Home » » Akhlak dalam Memaknai Lailatul Qadar

Akhlak dalam Memaknai Lailatul Qadar



Akhlak dalam Memaknai Lailatul Qadar

Satu di antara banyak nikmat yang agung dan tentu saja sedang kita nanti berkahnya adalah menemukan malam istimewa, malam seribu bulan, malam Lailatul Qadar. Maka, menjadi penting  jika di separuh bulan Ramadhan yang tersisa ini, kita terus konsisten dalam meningkatkan kuantitas dan kualitas akhlak; ibadah dan amal shalih kita.
Konon, Rasulullah Saw dirundung rasa sedih yang kentara, ketika meratapi bahwa usia hidup diri dan umatnya akan lebih pendek ketimbang Nabi-nabi lain dan umat-umat terdahulu.  Dan nyatanya, kita ketahui bersama bahwa Nabi Muhammad Saw., wafat ketika berusia 63 tahun.
Sebut saja misalkan Nabi Adam As yang berumur hingga 2000 tahun. Nabi Nuh As berusia 950 tahun dan lainnya. Bersedihnya Rasul akan hal ini bukan tanpa alasan, beliau merasa iri dengan umat-umat terdahulu karena mustahil jika beliau dan umatnya dapat menandingi kuantitas ibadah serta amal shalih umat-umat terdahulu itu.
Atas dasar itulah, Allah Swt memberikan kado istimewa kepada Rasul dan umatnya, yakni dengan menganugerahkan malam istimewa Lailatul Qadar tiap bulan Ramadhan tiba.
Riwayat lain menyebutkan bahwa, satu ketika Rasulullah Saw bercerita kepada para sahabatnya. Beliau mengisahkan tentang seorang yang sangat shalih dari kalangan Bani Israel. Dia telah menghabiskan waktu selama 1000 bulan untuk berjihad—beribadah dan beramal shalih dengan sungguh-sungguh—di jalan Allah. Menyimak kisah nyata ini, para shahabat Rasul merasa iri. Terhadap hal ini, Allah Swt mengaruniakan kepada para shahabat, Lailatul Qadar sebagai kompensasi istimewa yang pahalanya setara dengan beribadah selama 1000 bulan tersebut.
Atau pada riwayat lain juga dikatakan, bahwa Rasulullah Saw pernah menyebutkan empat nama Nabi dari Bani Israel, yang masing-masing dari keempat orang tersebut telah menghabiskan waktu selama 80 tahun untuk beribadah dan beramal shalih di jalan Allah tanpa pernah berpaling dari-Nya sebentar pun. Keempat orang shalih itu di antaranya Nabi Ayyub As, Nabi Zakariyya As, Nabi Hizkiel As, dan Nabi Yusya’ As. Mendengar hal ini, para shahabat Rasul merasa takjub dan iri. Lalu malaikat Jibril turun ke bumi untuk mewahyukan surat al-Qadar, sebagai “bonus” istimewa dari Allah Swt kepada Rasulullah Saw dan umatnya ketika menjelang stadium akhir bulan Ramadhan.
Dari beberapa riwayat di atas, secara sederhana, dapat kita tarik kesimpulan bahwa Lailatul Qadar ini memiliki makna apabila ada seseorang yang memperoleh kesempatan beribadah dalam sepuluh malam terakhir pada bulan Ramadhan dengan penuh khusyuk dan ikhlas, dan ia menemukan Lailatul Qadar maka ia akan mendapatkan pahala dan keberkahan yang sepadan dengan beribadah selama 1000 bulan, atau beribadah selama 83 tahun 4 bulan, atau bahkan lebih.
Lalu pertanyaannya, bagaimana akhlak kita dalam menyikapi Lailatul Qadar?. Ada satu fakta ironis yang kerap tak disadari oleh kita sendiri, yakni ketika di stadium awal Ramadhan geliat menyambut Ramadhan begitu gegap, ditandai dengan penuhnya masjid oleh jamaah, tadarus al-Qur’an, dan lain sebagainya. Akan tetapi seriring waktu berlalu, pada stadium kedua, ketiga, dan akhir Ramadhan, kuantitas dan kualitas beribadah semakin melemah. Entah karena sibuk dengan persiapan menyambut Idul Fitri—membeli baju lebaran dan lain sebagainya—maupun disibukkan persiapan mudik ke daerahnya masing-masing.
