Menghidupkan Kembali Spirit
Kebangsaan
Oleh
Mamang M. Haerudin*
Ada kesan menarik tatkala saya membaca (kembali) buku biografi Mbah Wahab (alm. KH Wahab Hasbullah); “Mbah Wahab Hasbullah: Kiai Nasionalis Pendiri NU” (Pustaka Pesantren, 2010) karya alm. KH Saifuddin Zuhri—salah seorang Kiai NU, mantan Menteri Agama era presiden Soekarno. Kesan itu adalah bahwa Mbah Wahab dan Gus Dur (alm. KH Abdurrahman Wahid) selain wafat dengan bulan yang sama dan berdekatan tanggal; Mbah Wahab wafat 29 Desember 1971, sedangkan Gus Dur wafat tanggal 30 Desember 2009, juga dari keduanya mendarah-daging spirit nasionalisme terhadap bangsanya, Indonesia. Dengan itulah, tulisan sederhana ini hadir anggap saja sebagai ikhtiar ngalap berkah dalam rangka haul Mbah Wahab yang ke-41 dan Gus Dur yang ke-3 (jika dihitung menggunakan tahun Masehi).
Sementara itu, dalam tradisi NU dan Pesantren, ritual memperingati hari wafat seseorang itu dikenal dengan; haul. Haul secara bahasa berarti tepung tahun (temu satu tahun). Dan secara kultural, ia dapat dimaknai sebagai, tradisi yang baik dalam memperingati dan merayakan hari wafatnya seseorang (tokoh, kerabat, dll) sebagai momen penghargaan dan peneladanan atas tapak jejaknya yang berharga, semasa ia hidup. Sehingga kalau kemudian kita kontekstualisasikan maknanya, haul adalah ikhtiar menghidupkan kembali spirit-spirit dan jiwa-jiwa kemanusiaan seseorang untuk senantiasa diteladani oleh para regenerasinya.
Karenanya, tulisan ini hadir, sekali lagi bukan semata ajang ‘mentang-mentang’, hanya karena berdekatan tanggal dan berbarengan bulan wafatnya kedua Kiai kharismatik tersebut, apalagi sampai kemudian mengkultuskannya. Sungguh bukan demikian tujuan adanya. Akan tetapi, seperti tadi saya kemukakan di awal, bahwa tulisan ini hadir sebagai ikhtiar ngalap berkah dan haul, yang—mudahan-mudahan—berbuah maslahat. Sebab di saat yang sama, saya mengalami kegundahan yang akut terutama ketika dihadapkan dengan kondisi bangsa yang tampak carut-marut dengan berbagai problem kebangsaan yang datang silih berganti.
Hidup
untuk pesantren, NU, dan Indonesia
Saya
terkagum berat atas tapak jejak yang telah ditorehkan oleh kedua Kiai
kharismatik; Mbah Wahab dan Gus Dur ini. Yang semasa hayatnya diabdikan untuk kemaslahatan
Pesantren, NU, dan Indonesia higga wafat. Hal ini bisa kita lacak mulai dari
latar belakang kehidupan, otoritas keilmuan, dan tapak jejak dalam memajukan
Pesantren, NU, dan Indonesia, adalah kesamaan misi keduanya yang amat
mulia.
Mbah Wahab, adalah berjuang dalam sosok pemuda Pesantren yang berhasil mempelopori sebuah wadah bernama Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada tahun 1916, sepulang studi dari Mekah untuk menghimpun dan membangkitkan ghirah membela bangsa kepada masyarakat khususnya para pemuda pribumi. Sehingga itu, Andree Feillard—seorang peneliti asal Prancis—menjuluki Mbah Wahab; Sang Dinamis. Sebagai seorang yang cekatan, punya ghirah, dan kepedulian tinggi terhadap kedaulatan bangsanya. Tak berselang lama, Mbah Wahab jugalah yang mempelopori berdirinya Nahdlatut Tujjar (1918) sebagai koperasi para pedagang kelas bawah, dan sampai pada tahun 1919 beliau mendirikan Taswirul Afkar sebagai lumbung menggeliatnya keilmuan dan para intelektual. Sampai pada berdiri kokohnya sebuah bangunan Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926 adalah tidak lain, atas abdi dan jasa besar seorang Mbah Wahab.
