Keluarga Berencana (KB), Wujud Rencana
Islam
Oleh: Mamang M.
Haerudin*)
Membangun keluarga sejahtera—atau dalam istilah Islam sakinah, mawaddah, wa rahmah—adalah
dambaan setiap pasangan suami-istri. Namun, meskipun sudah berpasangan belum
lengkap rasanya, jika setelah melangsungkan pernikahan, belum dikaruniai buah
hati (anak). Maka, bisa dikatakan sempurna (atau paling tidak separuhnya) dalam
kehidupan suami-istri manakala buah dari pernikahan yakni memiliki anak dapat
terwujudkan.
Namun faktanya tidaklah selalu demikian, seiring perubahan sosial yang
cepat dan dinamis, memiliki anak (terutama dari segi kuantitas) tidak selalu
berujung pada kesejahteraan, sehingga tak jarang yang mengemuka justru
sebaliknya. Oleh sebab itu muncullah problem sosial tentang membludaknya jumlah
penduduk atau dalam hal ini anak-anak terlantar dan di saat yang sama tingkat
kesejahteraan hidup masih jauh dari terwujudkan.
Islam sendiri sebagai agama mayoritas Indonesia adalah agama yang punya
visi rahmatan lil’alamin, merahmati
semesta alam. Konsepsi semesta alam ini tidak lain adalah seluruh komponen yang
ada di alam semesta itu sendiri, entah itu binatang, tetumbuhan, dan lain-lain,
apalagi manusia. Kaitannya dengan persoalan yang akan saya bahas di sini adalah
bagaimana konsep rahmatan lil’alamin
ini agar secara aplikatif merahmati biduk rumah tangga atau keluarga?. Karena
baik pernikahan dan membangun keluarga, keduanya membutuhkan perencanaan,
perencanaan yang dibuat oleh kedua belah pihak antara laki-laki (suami) dan
perempuan (istri), termasuk di dalamnya merencanakan kuantitas dan kualitas
anak, sebagai salah satu aspek penting dalam mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah.
Di sinilah saya rasa, terlihat jelas, signifikansi dalam menyoal dan
menegaskan kembali program Keluarga Berencana (KB) dalam konteks Indonesia,
yang beberapa tahun ke belakang tampak mengendur dan jauh dari aplikasi
pemerataannya kepada masyarakat.
Keluarga Berencana (KB) dalam Konteks Indonesia
Pada Selasa (11/12/2012) bertempat di kampus Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah
(STID) al-Biruni Cirebon, atas inisiasi Rumah Kitab (Bekasi) dan Ford
Fondation, secara kolaboratif menyelenggarakan roadshow hasil penelitian Rumah Kitab bertajuk Keluarga Berencana dan Hak Kesehatan Reproduksi Perempuan dalam
Pandangan Islam. Banyak tokoh yang hadir saat itu, entah yang berasal dari
perwakilan instansi pemerintah, ormas Islam, pesantren, LSM, dan lain-lain.
Saya sendiri ikut hadir di dalamnya, dan beberapa tokoh itu bisa saya sebut di
antaranya Prof. Dr. Chozin Nasuha (Guru Besar UIN UIN Bandung), Prof. Dr. Adang
Jumhur (Guru Besar IAIN Cirebon), Masrohah (Peneliti WCC Mawar Balqis), Hj.
Masriyah Amva (Pengasuh Pesantren Kebon Jambu), Abdul Muiz Ghazali (Intelektual
Muda NU), Dr. Arwani Syaerozi (Direktur Program Kader Ulama), Marzuki Rais
(PCNU Kabupaten Cirebon) dan masih banyak lagi.
Saya sendiri amat apresiatif atas sosialisasi hasil penelitian Rumah
Kitab itu. Terutama ketika di hadapkan dengan sejumlah keterbelakangan dan
keterpurukan yang masih akut mendera bangsa kita, Indonesia, yakni soal kemiskinan,
kesejahteraan hidup, kesehatan, hak-hak perempuan, dan lain sebagainya.
Di sini, saya hanya ingin menegaskan kembali betapa KB dalam konteks Indonesia
adalah satu kebutuhan yang tak terelakkan. Kebutuhan yang mendesak sehingga
perlu pergerakan dan pemberdayaan intensif. Sebelum membahas ini lebih lanjut,
saya ingin menyuguhkan sekurangnya dua faktor yang harus menjadi perhatian
serius yang berkait kelindan dengan program KB dalam konteks Indonesia. Pertama, obesitas jumlah penduduk Indonesia. Ya, faktor ini tidak
berbanding lurus dengan kualitas hidup masyarakat seperti kemapanan ekonomi,
pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Terutama tentang buruknya realitas sosial
anak-anak terlantar, putus sekolah, busung lapar, narkoba, seks bebas, dan
lain-lain. Kedua, perspektif dan
budaya patriarkhi yang akut. Faktor ini mengemuka atas realitas bahwa laki-laki
(suami) secara mutlak memiliki kekuasaan untuk mendominasi perempuan (istri).
Akibatnya istri tidak punya hak bersuara dan berdaulat atas kesehatan
reproduksi dan dirinya sendiri.
Di Indonesia, secara integratif program KB ini resmi digulirkan sejak
Pelita I (tahun 1969/1970) yakni saat pemerintahan presiden Soeharto (Orde
Baru) berkuasa. Namun, alih-alih pemberdayaan masyarakat, ia justru lebih
bersifat politis-simplifikatif ketimbang sosial-aplikatif. Meskipun begitu,
dalam konteks sekarang, ini tidak bisa dijadikan dalih untuk menolak program
pemberdayaan masyarakat Indonesia
secara serampangan dan membabi buta, seperti yang sampai saat ini diilhami oleh
kelompok-kelompok Islam fundamentalis. Konsekuensi traumatik itu ternyata
diperparah dengan stigmatisasi, mitos, dan justifikasi, di antara yang paling
kentara adalah bahwa program KB ini konspirasi zionis (Yahudi), doktrin banyak
anak banyak rezeki, dan menyalahi al-Qur’an-hadits. Yang ini juga menjadi dalah
satu temuan penting Rumah Kitab dalam penelitiannya.
