PUASA DAN MISI RAHMAH
DALAM ISLAM
Oleh: Mamang M. Haerudin
Puasa, sebagaimana sederhana kita pahami, ia
bermakna “menahan”. Kalau kemudian kita kontekstualisasikan makna dan cakupannya,
puasa bisa berarti menahan diri dari segala sesuatu yang bersumber dari hawa
nafsu yang dapat menimbulkan keburukan. Maka, sungguh sangat miris, tatkala di
bulan yang penuh rahmah ini, ada individu atau kelompok yang justru
melampiaskan amarahnya, untuk berbuat kekerasan dan keburukan. Fatalnya,
kekerasan dan keburukannya itu mengatasnamakan bulan suci Ramadhan dan
menghormati Islam. Mengherankan, bukan?
Padahal, Rasulullah Saw bersabda: “Allah
telah berfirman: Semua amal kelakuan anak Adam dapat dicampuri kepentingan
nafsu, kecuali puasa, maka itu melulu untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan
membalasnya. Dan puasa itu sebagai perisai, maka jika seorang puasa janganlah
berbuat keji, dan kalau seorang mencaci maki padanya atau mengajak berkelahi
maka hendaknya dikatakan padanya: Aku berpuasa. Demi Allah yang jiwaku ada di
tangan-Nya, bau mulut orang yang berpuasa bagi Allah lebih harum dari bau
misik. Dan untuk orang berpuasa dua kali masa gembira, yaitu ketika akan
berbuka puasa dan ketika ia menghadap Tuhan akan gembira benar, menerima puasa
pahalanya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Sangatlah jelas, bahwa bulan puasa
adalah bulan-Nya, cukuplah hanya Allah yang tahu dan menilai kualitas dari
puasa dan segala tingkah laku kita. Sebab itu, kita, manusia, hendaknya mematuhi
aturan-Nya dan tidak mencampuri kebijakan yang sudah digariskan oleh-Nya.
Lagi pula Islam sendiri, secara sederhana
bermakna selamat, damai, dan pasrah. Termasuk ketika menafsirkan ayat “Udkhluu
fi al-silmi kaaffah” (Masuklah kalian—kalau Anda menyerah kepada
Tuhan—dengan perdamaian sungguh-sungguh—tanpa sepotong-sepotong. Jadi, siapapun
pihaknya, yang kerap mengaku Islam (Muslim) tapi di saat yang sama tidak
menabur keselamatan, kedamaian, dan kepasrahan bagi dirinya, terlebih kepada
orang lain, maka—wallahu’alam—apakah ia pantas disebut Islam
(Muslim)?.
Gus Dur—alm. KH. Abdurrahman Wahid—pernah
menawarkan tafsir yang baik menurut saya, berkenaan dengan Islam yang
disandingkan dengan ayat dalam QS. al-Anbiya [21]: 107: “Wa maa arsalnaaka
rahmatan lil ‘aalamiin”. (Nabi Muhammad Saw diutus tidak lain untuk
membawakan amanat persaudaraan dalam kehidupan. Gus Dur menambahkan, kata
“rahmah” diambil dari pengertian “rahim” ibu, dengan demikian manusia semuanya
bersaudara. Kata “alamin” di sini berarti manusia, bukannya semua makhluk yang
ada. Jadi tugas kenabian adalah membawakan persaudaraan yang diperlukan guna
memelihara keutuhan manusia dan jauhnya tindak kekerasan dari kehidupan. Jelas,
bukan?
Sementara, kalau ada di antara mereka yang
berkilah dengan dalih ber-amar ma’ruf nahi munkar—untuk enggan
membahasnya lebih panjang—adalah ya. Jelas, kita, umat Islam sangat dianjurkan
untuk ber-amar ma’ruf nahi munkar, akan tetapi yang patut diingat
adalah cara dari amar ma’ruf harus dilakukan dengan cara yang ma’ruf,
bukan dengan kemunkaran. Karena jika ber-amar ma’ruf dengan munkar,
tak ubahnya dia telah berbuat kemunkaran yang baru.
Begitupun dengan puasa, agar dijalankan dengan
penuh khidmat dan sungguh-sungguh. Tidak malah berbuat onar dan rusuh. Karena
menurut saya, salah satu hikmah puasa adalah tidak lain sebagai momentum umat
Islam untuk mengukuhkan komitmen dalam membumikan bangunan misi rahmah
dalam Islam. Menabur kasih sayang kepada siapapun tanpa sekat dan pandang bulu
untuk menggapai predikat takwa (QS. al-Baqarah [2]: 183). Semakin merekatkan
tali silaturahmi, saling menghormati, rendah hati, tidak menyombongkan diri,
dan lain sebagainya. Begitulah, jangan sampai kesucian Ramadhan dinodai oleh
kita sendiri yang justru mensucikannya, tanpa terasa.
Sehingga dengan demikian, ketika kita telah
memahami puasa dengan menancapkan misi rahmah di dalamnya, menjadi
mesti jika hal itu dapat ditransformasikan ke dalam kehidupan sehari-hari.
Meminjam istilah Hassan Hanafi—revolusi transendensi—yakni kemampuan untuk
mentransformasikan ajaran agama (puasa) ke dalam bentuk akhlak dan sikap sosial
yang nyata, yang berimplikasi langsung dan positif terhadap keadilan dan
kesejahteraan masyarakat.
Dengan menjadikan puasa sebagaimana diuraikan di
atas, kita mesti waspada terhadap gejolak hawa nafsu yang rentan mengantarkan
manusia kepada kekerasan dan keburukan. Maka, menjadi seyogia jika kita bisa
belajar dari pengalaman, untuk menjadikan gejolak hawa nafsu—kekerasan dan
keburukan—sebagai tantangan yang harus kita singkirkan, agar kita menjadi
pemenang.
Akhirnya, tak bosannya mari terus berdo’a dan
beriktiar agar kuantitas ibadah kita tidak hanya terkungkung oleh ritual
belaka. Melainkan berjalan beriringan dengan kualitas, yang mengakar ramah ke
setiap sudut kehidupan. Dengan begitu, sungguh, jika puasa yang masih kita
tunaikan ini, selain harus berimplikasi lurus dengan kualitas rahmah,
juga memberikan seutas tali pengikat akan pentingnya membangun keseimbangan
antara dimensi ritual-vertikal dan sosial-spiritual, melatih kesabaran dan
kesadaran atas gejolak hawa nafsu, mengajarkan kepada manusia untuk senantiasa
ber-istiqamah dalam meningkatkan kualitas akhlak, ibadah, dan amal
shalihnya. Demikian. Wallahu’alam bi al-shawab.
0 komentar:
Post a Comment