Home » » Maaf Pak, Aku Sudah Tak Cantik Lagi!

Maaf Pak, Aku Sudah Tak Cantik Lagi!

Maaf Pak, Aku Sudah Tak Cantik Lagi!

Saya suka senyum-senyum sendiri kalau melihat romantisme rumah tangga suami-istri yang satu ini. Serius! Bagaimana tidak, suaminya gagah dan ganteng, istrinya semampai dan cantik; pokoknya serasi deh.

Saya tahu sebab keduanya dekat dengan kehidupan saya, meski saya nggak terlalu akrab. Keduanya menikah, kalau tidak keliru, sekitar tahun 2003an, saat itu saya masih SMP. Si suami bernama Pak Bagas (samaran), istrinya bernama Bu Indah (samaran). Tidak berselang lama setelah menikah, keduanya dikaruniai seorang anak perempuan yang imut dan cantik. Sampai hari ini keduanya sudah punya dua anak perempuan yang cantik-cantik dan menggemaskan.

Entah mengapa, inilah kuasa Allah. Romantisme dan kemapanan rumah tangga Pak Bagas dan Bu Indah, dalam pandangan saya, semakin tampak memudar. Apa sebab? Semenjak Bu Indah, divonis mengidap penyakit stroke, fisik Bu Indah berubah drastis. Wajahnya tidak lagi secantik dulu, kulit yang tadinya putih menjadi hitam, tangan yang tadinya sempurna kini tampak bergetar (’keplek-keplek’), dan tubuhnya menjadi gemuk.

Sebelum Bu Indah terserang penyakit, ia adalah perempuan karir bekerja sebagai salah satu staff di salah satu sekolah menengah bersamaan dengan suaminya yang juga berkerja sebagai guru. Namun, lambat laun karena penyakitnya semakin parah, Bu Indah tak lagi kelihatan bekerja. Ia memilih diam di rumah bersama kedua putrinya. Jadilah, tumpuan penghasilan keluarga bertumpu pada suami. Dan alhamdulillah, suaminya kini sudah menjadi PNS, dari sebelumnya yang hanya menjadi guru honorer.

Suatu hari, saya melihat kedua menumpak becak, saya duga kuat, keduanya baru saja pulang dari berobat. Ya, Bu Indah harus selalu menjalani pengobatan secara rutin dan berkala. Ketika hendak turun dari becak, rupanya Bu Indah kesulitan, bahkan ia hendak jatuh. Pak Bagas, hendak membantu tetapi dengan wajah yang culas. Saat melihat peristiwa itu, ingin rasanya saya membantu, tapi entah, niat itu saya urungkan. “Cepat sih Mah, turunnya lambat amat!”, ucap Pak Bagas dengan agak menyentak. “Iya Pah, Mamah juga tahu, tapi ini sudah, gimana sih”, jawab Bu Indah terbata. Dan seterusnya.

Peristiwa serupa sering kali saya saksikan, bahkan tak jarang terjadi percekcokan yang hebat. Ada saja, alasan untuk membuat keduanya bercekcok, padahal kalau saya suga, masalahnya hanya sepele. (Sok tahu banget ya saya, hehe).

Sahabat blogers mungkin ada yang sudah tahu hikmah di balik kisah ini. Ya, saya hanya ingin memaknai dan mengambil hikmah dari kisah ini untuk dijadikan renungan bagi kita semua. Bahwa menikah dan kehidupan rumah tangga adalah satu kenyataan hidup yang berat, al-QUr’an menyebutnya dengan istilah ‘perjanjian yang berat’.

Berat karena di dalamnya mengandung gelombang dahsyat. Gelombang-gelombang itulah yang kerap kali membuat suami-istri terseret arus dan terhanyutkan hingga tercerai berai.
Saya ingin katakan, bahwa menikah adalah salah satu ikrar suci dalam kehidupan manusia dalam menghadirkan cinta hakiki dan Tuhan. Cinta yang bukan hanya sekedar pemenuhan nafsu biologis dan atau untuk memproduksi sekian anak. Tetap cinta adalah fondasi manusia untuk dapat saling memahami dan memberi arti atas kelebihan dan kekurangan masing-masing pasangan.

Cinta hakiki tak hanya diukur dengan aspek fisik. Makanya, cinta hakiki tak mengenal fisik dan usia. Ia terus deras mengalir kepada masing-masing pasangannya selamanya. Yang paling penting adalah bagaimana kita punya komitmen yang kuat untuk senantiasa setia pada masing-masing pasangan.

Maka, tetaplah setia pada pasangan masing-masing atas apapun yang terjadi. Kekurangan pada masing-masing pasangan akan menjadi kelebihan jika cinta bersemayam dalam lubuknya.

Makanya saya selalu berdo’a, semoga kita termasuk orang-orang yang demikian, orang-orang yang di dalamnya melubuk cinta hakiki. Juga kepada Pak Bagas dan Bu Indah, semoga senantiasa romantis dan mesra. Aamiin. :)

0 komentar:

Post a Comment