Nuzulul Qur’an, Permenungan, dan
Perempuan
Salah satu kebiasaan
Nabi Muhammad Saw., adalah ber-tahannuts (betapa) di Gua Hira’. Apalagi
saat datang bulan Ramadhan, kebiasaan bertapa ini semakin giat dan rutin
dilakukan oleh Nabi Saw.
Ada keterkaitan antara
kebiasaan bertapa Nabi, bulan Ramadhan, nuzulul Qur’an, dan realitas sosial
masyarakat Arab saat itu. Berkenaan dengan proses turunnya al-Qur’an, saya
ingin terlebih dahulu memaparkan seluk beluk masyarakat Arab saat itu dengan
konteks makna Ramadhan. Sebagaimana kita tahu, kondisi geografis masyarakat
Arab adalah padang pasir. Gersang dan panas terik.
Demikian juga kalau
kita telusuri makna dari terma ‘Ramadhan’, ia berasal dari kata ‘Ramadha’ yang
berarti memanaskan atau memanggang. Turunan katanya ‘Ramdla’ yang berarti
memanaskan, memanggang, atau kondisi yang amat terik. Maka, keduanya—masyarakat
dan bulan Ramadhan—begitu identik dengan kata ‘panas’.
Maka, saat bulan
Ramadhan tiba, masyarakat Arab akan cenderung mengurung diri di dalam rumah,
lantaran cuaca di luar amat panas lebih dari biasanya. Jadilah mereka kemudian
malas untuk beraktivitas ke luar rumah. Termasuk menjalankan aktivitas bertapa.
Bagi orang-orang tertentu, salah satunya Nabi Saw., bertapa menjadi pilihan
utama, selain untuk beribadah, bertapa juga dapat bermanfaat sebagai momen
permenungan diri.
Seperti biasa, Nabi Saw
tetap menunaikan kebiasaannya, bertapa. Saat itu memang bertepatan dengan bulan
Ramadhan. Saat Nabi Saw terlarut dalam kekhusyu-annya, Malaikat Jibril turun
dari langit menengok Nabi Saw sembari membawa amanat dari Allah, yakni membawa
wahyu pertama. Peristiwa ini terjadi pada hari ke-17 bulan Ramadhan, dan tentu
lain dari biasanya, karena sebelumnya tak pernah terjadi sama sekali.
Sepeninggal Malaikat
Jibril, Nabi Saw., lalu pulang ke rumah dengan raut wajah yang pucat, dingin,
takut, dan menggigil ketir seperti kedinginan. Sontak Nabi Saw berkata kepada
Khadijah, istrinya: “Cepat, selimuti aku, selimuti aku!”, tuturnya dengan
sedikit terbata-bata.
Singkatnya, setelah
Nabi Saw menceritakan tentang apa yang dialaminya barusan, Khadijah tak tampak
panik apalagi ketakutan. Ia tampak tenang dan penuh simpati, “Allah Swt telah
melindungi kita, wahai Abu Qasim. Berbahagialah, hai anak paman, dan
kukuhkanlah kalbumu! Demi Dzat yang jiwa Khadijah berada dalam kekuasaan-Nya,
sesungguhnya aku berharap engkaulah yang akan menjadi Nabi bagi umat ini. Demi
Allah, Dia tak akan menghinakanmu selamanya, karena engkau selalu mempererat
silaturahim, bertutur baik, memikul derita orang lain, menghormati tamu, dan
senantiasa menolong mengurangi beban musibah orang lain di jalan yang benar”, ujarnya
kepada Nabi Saw.
Selanjutnya, kepada
Waraqah bin Naufal, Khadijah bercerita, dan seterusnya ia selalu setia,
menyejukkan hati dan mendampingi Nabi Saw dalam mendakwahkan Islam ke tengah
umatnya yang rentan menghadapi ejekan, hinaan, dan kekejaman.
Dan perlu diketahui
juga bahwa realitas sosial masyarakat Arab saat itu, berada dalam kondisi
carut-marut di berbagai lini kehidupan. Banyak orang yang berlaku
sewenang-sewenang dan berbuat kezaliman. Terutama para elit Quraisy begitu
mudah bertindak zalim kepada orang-orang lemah. Demikian maka, setidaknya kita
dapat memetik pelajaran dari peristiwa nuzulul Qur’an, bulan Ramadhan,
dan realitas carut-marut masyarakat Arab saat itu. Berikut ini.
Ikhtiar Permenungan
Bertapa (tahannuts)
atau berkontemplasi yang dilakukan oleh Nabi adalah salah satu ikhtiar efektif
yang mesti diteladani, terutama, ketika kita sedang dihadapkan pada sejumlah
kerumitan dan kegalauan diri dan masyarakat yang carut-marut. Karena itulah,
Nabi rutin ber-tahannuts, berkontemplasi, bermunajat kepada Allah untuk
memohon petunjuk dan pencerahannya atas diri dan kebodohan umat.
Sejak saat itulah,
Allah benar-benar mengabulkan permenungan diri dan ibadah Nabi yang sudah sejak
lama dilakukan. Allah memberikan pencerahan dengan menurunkan wahyu-Nya yang
pertama kepada Muhammad Saw.
Uniknya, ayat pertama
sebagai wahyu pertama yang diturunkan Allah kepada Nabi adalah surat al-‘Alaq; iqra!
