Home » » Pendidikan dan Pola Hidup di Pesantren

Pendidikan dan Pola Hidup di Pesantren

Pendidikan dan Pola Hidup di Pesantren

Pendidikan merupakan salah satu dimensi terpenting dalam kehidupan manusia, sebab pada dasarnya pendidikan adalah ikhtiar transformasi yang dilakukan secara sadar, sistematis, dan termanajemen guna membentuk karakter manusia yang bersendikan tradisi dan akhlak al-karimah demi kehidupan yang baik dan sejahtera.
Di pesantren sendiri, tradisi menjadi landasan pijak pendidikan utama sebagai bentuk komitmen kultural kepada bangsa, selain juga akhlak al-karimah sebagai penuntun agar setiap upaya transformasi dalam pendidikan berjalan sesuai dengan rel yang telah digariskan oleh al-Qur’an dan hadits. Keduanya, baik tradisi dan akhlak al-karimah bagaimanapun akan sangat mempengaruhi pola hidup manusia secara individu maupun sosial.
Adalah suatu keunikan tersendiri, jika pesantren hingga saat ini tetap survive di tengah gejolak modernisasi dan globalisasi sekalipun. Lembaga pendidikan yang kerap distigmatisasi ‘tradisional’ ini, telah menunjukkan eksistensinya, bahwa ia tetap istiqamah dengan tradisionalismenya, tanpa kehilangan iklusivitas dan kontekstualitas.
Betapa tidak, di tengah kondisi bangsa dengan realitas pendidikan dan pola hidup masyarakatnya yang carut marut, kita akan jengah saat melihat realitas pendidikan yang mengemuka penuh dengan perilaku destruktif-amoralitas yang pada akhirnya berimbas pada pola hidup koruptif dan manipulatif para elit pejabat yang mengakar sampai masyarakat alit pada umumnya. Di sinilah letaknya, betapa saat ini kita butuh penyegaran dan perbaikan agar gejala distorsif tersebut tidak mewabah dan menjalar semakin parah.
Tidaklah berlebihan jika hal ini pulalah yang menjadi komitmen Pengurus Besar Nahdlatu Ulama (PBNU) pada malam puncak Hari Lahir (Harlah) NU yang ke-90 belum lama ini, sebagaimana disampaikan oleh Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj menyerukan agar masyarakat Indonesia kembali ke pesantren, “Khittah NU adalah pesantren. Kita harus kembali menegaskan gagasan mulia tersebut. Pesantren adalah produk nusantara. Sebelum Islam hadir, konsep pesantren sudah hadir dalam kepercayaan Kapitayang dan Hindu. Nafasnya sama pendidikan spiritual”. (Republika.co.id, 27/05/13).
Atas dasar itulah, melalui tulisan sederhana ini, saya ingin mencoba merunutnya secara lebih lanjut; bahwa betapa bijaknya jika kita kembali merenungkan realitas kehidupan distorsif ini dengan bercermin pada pesantren. Lebih lanjut saya akan membidik; pertama, tentang tranformasi pendidikan pesantren. Kedua, tentang pola hidup di pesantren. 

Transformasi Pendidikan Pesantren
Sebagaimana kita ketahui, pesantren pada awal mulanya merupakan lembaga pendidikan yang concern pada pendidikan keagamaan (tafaqquh fi al-din) sebagai bentuk keterpangigilan hati betapa pendidikan itu penting di atas kepentingan apapun. Pesantren sadar betul pentingnya mengedepankan pendidikan selain merupakan satu bentuk kebertahanan dan perlawanan atas penjajahan kolonial saat itu, juga untuk menyongsong kemajuan dalam menatap masa depan bangsa dan agama.
Menarik untuk saya kemukakan di sini mengenai penelitian Abdurrahman Mas’ud “Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren” (2006), dalam penelitiannya ia menempatkan lima Kiai paling berpengaruh sebagai tonggak awal pendidikan pesantren. Dua di antaranya, Kiai Nawawi al-Bantani dan Kiai Mahfuz at-Tirmisi ditempatkan sebagai para guru intelektual pesantren dan tiga Kiai lainnya yakni Kiai Khalil Bangkalan, Kiai Asnawi Kudus, dan Kiai Hasyim Asy’ari diposisikan sebagai para ahli strategi pesantren. Yang menjadi kekhasan, kita akan ketahui bersama meskipun kelima Kiai tersebut menimba ilmu di Haramaian, sekembalinya mereka ke Nusantara, mereka tetap kukuh dengan tradisi Islam Nusantara.
Berkenaan dengan hal ini, KH. MA. Sahal Mahfudh (2012) mengatakan bahwa, pola dasar pendidikan pesantren terletak pada relevansinya dengan segala aspek kehidupan. Dalam hal ini, pola dasar tersebut merupakan cerminan untuk mencetak santrinya menjadi insan yang shalih dan akram. Shalih, berarti manusia yang secara potensial mampu berperan aktif, berguna, dan terampil dalam kaitannya dengan kehidupan sesama makhluk. Sementara akram merupakan pencapaian kelebihan manusia sebagai makhluk terhadap khaliq-Nya, untuk mencapai kebahagiaan di akhirat.
Konsepsi ‘shalih’ dan ‘akram’ sebagaimana dikonsepsikan oleh Kiai Sahal merupakan penegasan sebagaimana dikonsepsikan oleh KH. Said Aqiel Siroj (2009) sebagai upaya sinergi antara tradisi dan modernitas. Sinergi tersebut adalah proyek pendidikan pesantren masa depan. Artinya, pendidikan pesantren masa depan adalah pendidikan yang berorientasi pada modernitas dan tetap berpijak pada tradisi.
Proses pendidikan di pesantren berjalan langsung 24 jam. Interaksi antara kiai, ustadz, dan santri berjalan sedemikian intens. Interaksi dalam pendidikan tersebut dibangun atas fondasi tradisi dan akhlak al-karimah. Saling hormat-menghormati, kesederhanaan, keikhlasan, dan ketawadluan. Untuk mewadahi minat dan bakat para santri, pesantren juga memfasilitasi mereka dengan beragam ekstrakurikuler, beberapa di antaranya bisa saya sebutkan; seni baca al-Qur’an (qira’ah), seni kaligrafi, seni bela diri, seni sastra, dan lain sejenisnya.
Seiring berjalannnya waktu, demikian pula pesantren bertransformasi, dalam kurun waktu yang begitu panjang, dewasa ini kita mengenal para santri-intelektual seperti KH. Said Aqiel Siroj, KH. Husein Muhammad, KH. Masdar Farid Mas’udi, KH. Zawawi Imron, KH. Mustofa Bisri, Abdul Moqsith Ghazali, Ulil Abshar-Abdalla, Zuhairi Misrawi, Ahmad Baso, dan lain-lain, adalah tidak lain tunas-tunas transformatif-progresif hasil dari proses pendidikan pesantren. Alhasil mereka adalah santri yang mampu melakukan—apa yang disebut oleh KH. Said Aqiel Siroj—sinergi antara tradisi dan modernitas itu sendiri. Mereka mampu menjaga prinsip istiqamah dalam menggerakkan tradisi (pelestari kitab kuning, seni-budaya, ritual-ritual khas pesantren; tahlilan, marhabanan, haul, dll) sekaligus beradaptasi dengan modernitas (gagasan, pemikiran, dan tindakan yang senantiasa kontekstual dengan zaman).

