Akhlak; Lailat
al-Qadar
Oleh: Mamang M. Haerudin
Dengan seyogia, puji syukur mesti kita panjatkan
kepada Allah Swt, betapa di stadium akhir bulan Ramadhan ini kita tetap masih
dianugerahkan kenikmatan yang tak terkira. Satu di antara nikmat yang agung dan
tentu saja sedang kita nanti datangnya adalah menemukan malam istimewa, malam
seribu bulan, malam Lailat al-Qadar. Maka, menjadi penting
jika—minimal—di sepuluh hari bulan Ramadhan yang tersisa, untuk terus ber-istiqamah
meningkatkan kuantitas dan kualitas akhlak, ibadah dan amal shalih kita.
Konon, Rasulullah Saw dirundung rasa sedih yang
ketara, ketika meratapi bahwa usia hidup diri dan umatnya lebih pendek
ketimbang Nabi-nabi lain dan umat-umat terdahulu, hanya dalam kisar 63 tahun.
Sebut saja misalkan Nabi Adam As berumur hingga 2000 tahun, Nabi Nuh As berusia
950 tahun dan lainnya. Bersedihnya Rasul akan hal ini bukan tanpa alasan,
beliau merasa iri dengan umat-umat terdahulu karena mustahil jika beliau dan
umatnya dapat menandingi kuantitas dan kualitas ibadah serta amal shalih
umat-umat terdahulu itu. Atas hal itu, Allah Swt menganugerahkan malam istimewa
Lailat al-Qadar kepada Rasulullah Saw dan umatnya.
Riwayat lain menyebutkan bahwa, satu ketika
Rasulullah Saw bercerita kepada para sahabatnya. Beliau mengisahkan tentang
seorang yang sangat shalih dari kalangan Bani Israel yang telah menghabiskan
waktu selama 1000 bulan untuk berjihad—beribadah dan beramal shalih—di jalan
Allah. Menyimak kisah nyata ini, para shahabat Rasul merasa iri. Terhadap hal
ini, Allah Swt mengaruniakan kepada para shahabat, Lailat al-Qadar
sebagai ganti dari beribadah selama 1000 bulan tersebut.
Atau pada riwayat lain dikatakan, bahwa
Rasulullah Saw pernah menyebutkan empat nama Nabi dari Bani Israel, yang
masing-masing dari keempat orang tersebut telah menghabiskan waktu selama 80
tahun untuk beribadah dan beramal shalih di jalan Allah tanpa pernah berpaling
dari-Nya sebentar pun. Keempat orang shalih itu di antaranya Nabi Ayyub As,
Nabi Zakariyya As, Nabi Hizkiel As, dan Yusya’ As. Mendengar hal ini, para
shahabat Rasul merasa takjub dan iri. Lalu malaikat Jibril turun ke bumi untuk
mewahyukan surat al-Qadar, sebagai “bonus” istimewa dari Allah Swt kepada
Rasulullah Saw dan umatnya ketika berada di stadium akhir bulan Ramadhan.
Dari beberapa riwayat di atas, secara sederhana,
dapat kita tarik kesimpulan bahwa Lailat al-Qadar ini memiliki makna
apabila ada seseorang yang memperoleh kesempatan beribadah selama sepuluh malam
Lailat al-Qadar pada bulan Ramadhan dengan penuh khusyuk dan ikhlas,
maka ia akan mendapatkan pahala yang sepadan dengan beribadah selama 1000
bulan, atau beribadah selama 83 tahun 4 bulan, atau bahkan lebih.