(Bacalah). Lengkapnya, iqra bismirabbika allladzi khalaq, bacalah dengan
nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Perintah-Nya kepada Nabi agar beliau
membaca.
Saya sendiri ingin
memaknai ayat ini dikaitkan dengan konteks sosial masyarakat Arab saat itu. Ya,
ayat ini turun saat bulan Ramadhan, dengan kondisi cuaca yang panas terik, dan
di saat yang sama realitas sosial masyarakatnya sedang carut-marut, penuh dengan
perilaku zalim dan aniaya.
Ini artinya, Allah
memberikan pentunjuk kepada Nabi agar bisa ‘membaca’ realitas tersebut dengan
bijak dan tidak emosional. Allah hendak memberikan petunjuk agar Nabi meneliti
dan mencarikan solusi atas realitas sosial yang carut marut itu dengan analisis
yang cermat dan tanpa kekerasan.
Hal ini jugalah yang
harus kita renungkan, di saat kondisi bangsa sedang dalam carut-marut di segala
sektor kehidupan, hendaknya tidak disikapi dengan emosional, serampangan,
apalagi kekerasan. Ingat wahyu pertama itu berbunyi, iqra (bacalah)!
Bukan idhrib! (pukullah).
Maka, menegakkan amar
ma’ruf-nahi munkar adalah tetap menjadi kewajiban setiap individu, tetapi
cara dalam menegakkannya harus bijak dan elegan. Tegakkan amar ma’ruf dengan
cara yang ma’ruf, seperti mencegah perbuatan munkar, yang harus juga dilakukan
dengan cara yang ma’ruf.
Jangan sampai ajaran
mulia Islam tentang akhlak al-karimah dan rahmatan lil’alamin, begitu saja
ternodai akibat ulah tangan manusia (pemeluknya) yang tidak sabar dalam
berdakwah dan sebaliknya getol berlaku memaksa dan kekerasan. Na’udzubillah.
Mari kita merenung dan memuhasabah diri agar pikiran dan hati kita tercerahkan
oleh kemilau cahaya hakiki al-Qur’an.
Peran Mulia Perempuan
Demikian berikutnya, ibrah
yang dapat diambil dari ikhtiar permenungan, maka penggal kisah Nabi Saw dan
Siti Khadijah di atas, bagi saya, juga sarat akan pencerahan. Terutama ketika
Siti Khadijah berhasil menenangkan dan menentramkan kegalauan hati suaminya,
Nabi Saw.
Tanpa ‘pembacaan’ yang
cermat, kontribusi Siti Khadijah dalam menenangkan kegalauan Nabi tak akan
ditemukan, apalagi diapresiasi dan diteladani. Hasilnya tentu saja akan jauh
berbeda atau bahkan malah semakin memperkeruh suasana, andai saja penyikapan Siti
Khadijah atas kegalauan Nabi Saw dilakukan dengan acuh, apalagi emosional.
Tetapi itulah memang peran mulia perempuan. Peran mulia seorang perempuan,
seorang istri, yang senantiasa ingin membuat suaminya tenang dan tentram,
terutama dalam mendampingi dan memotivasi aktivitas dakwahnya.
Dengan ini saya ingin
katakan bahwa Siti Khadijah sama sekali bukan konco wingking (teman
belakang) Nabi Saw. Siti Khadijah justru mitra sejajar dan terdepan Nabi Saw,
saat beliau menghadapi guncangan pikiran dan hati yang dahsyat. Semulia apapun
Nabi Saw, ia tetap manusia sebagaimana pada ghalibnya yang tetap membutuhkan bantuan
dari orang lain, terutama istrinya. Kebijaksanaan dan kesejukan sikap istrinya
begitu membekas dan bertahta abadi dalam sanubari Nabi Saw.
Inilah bukti firman
Allah dalam QS. Al-Ahzab [33]: 35, “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan
yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang
taat, laki-laki dan perempuan yang berbicara kebenaran, laki-laki dan perempuan
yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang
bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang
memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan ingat (kepada Allah), Allah
telah menyediakan bagi mereka ampunan dan pahal yang besar.”
Asghar Ali Engineer
(2003) ketika mengomentari ayat ini mengatakan, dengan demikian, orang-orang
yang beriman, laki-laki dan perempuan, satu sama lainnya adalah kawan, dan
keduanya melakukan apa yang telah diperintahkan Allah. Oleh karena itu, di mata
Tuhan mereka memiliki status yang setara, dan keduanya telah dideklarasikan
secara sama dengan mendapatkan rahmat Allah. Demikian bahwa Siti Khadijah dan
Nabi Saw adalah perempuan dan laki-laki beriman yang karena peran mulianya, Allah
telah menyediakan bagi keduanya ampunan dan pahala besar.
Inilah hikmah terbesar
dari momen istimewa nuzulul Qur’an, bahwa Allah Swt hendak memberikan
pelajaran dan hikmah kepada manusia, bahwa nuzulul Qur’an adalah momen
istimewa untuk melakukan permenungan terhadap kompleksitas hidup masyarakat dan
permenungan atas peran mulia seorang perempuan. Semoga kita diperkenankan Allah
Swt mendapatkan berkah Ramadhan dan nuzulul Qur’an. Demikian. Wallahu’alam
bi al-Shawab. []
0 komentar:
Post a Comment