Kembali Ke Pendidikan Pesantren
Dengan tema tulisan di atas, ada kesan bahwa pendidikan pesantren pada awalnya pernah menjadi mainstream
pendidikan nasional, yang pada perkembangannya kemudian pendidikan
pesantren ditinggalkan atau bahkan dicampakkan begitu saja. Saya katakan
ya! Kita mesti akui itu dan karenanya sudah saatnya kita dapat
menghidupkan dan kembali ke pendidikan pesantren. Institusi pendidikan
ter-genuine produk Indonesia, yang berabad lama dikubur dan semakin hilang.
Kita,
masyarakat Indonesia, boleh saja bangga dengan mengenyam pendidikan ala
Barat dan Eropa, kita juga boleh bangga dengan mengenyam pendidikan ala
Timur Tengah atau pendidikan ala apa lagi, tetapi kita mesti lebih dari
bangga akan mengenyam pendidikan ala Indonesia, adalah tidak lain
pendidikan ala pesantren. Oleh karena itu, bagi masyarakat Indonesia
yang saat ini sedang studi di Barat maupun di Timur Tengah, adalah hanya
sebatas mencari wawasan dan ilmu pengetahuan, tetapi sekembalinya ke
tanah air kita mesti bertitik temu pada karakter nasionalisme bangsa,
adalah tidak lain bangga akan pendidikan pesantren itu sendiri. Maka
dari itu, spirit Barat, Eropa, atau Timur Tengah seyogianya menjadi
pengokoh bukan peroboh bagi pendidikan nasional kita.
Tak
ada yang mesti diresahkan dengan bila kita studi di Barat atau Eropa,
seperti tak mesti resah juga dengan studi di Timur Tengah, sebab
komitmen awal kita adalah sama yakni tetap bisa kembali ke kandangnya;
pesantren. Pesantrenlah titik temu efektif dari corak pendidikan yang
beragam itu, baik ala Barat, Eropa, maupun Timur Tengah.
Signifikansi
kembali ke pendidikan pesantren ini akan saya kontekstualisasikan
dengan realitas pendidikan nasional dewasa ini. Betapa tidak, pendidikan
nasional yang saat ini berjalan tak berangsur membaik, yang ada justru
memburuk dan kian terpuruk. Masih hangat diingatan publik Indonesia,
soal pelaksanaan UN tahun 2013 barusan, saya berpendapat, UN tahun ini
adalah UN terburuk dalam sejarah panjang evaluasi pendidikan nasional
kita. Belum lagi, silang sengkarut pro-kontra penerapan kurikulum 2013
yang tak jelas arah, dan tak ubahnya mental pelajar bangsa kita, semakin
hari semakin menunjukkan degradasi yang akut. Pergaulan bebas tak kenal
batas, pelecehan dan kekerasan seksual pada pelajar semakin brutal, dan
berbagai tindak destruktif lainnya.
Kalau
kita runut akar persoalannya hingga saat ini, yang menghilang dari
pendidikan nasional kita adalah ihwal karakter dan tradisi bangsa yakni
keteladanan. Keteladanan, dewasa ini seakan menjadi barang langka yang
semakin sulit ditemukan. Ia ibarat mutiara, tatkala hendak mengambilnya
kita mesti mengarungi lautan terdalam di luas samudera.
Sebenarnya,
kita tidak perlu galau dan kehilangan keteladanan itu, asalkan mau
berkomitmen pada sejarah pendidikan nasional kita, kemana lagi kalau
kita tidak merujuk pada pesantren. Sebab telah banyak sumber referensi
baik berupa buku maupun hasil penelitian para intelektual dalam maupun
luar negeri yang telah menggeluti dan meneliti karakter khas pendidikan
pesantren di Indonesia. Beberapa referensi itu bisa saya sebut di
antaranya; referensi besutan para intelektual asing; Alois Moosmuller
menulis Die Pesantren auf Java, Martin Van Bruinessen menulis Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat, Manfred Ziemeck menulis Pesantren dalam Perubahan Sosial,
dan lain sebagainya. Tak kalah produktifnya, para intelektual Indonesia
juga banyak menulis referensi tentang pesantren, misalnya buku Tradisi Pesantren karya Zamakhsyari Dhofier, Menggerakkan Tradisi karya Abdurrahman Wahid, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren karya Abdurrahman Mas’ud, Kitab Kuning dan Tradisi Akademik Pesantren karya Affandi Mochtar, dan yang terbaru buku Pesantren Studies karya Ahmad Baso, referensi otoritatif paling kontemporer.
Saya
melihat bahwa pendidikan nasional kita, maaf, cacat sejarah. Dari segi
penamaannya saja “sekolah” atau “madrasah” adalah bukan produk asli
Indonesia, keduanya adalah produk impor. Di sini sama sekali saya tidak
cari kambing hitam, spirit saya hanya itu tadi, demi mewujudkan
masyarakat Indonesia yang bangga dan mentradisikan sejarah dan
produknya, terutama institusi pendidikan pesantren. Kecacatan itu
semakin jelas nampak, jika kemudian terus kita telusuri mendalam tentang
pelaksanaan dan segala hal yang berkait kelindan dengan pelaksanaan
pendidikan nasional dewasa ini.