Maka dengan itu, sungguh, jika Mbah Wahab pantas menjadi inspirasi dan teladan bagi kaum intelektual yang ghirah intelektualitas-rasionalisnya tak pernah padam. Bagi kaum nasionalis yang ghirah cinta tanah airnya terus berkobar. Dan bagi para ekonom yang punya kepekaan sosial untuk mengentaskan kemiskinan dan mensejahterakan aspek ekonomi masyarakat, khususnya untuk masyarakat menengah ke bawah. Ini kiprah ‘Sang Dinamis’ bagi rakyat Indonesia dulu, sekarang, dan masa yang akan datang.
Mbah Wahab, adalah berjuang dalam sosok pemuda Pesantren yang berhasil mempelopori sebuah wadah bernama Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada tahun 1916, sepulang studi dari Mekah untuk menghimpun dan membangkitkan ghirah membela bangsa kepada masyarakat khususnya para pemuda pribumi. Sehingga itu, Andree Feillard—seorang peneliti asal Prancis—menjuluki Mbah Wahab; Sang Dinamis. Sebagai seorang yang cekatan, punya ghirah, dan kepedulian tinggi terhadap kedaulatan bangsanya. Tak berselang lama, Mbah Wahab jugalah yang mempelopori berdirinya Nahdlatut Tujjar (1918) sebagai koperasi para pedagang kelas bawah, dan sampai pada tahun 1919 beliau mendirikan Taswirul Afkar sebagai lumbung menggeliatnya keilmuan dan para intelektual. Sampai pada berdiri kokohnya sebuah bangunan Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926 adalah tidak lain, atas abdi dan jasa besar seorang Mbah Wahab.
Maka dengan itu, sungguh, jika Mbah Wahab pantas menjadi inspirasi dan teladan bagi kaum intelektual yang ghirah intelektualitas-rasionalisnya tak pernah padam. Bagi kaum nasionalis yang ghirah cinta tanah airnya terus berkobar. Dan bagi para ekonom yang punya kepekaan sosial untuk mengentaskan kemiskinan dan mensejahterakan aspek ekonomi masyarakat, khususnya untuk masyarakat menengah ke bawah. Ini kiprah ‘Sang Dinamis’ bagi rakyat Indonesia dulu, sekarang, dan masa yang akan datang.
Tak
ubahnya Gus Dur, berangkat dan mewujud sebagai sosok pemuda yang juga lahir dan
berangkat dari Pesantren dan NU, dan kiprahnya—minimal sama dengan Mbah
Wahab—benar tak diragukan. Pengembaraan intelektualnya selain di Pesantren,
beliau melakukan ziarah intelektual di Mesir dan Irak. Hingga kemudian kembali
ke tanah air, seluruh cucuran keringat intelektual, sosial, dan spiritualnya ia
abdikan untuk bangsa. Maka tak pelak, jika Gus Dur adalah sosok inspirasional
yang dimiliki Indonesia digarda depan dalam membela kelompok minoritas dan
tertindas. Sosok yang mampu menyatukan ragam manusia yang berbeda latar
belakang. Mampu menampilkan Islam yang berwajah ramah bukan marah. Meskipun
kerap ditelikung dan diftnah oleh banyak pihak yang tak senang dengan pembelaan
dan pemikirannya. Gus Dur-lah adalah sosok yang mampu menampilkan Indonesia dan
Islam secara rahmatan lil’alamin, Indonesia dan Islam yang merahmati
semua kalangan manusia dengan apapun identitasnya.
Berkat Mbah Wahab, Pesantren, NU, dan Indonesia masa itu mempunyai wibawa dan disegani banyak pihak. Dan berkat Gus Dur amanah dan estafet dalam meneruskan perjuangan Mbah Wahab mampu dikembangkan dan dikenal luas, oleh kalangan dalam maupun luar negeri.
Berkat Mbah Wahab, Pesantren, NU, dan Indonesia masa itu mempunyai wibawa dan disegani banyak pihak. Dan berkat Gus Dur amanah dan estafet dalam meneruskan perjuangan Mbah Wahab mampu dikembangkan dan dikenal luas, oleh kalangan dalam maupun luar negeri.
