatinkan.
Begitu juga
saya yakini bahwa antusiasme masyarakat Indonesia untuk berpulang kampung
adalah satu kebaikan, karena niat dan itikadnya adalah kembali ke kampung
halaman, untuk kembali menyambung tali silaturahmi dengan keluarga dan sanak
saudara. Lebih dari itu juga meskipun hal ini harus dibayar mahal dengan
mengorbankan waktu, kelelahan, kemacetan berhari-hari, sampai mempertaruhkan
nyawa.
Berawal dari
rawannnya kecelakaan saat mudik, kalau coba kita renungkan makna mudik adalah
selain pulang ke kampung halaman, adalah juga pulang ke kampung akhirat, ke
tempat peristirahatan terakhir, hunian abadi manusia, yakni menghadap
keharibaan-Nya.
Itulah makna
lain dari tradisi mudik. Karena kita hidup akan jumpa mati. Karena setiap yang
bernyawa pasti akan mati. Allah Swt., dalam QS. al-Imran [3]: 158 mengatakan: “Tiap-tiap yang bernyawa akan merasakan mati,
dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahala kalian”.
Kecelakaan
yang bisa menyebabkan kematian saat mudik, itu hanya salah satu cara Allah
menjemput ajal manusia. Sehingga kalau kita sadari, cepat atau lambat kita
semua pasti mati. Hanya saja dari tradisi mudik ada kesan yang lebih membekas
betapa keselamatan akan kecelakaan itu lebih dari segalanya. Maka, hidup dalam
kehati-hatian sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, tidak hanya saat
berkendara mudik.
Mengutip
pendapat Komaruddin Hidayat dalam bukunya Psikologi
Kematian (2005), ia mengatakan bahwa kematian adalah sebuah keniscayaan
yang mengakhiri untuk selamanya desah napas dan langkah hidup seseorang.
Kematian mendesakan sebuah pertanyaan dan kesadaran baru akan sebuah misteri
agung eksistensi manusia. Ia ibarat lampu kecil di tengah malam yang pekat.
Manusia bagaikan laron yang datang mendekati sebersit cahaya lampu di malam
yang gelap tak bertepi. Lalu menggelepar-gelepar. Ada yang mati lunglai
kepanasan, dan ada lagi yang menerobos gelapnya malam, entah kemana.
Oleh sebab
itu, kita, manusia, tak perlu khawatir apalagi takut dengan kematian. Karena
ia, akan datang sekalipun kita tak mengundang. Tugas kita hanyalah mengisi
hidup di dunia yang sementara ini dengan penuh makna dan kontribusi yang
bermanfaat. Termasuk salah satunya—memaknai hidup; silaturahmi—dengan mengorbankan
segala sesuatunya demi pulang mudik ke kampung halaman.
Selama
tradisi mudik dijalankan demi memelihara persaudaraan, berbagi kebahagiaan,
pengalaman, dan nostalgia kehidupan. Semoga Allah berkenan menyelamatkan kita semua
dari segala mara bahaya. Terutama bagi para pemudik hingga sampai ke tempat
tujuan dengan senyum kebahagiaan. Karena Rasulullah Saw bersabda, “Barang siapa yang ingin dipanjangkan usianya
dan diluaskan rezekinya, siapa yang ingin berbahagia karena dibanyakkan
rezekinya dan dipanjangkan usianya, hendaklah ia sering menyambungkan
persaudaraan.”
Demikian,
mempererat silaturahmi adalah ajaran Islam yang mulia. Ajaran yang memberikan
hikmah luar biasa. Tetapi juga harus dicatat bahwa, silaturahmi bukan untuk
memerkan segala harta kekayaan, menyombongkan diri, bukan pula pertemuan yang
membawa keresahan dan kebencian sosial. Apalagi dibarengi dengan kebiasaan
hidup hedonis dan konsumerisme.
Silaturahmi
yang dimaksud adalah silaturahmi berbasiskan ihsan. Yakni silaturahmi yang mempererat bukan malah menjauhkan.
Menyambung bukan memutuskan. Ciri dari silaturahmi yang selaras dengan tuntunan
Islam adalah silaturahmi yang didekasikan untuk berkhidmat kepada sesama.
Selain itu juga, silaturahmi yang mengandung rasa cinta yang mendalam. Silaturahmi
yang tidak mengandung unsur keburukan seperti memamerkan kekayaan, menggunjing
sesama, dan menyebarkan aib seseorang.
Akhirnya, innalillahi wa inna ilaihi raji’un,
sesungguhnya hanya karena Allah dan Allah adalah tempat terbaik untuk kembali. Semoga
Allah memberikan keselamatan dan umur panjang kepada kita. Sehingga hari
kemenangan yang sedang kita nantikan dapat dinikmati sambil berkumpul dengan
sanak saudara penuh kebahagiaan. Hingga akhirnya nanti kalau ajal menjemput,
semoga kita termasuk hamba-Nya yang husnul
khatimah. Aamiin. Wallahu a’lam bi
al-Shawab. []
0 komentar:
Post a Comment