Home » » MEMBUMIKAN FIQH PEREMPUAN

MEMBUMIKAN FIQH PEREMPUAN


MEMBUMIKAN FIQH PEREMPUAN
Oleh: Mamang M. Haerudin

Judul                           : Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai Atas Wacana Agama dan Gender
Penulis                         : KH. Husein Muhammad
Cetakan                       : Ke VI, April 2012
Penerbit                       : LKiS, Yogyakarta
Jumlah Halaman          : 262 Halaman

Saya merasakan kegelisahan yang cukup akut, tatkala melihat realitas kehidupan sosial masyarakat yang lekat dengan budaya dan tradisi patriarkhi. Kebudayaan dan tradisi yang selalu dibangun atas dasar otoritas “serba” laki-laki. Tak pelak, jika hal itu telah menyebabkan sebuah tatanan hidup yang bias, timpang, dan mendiskriminasi perempuan. Padahal, sebagaimana kita ketahui, bahwa perempuan adalah manusia yang oleh Allah Swt sama-sama dimuliakan penciptaan dan keberadaannya, laiknya laki-laki.
Hadirnya buku “Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai Atas Wacana Agama dan Gender” sejak tahun 2001 yang ditulis oleh seorang ulama Pesantren—KH. Husein Muhammad—ini patut mendapatkan apresiasi setinggi-tingginya. Buku ini semacam angin segar tersendiri bagi perempuan atas hak-haknya yang sudah sejak lama ditimbun. Sekali lagi, buku ini hadir dengan hendak mengkritisi segala pandangan yang mempertanyakan urgensi dan relevansi dalam menafsirkan ulang terks-teks agama (al-Qur’an, hadits, fiqih) untuk mengupayakan sebuah kehidupan yang antikekerasan, antipelecehan, dan antidiskriminasi terhadap perempuan.
Buku ini sendiri terdiri dari lima bagian besar, yang diawali dengan kerangka landas pikir penulis sebagai bagian pertama, tentang Adakah Keadilan Gender?: Refleksi Sosial Budaya, yang melacak akar kerancuan masyarakat arus utama terhadap teks-teks agama. Kedua, Tafsir Baru Fiqh Ibadah yang mengupas tentang kewenangan perempuan menjadi imam shalat, kekeliruan tradisi khitan perempuan, dan kontekstualisasi aurat perempuan. Ketiga, Kontekstualisasi Fiqh Munakahat, yang berisi hak kawin muda, hak memilih pasangan, hak pelayanan kesehatan dalam berkeluarga, dan hak mu’asyarah bi al-ma’ruf bagi perempuan. Keempat, Advokasi Fiqh Mu’amalah-Siyasah yang menyajikan ketentuan bekerja dan relasi seksual, kepemimpinan sosial politik, dan perkosaan terhadap perempuan. Dan terakhir, bagian kelima, buku ini ditutup dengan kritik Kiai Husein terhadap kitab Uqud al-Lujain karya Imam Nawawi al-Bantani—satu kitab yang masyhur diaji di Pesantren—yang ternyata selain banyak memuat pandangan bias, juga memuat hadits-hadits dha’if dan maudhu’.
Buku ini mendapatkan penguatan dari KH. MA Sahal Mahfudh—Rais Syuriah PBNU—dan Dr. Andree Feilard—seorang peneliti dari INALCO, Perancis—bisa dilihat dalam dua kata pengantarnya dalam buku ini. Dalam pengantarnya Kiai Sahal misalnya mengatakan: “Melalui buku Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai Atas Wacana Agama dan Gender, karya KH. Husein Muhammad ini, kita didasarkan betapa luasnya cakrawala lautan fiqh. Sebagai seorang yang memiliki latar belakang tradisi kitab kuning cukup kuat, Kiai Husein dalam buku ini mampu membaca dan memetakan berbagai ketimpangan hubungan laki-laki dan perempuan melalui berbagai ragam referensi secara teliti dan kritis”.
Saya sendiri terkesan dengan Kiai Husein ketika beliau membahas  tentang khitan perempuan. Kiai Husein—sembari mengutip banyak para ulama klasik maupun kontemporer—berpendapat bahwa agama (Islam) sama sekali tidak menganjurkan khitan bagi perempuan. Dikutip dalam bukunya itu, pendapat Sayyid Sabiq yang mengatakan: “Semua hadits yang berkaitan dengan perintah khitan perempuan adalah dha’if (lemah), tidak ada satu pun yang shahih”. Apalagi dari segi medis, bahwa khitan perempuan yang selama ini mentradisi, sama sekali tidak ada manfaatnya. Manfaat-manfaat yang kerap mengemuka itu tidak lain adalah mitos yang tidak perlu.
Sungguh, buku ini begitu memberikan pencerahan bagi semua kalangan; awam maupun agamawan. Karenanya, saya merekomendasikan buku ini “fardhu ‘ain” untuk dibaca. Bagi yang belum memilikinya, selamat membaca dan menjelajah!

0 komentar:

Post a Comment