Lalu pertanyaannya, bagaimana akhlak kita dalam
menyikapi Lailat al-Qadar?. Ada satu fakta ironis yang kerap tak
disadari oleh kita sendiri, yakni ketika di stadium awal Ramadhan geliat
menyambut Ramadhan begitu gegap, ditandai dengan penuhnya masjid oleh jamaah,
tadarus al-Qur’an, dan lain sebagainya. Akan tetapi seriring waktu berlalu,
pada stadium kedua, ketiga, dan akhir Ramadhan, kuantitas dan kualitas
beribadah semakin melemah. Entah karena sibuk dengan persiapan menyambut Idul
Fitri—membeli baju lebaran dan sebagainya—maupun disibukkan persiapan mudik ke
daerahnya masing-masing. Padahal, tiada malam yang mendapat sebutan indah dari
Allah kecuali Lailat al-Qadar, malam yang kebaikannya melebihi seribu
bulan (QS. Al-Qadar [97]: 1-5). “Carilah dia (Lail al-Qadar)”,
demikian Nabi pernah bersabda, “di sepuluh terakhir di bulan Ramadhan pada
hitungan ganjil”. (HR. Bukhari Muslim). Pada suatu riwayat, dikatakan
bahwa Lailat al-Qadar jatuh pada malam ke 27 Ramadhan. Meskipun
begitu, pada ghalib-nya, para ulama berselisih pendapat tentang
kepastian Lailat al-Qadar.
Lailat al-Qadar sendiri, sedikitnya ia
memiliki tiga arti. Pertama, penetapan. Bahwa Allah Swt akan
menetapkan perjalanan hidup manusia, di malam ini. Kedua, kemuliaan.
Bahwa di malam ini adalah malam yang mulia dan penuh kemuliaan, salah satu
indikasinya adalah malam dimana al-Qur’an diturunkan. Dan ketiga,
sempit. Bahwa dengan waktu yang relatif sempit malaikat turun membawa berkah ke
bumi di malam ini.
Lepas dari itu, kita harus tetap berdo’a dan
beriktiar untuk segegap mungkin dapat menemukan Lailat al-Qadar,
sedari stadium awal hingga akhir bulan Ramadhan, mestinya. Menemu atau
tidaknya, itu sebetulnya bukan persoalan, yang terpenting adalah bagaimana kita
tetap ber-istiqamah untuk tawakal dan komitmen agar kualitas akhlak,
ibadah dan amal shalih kita kepada Allah (habl minallah) dan kepada
sesama manusia (habl min al-Nas), semakin meningkat dan baik. Dengan
ini, sungguh sangat ironis, jika ada seseorang yang mengaku telah menemu Lailat
al-Qadar, tetapi di saat yang sama tidak berbanding lurus dengan kualitas
akhlak, ibadah, dan amal shalihnya.
Dengan kata lain, anugerah Lailat al-Qadar
ini, tak berarti membuat kita seakan gelap pikir dan hati untuk memporsir
segala sesuatunya. Misalkan, karena terpedaya oleh kemuliaan
Lailat al-Qadar seseorang memperbanyak kuantitas ibadah sedari terbit pagi
hingga terbenam malam dan di saat yang sama meminggirkan kepentingan-kepentingan
dunia—keluarga dan masyarakat—yang bermanfaat. Saya kira tak seperti itu.
Pemenuhan tentang kebutuhan duniawi dan ukhrawi tetap harus dipenuhi secara
proporsional dan seimbang. Begitu pun, sebagaimana tak diperkenankan ketika
kita gelap dunia.
Mari kita bersama-sama berdo’a kepada Allah Swt,
semoga kita termasuk hamba-Nya yang beruntung, sebagai hamba yang mudah-mudahan
dipertemukan dengan mulyanya Lailat al-Qadar. Karena, siapalah yang
tahu di tahun yang akan datang, kita bisa menemukan Ramadhan kembali. Dan di
saat yang sama kita tetap menjalin hubungan yang baik dengan siapapun, bermurah
senyum, bertutur lembut, berbaik hati dengan tetangga, saling hormat
menghormati, tidak sombong, menjauh dari sikap kikir, tetap rendah hati, dan lain
sebagainya. Semoga. Wallahu ‘alam bi al-Shawab.
0 komentar:
Post a Comment