Namun
apalah daya, hidup ini tak abadi, karena hidup tetap akan berujung mati. yaf’alu
ma yasya biqudratihi, wa yahkumu ma yuridu bi ‘izzatihi (Allah berbuat
sekehendaknya demi Maha Kekuasaan-Nya, menetapkan apa yang dimaui demi Maha
Keagungan-Nya). Ya, seperti Mbah Wahab dan Gus Dur, betapa kiprah dan
teladannya begitu berarti, ia tetap dipanggil Allah. Akan tetapi sebagaimana
digambarkan dalam salah satu literatur pesantren, terdapat sebuah syair klasik
yang sederhana tetapi mendalam, jika direnungkan: “Waladatka ummuka yabna
Adama bakiyan, wa al-Nas haulaka yadlhakuna sururan. Fajhad linafsika antakuna
bakau, fi yaumi mautika dlahika masruran”. (Saat engkau dilahirkan Ibumu,
tangismu menjerit, sedang orang di sekelilingmu tertawa kegirangan.
Berusahalah, hai anak Adam, kematianmu kau hadapi dengan tertawa riang. Biarlah
orang menangisi kematianmu).
Mbah
Wahab dan Gus Dur adalah dua Kiai yang tatkala wafat, dari wajah keduanya
terpancar senyum berbinar dan cahaya cerah bersinar. Teduh dan menyejukkan,
seakan alam dan jagat raya ikut merasakan kehilangan. Kewafatannya, ditangisi
banyak orang lantaran keluhuran akhlaknya. Makamnya, tak pernah berhenti
diziarahi orang dari segala pelosok daerah, dari pelbagai kalangan, dari yang
ngalap berkah sampai meminta hidayah dari Allah.
Adakah
pengganti mereka?
Pertanyaan
ini, selain mengandung harapan dan do’a, juga mengandung tanggung jawab akan
magma transformasi yang fundamental dan substansial, untuk setiap zamannya,
termasuk untuk regenerasi pesantren dan NU dalam mengawal keterutuhan bangsa
Indonesia. Dan, ini adalah pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab, meskipun
secara fisik pesantren, NU, dan Indonesia masih ada dan berdiri. Dengan begitu
pertanyaan ini adalah tantangan tersendiri bagi masyarakat pesantren, NU, dan
Indonesia untuk dapat menjawab dan melanjutkan perjuangan gigihnya dalam
konteks sekarang dan masa depan.
Dan
saya, sebagai salah seorang yang tumbuh-kembang dalam tradisi Pesantren, NU,
dan Indonesia, bahwa saya merasa dan berkewajiban untuk dapat meneladani sepak
terjang akhlak al-karimah (abdi, jasa, pemikiran) kedua Kiai kharismatik
tersebut dalam konteks sekarang dan masa depan untuk bangsa ini.
Meskipun
pada nyatanya, di satu sisi saya pesimis tatkala menyaksikan pelbagai problem
kebangsaan yang bertubi-tubi mendera bangsa ini, hal tersebut mengindikasikan
bahwa Indonesia telah jauh dari apa yang ditorehkan dan diteladankan Mbah Wahab
dan Gus Dur. Keserakahan dan eksploitasi sumber daya alam, tindak korupsi,
kolusi, dan nepotisme, politik praktis-manipulatif, intoleransi dan kekerasan
internal-eksternal adalah beberapa dari sekian banyak fenomena ‘benang kusut’
yang hingga kini jauh dari teruraikan.
Namun di sisi lain, saya merasa tetap punya optimisme yang segar, dengan munculnya para intelektual progresif Pesantren dan NU yang kontribusinya patut diteladani untuk bangsa ini. Bisa disebut beberapa aja dari kalangan sepuh; KH Sahal Mahfudh, KH Musthofa Bisri, KH Said Aqiel Siroj, KH Husein Muhammad,dan lain-lain. Sementara dari kalangan muda; Zuhairi Misrawi, Ulil Abshar-Abdalla, Abdul Moqsith Ghazali, Akhmad Sahal, dan lain-lain, adalah sederet intelektual NU yang saya yakin punya jiwa Pesantren dan NU untuk kemaslahatan bangsa Indonesia.