Pola Hidup di Pesantren
Bila kita cermati dengan seksama, paradigma dan tradisi pendidikan di pesantren itulah yang mengantarkan pesantren memiliki pola hidup tersendiri yang unik. Adalah tradisi pesantren, mengembangkan sistem hubungan antara guru dan murid yang berlangsung seumur hidup baik bagi kiai maupun santri. Perasaan hormat dan kepatuhan murid kepada gurunya berlaku dan tidak kenal putus. (Zamakhsyari Dhofier, 2011: 125).
Di pesantren, para santri dididik menjadi pribadi mandiri. Memenuhi segala kebutuhan dan keperluannya dengan tanpa dilayani. Di satu sisi mereka mesti disiplin belajar, dan di sisi lain mereka juga mesti mencuci pakaian, memasak, menyapu, dan lain sejenisnya dengan tangan sendiri. Begitu juga misalkan, ketika satu di antara mereka ada yang sakit atau ada yang telat dikirimi bekal oleh orang tuanya, para santri akan sigap membantu.
Dalam disiplin belajar, para santri dibiasakan bangun dini hari untuk membiasakan shalat malam. Seusai mendirikan shalat malam, biasanya para santri nderes pelajaran. Mereka meyakini bahwa belajar seusai shalat malam dapat menjernihkan pikiran untuk menyerap pelajaran secara optimal. Padahal, para kiai dan utadz tidak pernah mewajibkan para santri untuk bangun shalat malam, tetapi kesadaran itu tumbuh dengan sendiri akibat kebiasaan yang melekat. Selanjutnya, menjelang shalat shubuh berjama’ah ada tradisi meng-gobrek yakni membangunkan para santri sebagai antisipasi bagi sebagian dari mereka yang masih tertidur. Ba’da shubuh dilanjutkan dengan pengajian, ada yang mengaji al-Qur’an maupun kitab kuning yang disajikan dengan metode sorogan atau bandungan. Demikian seterusnya setiap ba’da maktubah para santri mengaji, di samping belajar di lembaga pendidikan formal.
Sementara disiplin pribadi dalam keperluan per individu seperti mencuci pakaian, memasak, menyapu, dan lain sejenisnya juga teratur sedemikian rupa. Misalnya, untuk mencuci pakaian biasanya para santri melakukannya di hari libur; hari Jum’at atau Minggu. Memasak, sampai saat ini masih banyak ditemukan santri yang mempertahankan tradisi memasak (ala santri) yang biasa disebut jami’iyah-an atau mayoran, dan untuk kegiatan menyapu halaman sebagai salah satu bentuk dari kegiatan kebersihan di pesantren diatur dengan jadwal piket. Bahkan dalam waktu seminggu sekali, seluruh civitas pesantren; kiai, ustadz, dan santri berbaur melakukan ro’an, yakni tradisi membersihkan lingkungan pesantren secara bersama-sama.
Demikian sekelumit dari sedemikian unik adanya transformasi pendidikan dan pola hidup di pesantren, meskipun hanya bermodalkan sarung, peci, kitab kuning, dan kesederhanaan. Tetapi insya Allah, dengan itu semua pesantren sejak zaman kolonial hingga kini mempunyai komitmen tinggi kepada bangsanya. Untuk senantiasa berbaris di garda terdepan dalam membentengi bangsa dan agama dari berbagai ancaman dan permasalahan. Tidaklah berlebihan kiranya, jika inilah bentuk konkrit dari—apa yang disebut sebagai konsep ‘shalih’ dan ‘akram’ ala Kiai Sahal—sebagai manusia yang secara potensial mampu berperan aktif, berguna, dan terampil dalam kaitannya dengan kehidupan sesama makhluk dan mencapai kelebihan manusia sebagai makhluk terhadap khaliq-Nya, untuk mencapai kebahagiaan di akhirat. Aamiin. Wallahu’alam bi al-Shawab.

0 komentar:

Post a Comment