Padahal, tiada malam yang mendapat sebutan indah dari Allah kecuali Lailatul Qadar, malam yang kebaikannya melebihi seribu bulan (QS. Al-Qadar [97]: 1-5). “Carilah dia (Lailatul Qadar)”, demikian Nabi pernah bersabda, “Di sepuluh terakhir di bulan Ramadhan pada hitungan ganjil”. (HR. Bukhari Muslim). Pada suatu riwayat, dikatakan bahwa Lailatul Qadar jatuh pada malam ke 27 Ramadhan. Meskipun begitu, pada ghalib-nya, para ulama berselisih pendapat tentang kapan kepastian Lailatul Qadar.
Lailatul Qadar sendiri, sedikitnya ia memiliki tiga arti. Pertama, penetapan. Bahwa Allah Swt akan menetapkan perjalanan hidup manusia, di malam ini. Kedua, kemuliaan. Bahwa di malam ini adalah malam yang mulia dan penuh kemuliaan, salah satu indikasinya adalah malam dimana al-Qur’an diturunkan. Dan ketiga, sempit. Bahwa dengan waktu yang relatif sempit malaikat turun membawa berkah ke bumi di malam ini.
Lepas dari itu, kita harus tetap berdo’a dan beriktiar untuk segegap mungkin dapat menemukan Lailatul Qadar, sedari stadium awal hingga akhir bulan Ramadhan. Menemu atau tidaknya, itu sebetulnya bukan persoalan, yang terpenting adalah bagaimana kita tetap ber-istiqamah untuk tawakal dan komitmen agar kualitas akhlak, ibadah dan amal shalih kita kepada Allah (habl minallah) dan kepada sesama manusia (habl min al-Nas), semakin meningkat dan baik. Maka sungguh sangat ironis, jika ada seseorang yang mengaku telah menemu Lailatul Qadar, tetapi di saat yang sama tidak berbanding lurus dengan kualitas akhlak, ibadah, dan amal shalihnya.
Dengan kata lain, anugerah Lailatul Qadar ini, tak berarti membuat kita seakan gelap pikir dan hati untuk memporsir segala sesuatunya. Misalkan, karena terpedaya oleh kemuliaan Lailatul Qadar seseorang memperbanyak kuantitas ibadah sedari terbit pagi hingga terbenam malam dan di saat yang sama meminggirkan kepentingan-kepentingan dunia—keluarga dan masyarakat—yang bermanfaat lainnya. Saya kira tak seperti itu. Pemenuhan tentang kebutuhan duniawi dan ukhrawi tetap harus dipenuhi secara proporsional dan seimbang. Begitu pun, sebagaimana tak diperkenankan ketika kita tergelapkan oleh semuanya dunia.
Mari kita bersama-sama berdo’a kepada Allah Swt, semoga kita termasuk hamba-Nya yang beruntung, sebagai hamba yang mudah-mudahan dipertemukan dengan mulianya Lailatul Qadar. Karena, siapalah yang tahu di tahun yang akan datang, kita bisa menemukan Ramadhan kembali. Apalagi menemu Lailatul Qadar.
Adapun menjalani hidup dengan penuh akhlak al-karimah harus tetap menjadi prioritas tanpa mengenal tempat dan waktu. Artinya, dimanapun dan  kapapun kita berada, mesti berakhlakul karimah. Yakni dengan tetap menjalin hubungan baik dengan siapapun, bermurah senyum, bertutur lembut, berbaik hati dengan tetangga, saling hormat menghormati, tidak sombong, menjauh dari sikap kikir, tetap rendah hati, dan lain sebagainya. Wallahu a'lam bi al-Shawab.

0 komentar:

Post a Comment