Sinergitas jiwa antara cinta Indonesia dan Islam pada diri Mbah Wahab dan Gus Dur bersemayam dalam jiwa-jiwa para Kiai sepuh dan intelektual muda tersebut berupa pemikiran, pemahaman, dan sikapnya yang ramah (tidak mudah marah) dalam mendakwahkan Islam, Islam yang berbaju dan berbudaya Indonesia bukan Islam Arab dan bukan Islam Barat. Dalam istilah Gus Dur apa yang beliau sebut sebagai pribumisasi Islam. Selain itu, para Kiai sepuh dan intelektual muda ini begitu menghayati Islam Indonesia yang tumbuh-kembang dalam anugerah keragaman; suku, budaya, bahasa, adat, agama, dan lainnya, untuk senantiasa mengelolanya dengan bijak demi terwujudnya maslahat bukan mafsadat, rahmat bukan laknat, dan rahmatan lil’alamin bukan laknatan lil’alamin. Di sinilah pentingnya menegaskan untuk menjadi Muslim Indonesia atau meminjam konsepsi KH Said Aqiel Siroj menjadi Muslim yang tidak mengalami kebutaan budaya, yakni individu maupun kelompok yang kerap muncul di kalangan Muslim dengan pandangan ”antibudaya”. Mereka meneriakkan puritanisme dan hendak melenyapkan segala bentuk budaya. Yang pada puncaknya berujung pada radikalisme dan terorisme.
Akhirnya, saya punya harapan semoga melalui momen yang baik ini, spirit dan teladan nasionalisme terhadap bangsa yang telah ditorehkan oleh Mbah Wahab dan Gus Dur dapat terus kita semai di bumi Indonesia tercinta ini, untuk sekarang dan masa depan. Untuk Mbah Wabah dan Gus Dur, al-Fatihah! Demikian. Wallahu ‘alam bi al-Shawab.
Namun di sisi lain, saya merasa tetap punya optimisme yang segar, dengan munculnya para intelektual progresif Pesantren dan NU yang kontribusinya patut diteladani untuk bangsa ini. Bisa disebut beberapa aja dari kalangan sepuh; KH Sahal Mahfudh, KH Musthofa Bisri, KH Said Aqiel Siroj, KH Husein Muhammad,dan lain-lain. Sementara dari kalangan muda; Zuhairi Misrawi, Ulil Abshar-Abdalla, Abdul Moqsith Ghazali, Akhmad Sahal, dan lain-lain, adalah sederet intelektual NU yang saya yakin punya jiwa Pesantren dan NU untuk kemaslahatan bangsa Indonesia.
Sinergitas jiwa antara cinta Indonesia dan Islam pada diri Mbah Wahab dan Gus Dur bersemayam dalam jiwa-jiwa para Kiai sepuh dan intelektual muda tersebut berupa pemikiran, pemahaman, dan sikapnya yang ramah (tidak mudah marah) dalam mendakwahkan Islam, Islam yang berbaju dan berbudaya Indonesia bukan Islam Arab dan bukan Islam Barat. Dalam istilah Gus Dur apa yang beliau sebut sebagai pribumisasi Islam. Selain itu, para Kiai sepuh dan intelektual muda ini begitu menghayati Islam Indonesia yang tumbuh-kembang dalam anugerah keragaman; suku, budaya, bahasa, adat, agama, dan lainnya, untuk senantiasa mengelolanya dengan bijak demi terwujudnya maslahat bukan mafsadat, rahmat bukan laknat, dan rahmatan lil’alamin bukan laknatan lil’alamin. Di sinilah pentingnya menegaskan untuk menjadi Muslim Indonesia atau meminjam konsepsi KH Said Aqiel Siroj menjadi Muslim yang tidak mengalami kebutaan budaya, yakni individu maupun kelompok yang kerap muncul di kalangan Muslim dengan pandangan ”antibudaya”. Mereka meneriakkan puritanisme dan hendak melenyapkan segala bentuk budaya. Yang pada puncaknya berujung pada radikalisme dan terorisme.
Akhirnya, saya punya harapan semoga melalui momen yang baik ini, spirit dan teladan nasionalisme terhadap bangsa yang telah ditorehkan oleh Mbah Wahab dan Gus Dur dapat terus kita semai di bumi Indonesia tercinta ini, untuk sekarang dan masa depan. Untuk Mbah Wabah dan Gus Dur, al-Fatihah! Demikian. Wallahu ‘alam bi al-Shawab.
0 komentar:
Post a Comment