Saya tidak ingin terjebak dengan membahas stigmatisasi
negatif itu lebih lanjut, sebab dengan sendirinya ia akan terbantahkan. Karena
pada prinsipnya program pemberdayaan apapun itu selagi memiliki dampak positif
bagi kelangsungan hidup masyarakat, itu dapat dipastikan jika Islam
melegitimasinya. Prof. Dr. M. Quraish Shihab—salah seorang mufassir otoritatif Indonesia—bahkan
sampai menyatakan: “Uraian tentang KB, dalam pandangan agama, tidaklah
mengharuskan kita menggunakan ayat-ayat al-Qur’an, apalagi memaksakan
penafsirannya. Cukup dengan memperhatikan tujuan kehadiran agama, dengan hati
tenang seseorang akan membenarkan program tersebut. Seperti diketahui bahwa
segala petunjuk agama—baik berupa perintah maupun larangan—pasti pada akhirnya
mengantarkan paling tidak kepada satu atau lebih dari lima tujuan utama yaitu: pemeliharaan agama,
akal, jasmani, harta, dan keturunan. Semua langkah kebijaksanaan yang bermuara
kepada salah satu dari kelima hal di atas dapat menjadi tuntunan agama. Dari lima prinsip tersebut, dan
secara khusus prinsip “pemeliharaan terhadap keturunan”, kebijaksanaan
kependudukan mendapat pijakan agama yang amat kukuh.”
Mendaulatkan Perempuan, Islam, dan Bangsa
Bagi saya menggerakkan dan
memberdayakan program KB secara intensif, merata dan integratif dari berbagai
elemen bangsa—pemerintah pusat-daerah, ormas-ormas sosial keagamaan, LSM-LSM,
masyarakat itu sendiri, dan elemen bangsa lain—itu tak ubahnya turut
mendaulatkan hak perempuan (istri), ajaran mulia Islam, dan keluhuran bangsa.
Ya, maka di sini saya ingin
mempertegas bahwa KB itu salah satu upaya penting dalam mendaulatkan hak perempuan,
ajaran mulia Islam, dan keluhuran bangsa. Pertama,
tentang mendaulatkan hak perempuan (istri). Perempuan adalah manusia yang punya
kedudukan dan hak yang setara dengan laki-laki. Ia memiliki hak untuk
berdaulat, karena secara fitrah manusia, perempuan lebih berhak atas dirinya
sendiri. Termasuk hak menikmati (menolak) bersebadan, menolak kehamilan,
aborsi, dan lain-lain. Dalam konteks hamil dan melahirkan misalnya, seorang
istri lebih berhak dalam menentukan kapan ia harus hamil dan melahirkan. Sebab,
yang mengalami hamil dan melahirkan itu perempuan, karena hamil dan melahirkan
itu butuh persiapan dan kesiapan yang matang secara fisik (biologis) maupun
psikis (mental). Dan patut dicatat, ini bukan kategori membangkang terhadap
suami, suami tetap dapat memberi masukan dan saran, tetapi tetap tidak
memaksakan apalagi berlaku kekerasan.
Kedua, tentang mendaulatkan
ajaran mulia Islam. Melaksanakan program KB maka sejatinya ia melaksanakan
ajaran mulia Islam tentang menghormati hak perempuan, melahirkan regenerasi
(anak) yang berkualitas, dan lain-lain untuk kedaulatan dan keajegan ajaran
Islam di muka bumi. Inilah aplikasi nyata dari konsep rahmatan lil’alamin dalam Islam. Bahwa Islam merahmati perempuan
dan anak yang dilahirkannya agar berkualitas. Sebab, jika perempuan hamil dan
melahirkan dengan persiapan dan kesiapan fisik maupun psikis yang matang maka
ia sejatinya hendak membangun regenerasi (anak) untuk agama dan bangsanya agar
berkualitas pula.
Ketiga, tentang mendaulatkan
keluhuran bangsa. Indonesia,
sejak lama dikategorikan sebagai salah satu Negara berkapasitas penduduk
terbanyak di dunia. Akan tetapi di saat yang sama kualitas sumber daya
manusianya lemah, maka kemiskinan, kebodohan, penyakit, dan kematian begitu
mudah dijumpai dan mewabah. Menunjukkan bahwa Indonesia, bangsa yang belum—untuk
enggan mengatakan tidak—berdaulat dan merdeka secara faktual. Apalagi fakta ini
diperparah dengan dominasi eksploitataif pihak asing atas segala kekayaan alam
yang melimpah ruah yang dimiliki bangsa. Meminjam istilah Yudi Latif bahwa Indonesia
adalah Negara lemah, Negara yang tidak punya otosentrisitas. Maka, melalui
program KB inilah Negara bisa mengevaluasi kelemahan-kelamahannya selama ini
untuk kemudian fokus kepada pemberdayaan masyarakat terutama terhadap perempuan
dan anak-anak sebagai tumpu dari keluhuran suatu bangsa. Kalau kaum perempuan
sehat dan cerdas, maka ini sama halnya agama dan bangsa akan sehat dan cerdas
pula. Inilah program Keluarga Berencana (KB), sebagai salah satu representasi
dari rencana Islam.
0 komentar:
Post a Comment