Maka,
untuk ke sekian kalinya saya ingin tegaskan, tidak ada jalan lain,
kecuali kita dan pendidikan nasionalnya kembali ke ruh pendidikan
pesantren. Untuk semakin mengukuhkan fondasi kembali ke pendidikan
pesantren, di bawah ini ada beberapa signifikansi lain yang prinsipil,
anggap saja sebagai ikhtiar sederhana saya untuk mengajak dan mengawali
masyarakat Indonesia untuk kembali ke sejarah dan karakternya, yakni
pendidikan pesantren.
Pertama,
pesantren memiliki ruh pendidikan berbasiskan akhlak al-Karimah.
Prinsip pendidikan akhlak al-Karimah adalah prinsip pertama dan utama
dalam praktik pendidikan pesantren dulu dan sekarang, bahkan hingga masa
depan. Mengutip pandangan KH. Husein Muhammad (2013), bahwa akhlak
al-Karimah adalah sebuah terma yang di dalamnya tersimpan nilai-nilai
keluhuran akal budi, keindahan ekspresi dan kebeningan jiwa. Ia adalah
kejujuran jiwa, rendah hati, bersahaja, pengabdian tulus, ketekunan,
kesetiaan, serta kesalingan membagi pengetahuan dan kebahagiaan. Dalam
tingkat yang lebih tinggi, akhlak al-Karimah menekankan pada
persaudaraan umat manusia atas dasar cinta dan kasih sayang. Pada
tingkat paling tinggi, ia adalah kesatuan eksistensi dan keintiman
bersama Dia. Gagasan akhlak al-Karimah sepenuhnya merupakan ide-ide
kemanusiaan universal.
Kedua, pendidikan pesantren memiliki ruh pendidikan berbasiskan “al-Muhafadhatu ‘ala Qadim al-Shalih wa al-Akhdzu bi al-Jadid al-Ashlah”
(Menjaga tradisi dan membangun dinamisasi). Dengan prinsip ini,
pendidikan pesantren begitu istiqamah menjaga tradisi dan di saat yang
sama berinisiasi membangun dinamisasi dan kontekstualisasi. Mengutip
pandangan KH. Said Aqiel Siradj (2009), bahwa saat ini, untuk konteks
bangsa Indonesia, bisa jadi kita kembangkan lebih lanjut wacana “uthlubul ‘ilma walau bi-Israil”,
carilah ilmu walau sampai Israel. Lebih lanjut, ia menambahkan, bahwa
dalam perkembangan sejarahnya pesantren adalah pelopor utama dalam
mempertahankan dan melestarikan Islam ala Ahlussunnah Waljamaah serta mengembangkan kajian-kajian keagamaan melalui khazanah kitab kuning (al-kutub al-qadimah wa ktub al-turats).
Ketiga,
pendidikan pesantren memiliki ruh pendidikan berbasiskan
multikulturalisme. Sebagai pendidikan yang amat mengedepankan peserta
didiknya untuk bersikap terbuka, moderat, dan toleran dalam menyikapi
perbedaan dan keberagaman. Lebih progresif dari itu, meminjam konsepsi
Zuhairi Misrawi (2009) bahwa multikulturalisme tidak hanya sekedar
menjadi paham yang dapat memproteksi hak-hak minoritas, tetapi juga
sebagai perlawanan terhadap ketidakadilan yang dilakukan pemerintah,
terutama terhadap kelompok-kelompok minoritas.
Demikian
kiranya, tiga prinsip sebagai basis keteladanan pendidikan pesantren
yang prima. Hal tersebut, semakin diperkokoh dengan tradisi hidup
sederhana ala santri dan pesantren terutama dalam memenuhi amanat Allah
dalam memajukan pendidikan bangsa. Pesantren telah sejak lama
mentradisikan hidup tawadhu (rendah hati), ikhlas, sabar, dan
sungguh-sungguh. Apalagi Kiai dan para ustadz-ustadzahnya mendidik
santri hampir 24 jam penuh.
Saya
hanya khawatir jika kita tidak cepat mengambil kebijakan tersebut dan
tetap “keukeuh” pada pelaksanaan pendidikan nasional seperti dewasa ini,
na’uzubillah, kualitas pendidikan nasional yang kita
idam-idamkan selama ini yang sesuai dengan sejarah dan karakter bangsa
hanya akan ada dalam utopia dan jauh dari realita.
Oleh
sebab itu, di moment tepat peringatan Hari Pendidikan Nasional
(Hardiknas) 2 Mei 2013 ini, mari kita gegap gempita untuk menyatukan
rasa kepedulian terhadap pendidikan nasional yakni dengan
mengembalikannya kepada orientasi pendidikan ala pesantren. Sebab, kalau
bukan sekarang, kapan lagi? Kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau bukan
pendidikan ala pesantren, pendidikan ala apa lagi? Jawabannya tentu,
sekarang saatnya kita sadar untuk kembali ke pendidikan pesantren.
Selamat Hardiknas! Demikian. Wallahu ‘alam bi al-Shawab.
0 komentar:
Post a Comment